Geliat Fashion dalam Museum
A
A
A
PAMERAN busana melintas waktu dan zaman, untuk pertama kalinya digelar Didi Budiardjo di Museum Tekstil Jakarta pada 15-25 Januari 2015. Didi bekerja sama dengan skenografer Felix Tjahyadi.
Mengenal fashion lewat museum, sesuatu yang tak umum dilakukan di Indonesia. Namun, sebenarnya pameran semacam ini telah kerap dilakukan berbagai desainer kelas dunia. Sebutlah Jean Paul Gaultier, Giorgio Armani, dan desainer legendaris adibusana Amerika Charles James.
Di Indonesia, Didi merupakan desainer pertama yang membuat pameran fashion sejenis di sebuah museum. Perancang yang tahun lalu mempresentasikan koleksi couture 2015 bertajuk “Curiosity Cabinet” ini mempresentasikan kreasi kedua dari trilogi karyanya, bertajuk “Pilgrimage”. Pembukaan secara resmi dilakukan istri gubernur DKI Jakarta, Veronica Tan Basuki Tjahaja Purnama, dan dihadiri undangan terbatas. Adapun pengunjung umum dapat menikmati Pilgrimage dengan tiket bebas masuk pada 16-25 Januari 2015.
Pilgrimage bernarasi tentang pengembaraan Didi dalam perjalanan panjangnya selama 25 tahun, sejak 1989 hingga 2015 di dunia fashion yang disajikan dalam bentuk pameran. Memajang berderet-deret rangkaian koleksi mode dari masa ke masa seperti ini, boleh jadi merupakan hal baru dan menjadikan Didi sebagai pelaku mode pertama yang mempersembahkan karyanya secara berbeda di Indonesia.
Galibnya sebuah pameran, para pengunjung dipersilakan untuk menghampiri dan melihat tiap benda yang ditampilkan dari jarak yang sangat dekat. Presentasi perjalanan seorang desainer yang berbeda ini akan menarik perhatian siapa saja untuk dapat menikmati sebuah karya mode. “Persembahan ini dapat menjadi embrio dan penyemangat bagi peminat mode, terutama kaum muda, untuk semakin dapat mengenal dan ikut peduli pada pentingnya pengarsipan sebuah karya dalam upaya melestarikan dunia mode Indonesia,” sebut Didi saat konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Didi bertutur tentang kisah busananya yang dipaparkan bersahaja karena cinta, pengabdian, dan harapan menjadi abadi. Pameran mempertunjukkan tujuh puluh set busana yang terdiri atas 300 benda pamer, termasuk aksesori serta kelengkapan lainnya dan merupakan benda pamer terbanyak sepanjang sejarah pameran yang diselenggarakan Museum Tekstil.
Seluruh koleksi disajikan autentik. Artinya, koleksi yang ditampilkan tersebut datang dari tahun baju itu dilahirkan. Penanganan dan koreksi busana dilakukan sebatas hal sepele seperti kancing lepas dan seterusnya. Didi memperlakukan setiap karya ciptaanya laiknya cinta seorang ibu terhadap putriputrinya, dengan menamakan saudari tertua untuk koleksi busana yang paling lawas dan saudari termuda untuk busana yang dilahirkan terkini.
Terdapat beberapa koleksi busana karya Didi yang telah terjual dan berhasil dipinjam kembali dari klien setianya. Bahkan, di sela-sela karya cipta sendiri itu, Didi mempersembahkan beragam busana dan wastra koleksi pribadi berupa kebaya antik, seperti kebaya renda atau kebaya nyonya, dan kain-kain Nusantara.
Penghormatan terhadap orang-orang yang berjasa di dunia mode Indonesia disampaikan Didi dengan cara menghadirkan kenangan mereka ke dalam pameran ini, seperti karya kolase mendiang Pieter Sie (1929-2011) yang dimenangkan Didi dari sebuah balai lelang, koleksi batik almarhum Iwan Tirta (1935-2010), dan salah satu busana yang mengingatkan sang perancang kepada almarhum Muara Bagdja (1957-2012) yang telah ikut berperan membawanya ke dunia mode.
Di pameran ini, Didi juga mengundang desainer lain, seperti Susan Budihardjo, Adrian Gan, Eddy Betty, dan Sebastian Gunawan untuk ikut berpartisipasi memamerkan koleksi benda-benda fashion mereka. Karena itu, selain bagian dari sebuah pengembaraan, Didi mendapatkan pameran ini sebagai sebuah proses pengayaan, rasa terima kasih, dan penemuan dirinya. Pengunjung seolah diajak berkelana, melakukan perlawatan ke kotak-kotak berisi kenangan.
Tahun produksi busana tertera pada tiap baju yang dipamerkan. Benda pamer dimasukkan ke dalam ruangruang yang dikelompokkan berdasarkan inspirasi desain, warna, dan busana. Seperti ruang The Atelier yang merupakan representasi dari sebuah ide mulai digarap. Ruang ini dipenuhi sketsa, foto-foto, tumpukan buku-buku, mood board , dan langkah awal sebuah busana diciptakan.
Dalam The Reflection, sajian busana koleksi awal perjalanan sang perancang, termasuk di dalamnya foto semasa sekolah, piagam dan piala ketika memenangi lomba rancang busana. Adapun berbagai pameran fashion lewat museum yang dilakukan desainer dunia juga sempat dilakukan oleh desainer legendaris adibusana Amerika pada abad ke-20, Charles James. Dia sempat dibuatkan sebuah pameran perdana di Metropolitan Museum Art dan di Costume Institute Anna Wintour.
Pameran Fashion untuk sang legendaris ini berlangsung pada Mei-Agustus 2014 silam. Pameran menjejaki eksplorasi dan proses bagaimana James mendesain ball gown revolusioner dan teknik jahit yang inovatif sepanjang kariernya. Pameran pun ikut menengahkan gaun ikonik buatan James seperti “Clover Leaf”, “Butterfly”, “Tree”, dan “Swan” dari akhir tahun 1940-an dan awal 1950. Adapun Giorgio Armani atas kerja sama dengan Pemerintah Kota Milan dan perusahaan Armani membuat Armani Museum yang baru akan selesai pada 2015 ini.
Museum akan menempatkan secara permanen koleksi sang desainer mulai pakaian, desain, hingga foto yang berhubungan dengan fashion dan kreativitas Armani dengan tujuan untuk pendidikan dan penelitian. “Milan adalah kota yang telah saya pilih sebagai tempat berkarier, dan bagi saya tak ada kota yang lebih kuat dari Milan di Italia untuk karier saya di dunia internasional,” ujar Armani menanggapi alasan museum didirikan di Milan.
Sementara, desainer yang terkenal dengan rancangan eksentrik, Jean Paul Gaultier, pernah membuat beberapa pameran. Salah satunya bekerja sama dengan teater Barbican London pada April-Agustus 2014 silam. Pada pameran itu ditampilkan sekilas fashion , desain terbaik Gaultier yang telah memberi pengaruh dalam membentuk dunia fashion selama 35 tahun terakhir.
Pakaian ikoniknya pun ikut dipajang seperti bra kerucut yang pernah didesainnya untuk Madonna dalam tur dunia bertajuk “Blonde Ambition” pada 1990. Bila tertarik dengan sejarah dan pakaian dari masa ke masa keluarga Kerajaan Inggris, pameran baju Ratu dan Putri Kerajaan di Fashion Rules Exhibition, Kensington Palace, tampaknya tepat untuk jadi pusat pembelajaran fashion.Pameran ini masih berlangsung hingga Juli 2015 mendatang dan terbuka untuk umum. Di dalamnya kita bisa melihat gaun ikonik dan pakaian yang dikenakan Ratu Elizabeth II, Putri Margaret dari tahun 1960-an, dan Putri Diana pada 1980-an.
Dyah ayu pamela
Mengenal fashion lewat museum, sesuatu yang tak umum dilakukan di Indonesia. Namun, sebenarnya pameran semacam ini telah kerap dilakukan berbagai desainer kelas dunia. Sebutlah Jean Paul Gaultier, Giorgio Armani, dan desainer legendaris adibusana Amerika Charles James.
Di Indonesia, Didi merupakan desainer pertama yang membuat pameran fashion sejenis di sebuah museum. Perancang yang tahun lalu mempresentasikan koleksi couture 2015 bertajuk “Curiosity Cabinet” ini mempresentasikan kreasi kedua dari trilogi karyanya, bertajuk “Pilgrimage”. Pembukaan secara resmi dilakukan istri gubernur DKI Jakarta, Veronica Tan Basuki Tjahaja Purnama, dan dihadiri undangan terbatas. Adapun pengunjung umum dapat menikmati Pilgrimage dengan tiket bebas masuk pada 16-25 Januari 2015.
Pilgrimage bernarasi tentang pengembaraan Didi dalam perjalanan panjangnya selama 25 tahun, sejak 1989 hingga 2015 di dunia fashion yang disajikan dalam bentuk pameran. Memajang berderet-deret rangkaian koleksi mode dari masa ke masa seperti ini, boleh jadi merupakan hal baru dan menjadikan Didi sebagai pelaku mode pertama yang mempersembahkan karyanya secara berbeda di Indonesia.
Galibnya sebuah pameran, para pengunjung dipersilakan untuk menghampiri dan melihat tiap benda yang ditampilkan dari jarak yang sangat dekat. Presentasi perjalanan seorang desainer yang berbeda ini akan menarik perhatian siapa saja untuk dapat menikmati sebuah karya mode. “Persembahan ini dapat menjadi embrio dan penyemangat bagi peminat mode, terutama kaum muda, untuk semakin dapat mengenal dan ikut peduli pada pentingnya pengarsipan sebuah karya dalam upaya melestarikan dunia mode Indonesia,” sebut Didi saat konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Didi bertutur tentang kisah busananya yang dipaparkan bersahaja karena cinta, pengabdian, dan harapan menjadi abadi. Pameran mempertunjukkan tujuh puluh set busana yang terdiri atas 300 benda pamer, termasuk aksesori serta kelengkapan lainnya dan merupakan benda pamer terbanyak sepanjang sejarah pameran yang diselenggarakan Museum Tekstil.
Seluruh koleksi disajikan autentik. Artinya, koleksi yang ditampilkan tersebut datang dari tahun baju itu dilahirkan. Penanganan dan koreksi busana dilakukan sebatas hal sepele seperti kancing lepas dan seterusnya. Didi memperlakukan setiap karya ciptaanya laiknya cinta seorang ibu terhadap putriputrinya, dengan menamakan saudari tertua untuk koleksi busana yang paling lawas dan saudari termuda untuk busana yang dilahirkan terkini.
Terdapat beberapa koleksi busana karya Didi yang telah terjual dan berhasil dipinjam kembali dari klien setianya. Bahkan, di sela-sela karya cipta sendiri itu, Didi mempersembahkan beragam busana dan wastra koleksi pribadi berupa kebaya antik, seperti kebaya renda atau kebaya nyonya, dan kain-kain Nusantara.
Penghormatan terhadap orang-orang yang berjasa di dunia mode Indonesia disampaikan Didi dengan cara menghadirkan kenangan mereka ke dalam pameran ini, seperti karya kolase mendiang Pieter Sie (1929-2011) yang dimenangkan Didi dari sebuah balai lelang, koleksi batik almarhum Iwan Tirta (1935-2010), dan salah satu busana yang mengingatkan sang perancang kepada almarhum Muara Bagdja (1957-2012) yang telah ikut berperan membawanya ke dunia mode.
Di pameran ini, Didi juga mengundang desainer lain, seperti Susan Budihardjo, Adrian Gan, Eddy Betty, dan Sebastian Gunawan untuk ikut berpartisipasi memamerkan koleksi benda-benda fashion mereka. Karena itu, selain bagian dari sebuah pengembaraan, Didi mendapatkan pameran ini sebagai sebuah proses pengayaan, rasa terima kasih, dan penemuan dirinya. Pengunjung seolah diajak berkelana, melakukan perlawatan ke kotak-kotak berisi kenangan.
Tahun produksi busana tertera pada tiap baju yang dipamerkan. Benda pamer dimasukkan ke dalam ruangruang yang dikelompokkan berdasarkan inspirasi desain, warna, dan busana. Seperti ruang The Atelier yang merupakan representasi dari sebuah ide mulai digarap. Ruang ini dipenuhi sketsa, foto-foto, tumpukan buku-buku, mood board , dan langkah awal sebuah busana diciptakan.
Dalam The Reflection, sajian busana koleksi awal perjalanan sang perancang, termasuk di dalamnya foto semasa sekolah, piagam dan piala ketika memenangi lomba rancang busana. Adapun berbagai pameran fashion lewat museum yang dilakukan desainer dunia juga sempat dilakukan oleh desainer legendaris adibusana Amerika pada abad ke-20, Charles James. Dia sempat dibuatkan sebuah pameran perdana di Metropolitan Museum Art dan di Costume Institute Anna Wintour.
Pameran Fashion untuk sang legendaris ini berlangsung pada Mei-Agustus 2014 silam. Pameran menjejaki eksplorasi dan proses bagaimana James mendesain ball gown revolusioner dan teknik jahit yang inovatif sepanjang kariernya. Pameran pun ikut menengahkan gaun ikonik buatan James seperti “Clover Leaf”, “Butterfly”, “Tree”, dan “Swan” dari akhir tahun 1940-an dan awal 1950. Adapun Giorgio Armani atas kerja sama dengan Pemerintah Kota Milan dan perusahaan Armani membuat Armani Museum yang baru akan selesai pada 2015 ini.
Museum akan menempatkan secara permanen koleksi sang desainer mulai pakaian, desain, hingga foto yang berhubungan dengan fashion dan kreativitas Armani dengan tujuan untuk pendidikan dan penelitian. “Milan adalah kota yang telah saya pilih sebagai tempat berkarier, dan bagi saya tak ada kota yang lebih kuat dari Milan di Italia untuk karier saya di dunia internasional,” ujar Armani menanggapi alasan museum didirikan di Milan.
Sementara, desainer yang terkenal dengan rancangan eksentrik, Jean Paul Gaultier, pernah membuat beberapa pameran. Salah satunya bekerja sama dengan teater Barbican London pada April-Agustus 2014 silam. Pada pameran itu ditampilkan sekilas fashion , desain terbaik Gaultier yang telah memberi pengaruh dalam membentuk dunia fashion selama 35 tahun terakhir.
Pakaian ikoniknya pun ikut dipajang seperti bra kerucut yang pernah didesainnya untuk Madonna dalam tur dunia bertajuk “Blonde Ambition” pada 1990. Bila tertarik dengan sejarah dan pakaian dari masa ke masa keluarga Kerajaan Inggris, pameran baju Ratu dan Putri Kerajaan di Fashion Rules Exhibition, Kensington Palace, tampaknya tepat untuk jadi pusat pembelajaran fashion.Pameran ini masih berlangsung hingga Juli 2015 mendatang dan terbuka untuk umum. Di dalamnya kita bisa melihat gaun ikonik dan pakaian yang dikenakan Ratu Elizabeth II, Putri Margaret dari tahun 1960-an, dan Putri Diana pada 1980-an.
Dyah ayu pamela
(bhr)