Berkebun Tanpa Lahan
A
A
A
Berkebun di iGrow tidak harus memiliki lahan. Tidak pula perlu memiliki kemampuan menanam. Cukup ”berinvestasi” di startup tersebut, maka akan ada petani yang menanam dan merawat tanaman Anda.
”TUJUAN iGrow adalah mengajak siapa saja melakukan misi penghijauan massal yang dampak besarnya untuk ketahanan pangan dalam negeri. Karena kita juga menanam bibit-bibit tanaman pangan,” ujar Andreas Senjaya, Co-Founder iGrow.
Dana yang mereka berikan tidak hanya untuk membantu membeli bibit, tapi juga untuk menyewa lahan perkebunan milik para petani. Jadi “investor” ini ikut mensejahterakan petani. “Ide pembuatan iGrow ini muncul dari pendiri/komisaris iGrow Muhaimin Iqbal yang juga memiliki usaha perkebunan,” ungkap Andreas.
iGrow, menurut Andreas, ingin memfasilitasi orangorang yang ingin berkebun, tapi tidak memiliki kebun, serta tidak paham teknik menanam atau memanen, untuk ikut langsung peduli dengan isu lingkungan, isu ketahanan daya tahan pangan dalam negeri, serta kesejahteraan petani.
”Di Indonesia ada 31 juta hektar tanah yang tersedia untuk ditanami, namun belum dipergunakan. Itu di luar pemukiman dan hutan, lho,” ungkapnya. Startup ini baru berusia 6 bulan. Berdiri sejak Agustus 2014. Meski terbilang baru, menurut Andreas pengguna iGrow cukup antusias.
Tim iGrow akan berperan sebagai surveyor yang bertugas melapor kepada para investor perkembangan tanaman yang mereka investasikan. Para investor pun dapat berkomunikasi langsung dengan petani di iGrow. Saat ini mereka telah memiliki beberapa kebun yang tersebar di pulau Jawa dan telah memiliki beberapa bibit tanaman yang dapat dipilih oleh investor.
Misalnya kacang tanah, durian, lengkeng, kurma, dan taman eksotis seperti zaitun. Menurut Andreas, platform iGrow membuat semua orang bisa ikut bergabung menjadi sponsor. Ia membeberkan bahwa sejauh ini sudah banyak sekali tanaman yang ditanam iGrow. “Sejak kita launching, sudah mulai banyak sekali penanaman yang dilakukan, sekitar 3.300 penanaman dalam waktu 3 bulan dan pendapatan yang diperoleh sudah di atas Rp1 miliar,” jelasnya.
Prospek ke depan iGrow menurut Andreas adalah akan terus berusaha menarik lebih banyak sponsor dan menambah jenis bibit yang bisa dipilih oleh investor. Selain itu nantinya mereka juga berusaha membuat industri hilir yang akan membantu hasil panen dari perkebunan iGrow.
“Kami ingin agar industri hilir siap menampung hasil panen. Karena jika kita menanam banyak tentu harus ada juga yang siap nampungnya. Kita tidak mau hanya sekedar menjadi pemasok bagi industri besar saja, karena nilai barangnya tidak akan bertambah. Alhasil harga jualnya rendah. Oleh karena itu kami akan membuat program lanjutan lainnya,” tandas Andreas.
Andreas juga sempat membeberkan tips untuk Anda yang setelah ini tertarik untuk membuat startup. “Harus dimulai dari permasalahan yang ada di masyarakat dan memberikan solusi yang tepat sasaran,” paparnya.
Menurut dia, startup juga harus memiliki relevansi dengan masyarakat, misalnya banyak masyarakat yang suka berkebun, maka ciptakan aplikasi berkebun. Kemudian juga harus direncanakan seberapa pesat pertumbuhan dari startup yang akan dibuat.
Cahyandaru kuncorojati
”TUJUAN iGrow adalah mengajak siapa saja melakukan misi penghijauan massal yang dampak besarnya untuk ketahanan pangan dalam negeri. Karena kita juga menanam bibit-bibit tanaman pangan,” ujar Andreas Senjaya, Co-Founder iGrow.
Dana yang mereka berikan tidak hanya untuk membantu membeli bibit, tapi juga untuk menyewa lahan perkebunan milik para petani. Jadi “investor” ini ikut mensejahterakan petani. “Ide pembuatan iGrow ini muncul dari pendiri/komisaris iGrow Muhaimin Iqbal yang juga memiliki usaha perkebunan,” ungkap Andreas.
iGrow, menurut Andreas, ingin memfasilitasi orangorang yang ingin berkebun, tapi tidak memiliki kebun, serta tidak paham teknik menanam atau memanen, untuk ikut langsung peduli dengan isu lingkungan, isu ketahanan daya tahan pangan dalam negeri, serta kesejahteraan petani.
”Di Indonesia ada 31 juta hektar tanah yang tersedia untuk ditanami, namun belum dipergunakan. Itu di luar pemukiman dan hutan, lho,” ungkapnya. Startup ini baru berusia 6 bulan. Berdiri sejak Agustus 2014. Meski terbilang baru, menurut Andreas pengguna iGrow cukup antusias.
Tim iGrow akan berperan sebagai surveyor yang bertugas melapor kepada para investor perkembangan tanaman yang mereka investasikan. Para investor pun dapat berkomunikasi langsung dengan petani di iGrow. Saat ini mereka telah memiliki beberapa kebun yang tersebar di pulau Jawa dan telah memiliki beberapa bibit tanaman yang dapat dipilih oleh investor.
Misalnya kacang tanah, durian, lengkeng, kurma, dan taman eksotis seperti zaitun. Menurut Andreas, platform iGrow membuat semua orang bisa ikut bergabung menjadi sponsor. Ia membeberkan bahwa sejauh ini sudah banyak sekali tanaman yang ditanam iGrow. “Sejak kita launching, sudah mulai banyak sekali penanaman yang dilakukan, sekitar 3.300 penanaman dalam waktu 3 bulan dan pendapatan yang diperoleh sudah di atas Rp1 miliar,” jelasnya.
Prospek ke depan iGrow menurut Andreas adalah akan terus berusaha menarik lebih banyak sponsor dan menambah jenis bibit yang bisa dipilih oleh investor. Selain itu nantinya mereka juga berusaha membuat industri hilir yang akan membantu hasil panen dari perkebunan iGrow.
“Kami ingin agar industri hilir siap menampung hasil panen. Karena jika kita menanam banyak tentu harus ada juga yang siap nampungnya. Kita tidak mau hanya sekedar menjadi pemasok bagi industri besar saja, karena nilai barangnya tidak akan bertambah. Alhasil harga jualnya rendah. Oleh karena itu kami akan membuat program lanjutan lainnya,” tandas Andreas.
Andreas juga sempat membeberkan tips untuk Anda yang setelah ini tertarik untuk membuat startup. “Harus dimulai dari permasalahan yang ada di masyarakat dan memberikan solusi yang tepat sasaran,” paparnya.
Menurut dia, startup juga harus memiliki relevansi dengan masyarakat, misalnya banyak masyarakat yang suka berkebun, maka ciptakan aplikasi berkebun. Kemudian juga harus direncanakan seberapa pesat pertumbuhan dari startup yang akan dibuat.
Cahyandaru kuncorojati
(ftr)