Jiwa-JiwaTerbelenggu
A
A
A
Foxcatcher diangkat dari peristiwa nyata nan tragis yang melibatkan seorang jutawan Amerika dan kakak-beradik peraih emas olimpiade. Ceritanya mengajak kita memahami sifat terdalam manusia. Film ini meraih lima nominasi Oscar.
Pada 1987, tiga tahun setelah memenangkan medali emas gulat untuk Amerika dalam Olimpiade, hidup Mark Schultz (Channing Tatum) tak banyak berubah. Bagai pahlawan tak dikenal, Mark tinggal di rumah yang sempit dan kumuh, bertahan hidup dengan makan burger dan mi instan. Kalaupun ada pekerjaan, itu bisa dipastikan hanya menggantikan posisi kakaknya yang juga juara olimpiade, Dave (Mark Ruffalo).
Hidup Dave memang lebih beruntung daripada Mark. Dave masih punya sanggar gulat sekaligus menjadi pelatih di sana. Mark pun berlatih pada Dave. Bagi Mark, Dave bukan sekadar pelatih, juga kakak yang memberinya semangat dan arahan hidup. Ini pula yang membuat hidup Mark selalu berada dalam bayang-bayang Dave. Mark pun sadar akan hal itu.
Di bagian yang lain, ada John E du Pont (Steve Carrell), seorang jutawan bagian dari keluarga superkaya Amerika “du Pont Family”. Dia gemar menonton gulat dan sempat tertarik menjadi atlet gulat. Namun, Jean (Vanessa Redgrave), ibunya yang posesif dan ambisius, tak setuju dengan pilihan John. “Gulat adalah olahraga rendahan,” ujar sang ibu yang bergaya ningrat dan gemar mengoleksi kuda-kuda terbaik dari seluruh dunia.
John pun tunduk pada perintah ibunya. Lantas, takdir pun mempertemukan keduanya. John meminta Mark tinggal di kompleks rumahnya yang megah, berlatih gulat di sana. Segala kebutuhan hidupnya akan ditanggung John, plus digaji pula. Lalu, John pun berakting pada ibunya, pura-pura menjadi pelatih gulat bagi para atlet gulat yang ada di sana. Kejadian demi kejadian terus bergulir hingga tragedi itu datang.
Foxcatcher -yang sempat masuk dalam kompetisi untuk meraih Palem Emas di Cannes Film Festival 2014- berjalan layaknya film-film Eropa. Bertempo lambat, kadang berlamalama dalam penggambaran visual, dan lumayan padat dialog. Siapa pun yang terbiasa menonton film hiburan ala Hollywood pasti akan merasa bosan dibuatnya. Namun di balik jalannya cerita yang lambat itu, tersimpan penjabaran karakterkarakter manusia yang jiwanya terbelenggu, tak merdeka.
Lihatlah John, yang seumur hidupnya harus berada dalam bayangbayang dan tekanan ibunya. Dia tumbuh menjadi orang kaya yang ambisius, tapi tak tahu harus berbuat apa karena setiap tindakannya akan dikomentari atau diberi tatapan tajam oleh ibunya. Juga Mark yang kehilangan kepercayaan dirinya jika Dave tak ada di sampingnya. Ambisinya untuk sebanding atau melebihi Dave tak sebanding dengan kecerdasan emosinya yang seperti anak remaja.
Penonton perlu berterima kasih kepada Carrel, Tatum, serta Ruffalo, karena di tangan mereka, kondisi kejiwaan yang rapuh itu berhasil diterjemahkan dengan sangat apik. Lihatlah bagaimana Steve Carrel dengan hidung palsunya, berlagak seolah penuh percaya diri, tapi jiwanya berantakan. Dengan gaya yang agak kikuk dan senyum yang tidak pernah terlihat di wajahnya, sosok John terlihat misterius dan menyeramkan. Rasanya tak ada orang yang bisa nyaman berlama-lama dengannya.
Begitu juga Channing Tatum, bahasa tubuhnya sangat pas menggambarkan orang yang tidak percaya diri dan beban hidupnya berat. Pun Mark Ruffalo yang selalu tidak berlebihan dan bersahaja dalam berakting. Singkatnya, meski film berjalan lambat, melihat parade akting ketiga pemeran utamanya adalah sesuatu yang menyegarkan.
Kita sebagai penonton juga bisa memahami karakter dan sifat tiap manusia terbentuk dari pengalaman-pengalaman serta lingkungan sekitarnya. Siapa pun yang hidup dengan pengalaman buruk dan memendamnya jauh ke dalam jiwa, bersiaplah untuk melihat tragedi dalam hidupnya.
Herita endriana
Pada 1987, tiga tahun setelah memenangkan medali emas gulat untuk Amerika dalam Olimpiade, hidup Mark Schultz (Channing Tatum) tak banyak berubah. Bagai pahlawan tak dikenal, Mark tinggal di rumah yang sempit dan kumuh, bertahan hidup dengan makan burger dan mi instan. Kalaupun ada pekerjaan, itu bisa dipastikan hanya menggantikan posisi kakaknya yang juga juara olimpiade, Dave (Mark Ruffalo).
Hidup Dave memang lebih beruntung daripada Mark. Dave masih punya sanggar gulat sekaligus menjadi pelatih di sana. Mark pun berlatih pada Dave. Bagi Mark, Dave bukan sekadar pelatih, juga kakak yang memberinya semangat dan arahan hidup. Ini pula yang membuat hidup Mark selalu berada dalam bayang-bayang Dave. Mark pun sadar akan hal itu.
Di bagian yang lain, ada John E du Pont (Steve Carrell), seorang jutawan bagian dari keluarga superkaya Amerika “du Pont Family”. Dia gemar menonton gulat dan sempat tertarik menjadi atlet gulat. Namun, Jean (Vanessa Redgrave), ibunya yang posesif dan ambisius, tak setuju dengan pilihan John. “Gulat adalah olahraga rendahan,” ujar sang ibu yang bergaya ningrat dan gemar mengoleksi kuda-kuda terbaik dari seluruh dunia.
John pun tunduk pada perintah ibunya. Lantas, takdir pun mempertemukan keduanya. John meminta Mark tinggal di kompleks rumahnya yang megah, berlatih gulat di sana. Segala kebutuhan hidupnya akan ditanggung John, plus digaji pula. Lalu, John pun berakting pada ibunya, pura-pura menjadi pelatih gulat bagi para atlet gulat yang ada di sana. Kejadian demi kejadian terus bergulir hingga tragedi itu datang.
Foxcatcher -yang sempat masuk dalam kompetisi untuk meraih Palem Emas di Cannes Film Festival 2014- berjalan layaknya film-film Eropa. Bertempo lambat, kadang berlamalama dalam penggambaran visual, dan lumayan padat dialog. Siapa pun yang terbiasa menonton film hiburan ala Hollywood pasti akan merasa bosan dibuatnya. Namun di balik jalannya cerita yang lambat itu, tersimpan penjabaran karakterkarakter manusia yang jiwanya terbelenggu, tak merdeka.
Lihatlah John, yang seumur hidupnya harus berada dalam bayangbayang dan tekanan ibunya. Dia tumbuh menjadi orang kaya yang ambisius, tapi tak tahu harus berbuat apa karena setiap tindakannya akan dikomentari atau diberi tatapan tajam oleh ibunya. Juga Mark yang kehilangan kepercayaan dirinya jika Dave tak ada di sampingnya. Ambisinya untuk sebanding atau melebihi Dave tak sebanding dengan kecerdasan emosinya yang seperti anak remaja.
Penonton perlu berterima kasih kepada Carrel, Tatum, serta Ruffalo, karena di tangan mereka, kondisi kejiwaan yang rapuh itu berhasil diterjemahkan dengan sangat apik. Lihatlah bagaimana Steve Carrel dengan hidung palsunya, berlagak seolah penuh percaya diri, tapi jiwanya berantakan. Dengan gaya yang agak kikuk dan senyum yang tidak pernah terlihat di wajahnya, sosok John terlihat misterius dan menyeramkan. Rasanya tak ada orang yang bisa nyaman berlama-lama dengannya.
Begitu juga Channing Tatum, bahasa tubuhnya sangat pas menggambarkan orang yang tidak percaya diri dan beban hidupnya berat. Pun Mark Ruffalo yang selalu tidak berlebihan dan bersahaja dalam berakting. Singkatnya, meski film berjalan lambat, melihat parade akting ketiga pemeran utamanya adalah sesuatu yang menyegarkan.
Kita sebagai penonton juga bisa memahami karakter dan sifat tiap manusia terbentuk dari pengalaman-pengalaman serta lingkungan sekitarnya. Siapa pun yang hidup dengan pengalaman buruk dan memendamnya jauh ke dalam jiwa, bersiaplah untuk melihat tragedi dalam hidupnya.
Herita endriana
(bbg)