Mengelola Penyakit Hemofilia
A
A
A
MESKI penyakit ini tidak bisa disembuhkan, bukan berarti penderitanya tak bisa hidup normal. Penanganan yang benar dan dukungan keluarga menjadi kunci penting untuk berdamai dengan penyakit ini.
Hemofilia merupakan penyakit kelainan pendarahan yang diturunkan. Pendarahan yang terjadi pada pasien hemofilia akan susah dihentikan. Darah seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal, yakni tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal.
Inilah yang membuat penderitanya akan terbebani secara fisiologis, psikologis, dan ekonomis seumur hidup. Namun, bila dikelola dengan baik, anakanak yang menderita penyakit ini dapat tumbuh dewasa secara normal. Kasus kelainan pembekuan darah ini biasanya ditemukan pada anak laki-laki. Anak perempuan akan menderita hemofilia jika ayahnya seorang hemofilia dan ibunya adalah pembawa sifat (carrier ).
Namun, itu sangat jarang terjadi. Gejala hemofilia yang berat bisa diketahui sejak lahir, misalnya seorang bayi yang baru belajar merangkak lututnya beradu dengan lantai kemudian langsung biru-biru. Adapun kalau dia jatuh, maka langsung bengkak. Atau dicubit atau dipukul lalu biru. “Untuk kasus hemofilia ini yang ringan tidak bisa menjadi berat dan yang berat tidak bisa jadi ringan. Karena itu keturunan,” kata Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Prof dr Djajadiman Gatot SpA(K) saat menghadiri acara media briefing World Haemophilia Day di Hotel Double Tree, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Penyandang hemofilia sangat rawan akan benturan karena jika mereka terbentur atau luka, darah akan terus keluar dan badan menjadi biru-biru atau lebam. Prof Djajadiman menyatakan, biasanya yang jadi masalah ada di sendi karena sering dipergunakan. “Kalau luka kan jarang, orang normal juga kan jarang luka, sendi tidak mungkin dijauhkan karena menempel di badan dan akan dipakai terus, faktor kecacatan terbesar ada di sendi,” katanya.
Namun, bukan berarti penyandang hemofilia tidak bisa melakukan aktivitas seperti olahraga. Prof Djajadiman mengatakan, olahraga tidak akan menjadi masalah bagi penyandang hemofilia asal sebelumnya harus diisi dulu, harus transfusikan terlebih dahulu. Olahraga seperti mendayung, hiking , berenang, joging yang pelan-pelan diperbolehkan asal jangan terbentur dan diisi dulu badannya lewat transfusi dan selalu membawa obat.
“Dalam penanganan pertama jika ada penyandang hemofilia di situ, ada istilah rice (rest danice) . Rest atau istirahat, misalkan ada luka lalu istirahatkan, tidak boleh banyak bergerak supaya darah tidak keluar tambah banyak. Ice yaitu es kompres dengan air es, itu maksudnya menurunkan rasa nyeri, kedua untuk menciutkan pembuluh darah. Es yang dingin sekali bisa menjadikan darah beku spontan.
Penanganan lain adalah compression yaitu dibebat. Intinya, dalam 2 jam harus mendapat perawatan khusus,” kata Prof Djajadiman. Pengetahuan, kesadaran, dan dukungan dari tenaga medis, keluarga, pemerintah, dan masyarakat juga menjadi kunci sukses dalam penanganan penyakit hemofilia. Dukungan keluarga serta lingkungan sekitar yang kuat dapat berguna dalam memberikan advokasi kesadaran dan pengobatan yang lebih baik untuk pasien hemofilia.
Hal ini pun terungkap dengan adanya fakta yang membuktikan bahwa 90% penyandang hemofilia merasa didukung oleh keluarga, 51% dari orang tua melaporkan bahwa anak laki-laki penderita hemofilia membuat seluruh keluarga menjadi lebih dekat, 50% dari orang tua melaporkan efek positif pada saudara yang bukan penderita termasuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap hemofilia masih sangat rendah. Informasi yang diterima pun terbatas sehingga sering terjadi keterlambatan diagnosis, bahkan tidak terdiagnosis sama sekali. Hal inilah yang mengakibatkan jumlah pasien hemofilia yang terdiagnosis baru sebanyak 1.025 orang dibandingkan jumlah keseluruhan penyandang hemofilia sebanyak 25.000 orang.
Prof Djajadiman lebih lanjut menjelaskan baik pasien dan keluarga perlu mendapatkan pengetahuan yang mendalam agar mereka memahami betul dan mengerti bagaimana menghadapi penyakit ini. Bagi pasien hemofilia, pengobatan dan perawatan harus dilakukan seumur hidup. Penyandang hemofilia tidak hanya membutuhkan pengobatan secara intensif, tetapi juga membutuhkan dukungan moral dari keluarga. Hal ini sangat penting agar mereka memiliki kepercayaan diri serta memiliki semangat untuk tetap sehat.
“Pengobatan hemofilia sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, terutama bagi penyandang hemofilia anak-anak yang harus menerima transfusi faktor konsentrat secara teratur sehingga menjadikan kunjungan ke rumah sakit rutinitas. Mereka sangat membutuhkan pengertian, dorongan, dan dukungan dari kita semua untuk dapat tumbuh dewasa dengan normal,” kata Prof. Djajadiman .
Terapi pengobatan hemofilia yang ada hanya bersifat sementara karena penyakit kelainan darah ini tidak bisa disembuhkan dan akan terjadi seumur hidup. Sebanyak 75% dari penderita kelainan pembekuan darah tidak menerima perawatan yang memadai atau bahkan tidak menerima perawatan sama sekali. Pengobatan hemofilia melalui pemberian faktor konsentrat VIII, IX, atau faktor VII membutuhkan biaya yang sangat tinggi, tergantung kondisi perdarahannya.
“Transfusi di sini yang dimaksud bukan transfusi darah, tapi plasma. Plasma ini sudah diproses sedemikian rupa dengan biaya yang mahal itu menjadi faktor pembekuan yang khusus. Ini harganya mahal, untuk 250 unit faktor VII satu file harganya Rp1,5 juta,” kata Prof Djajadiman.
Iman firmansyah
Hemofilia merupakan penyakit kelainan pendarahan yang diturunkan. Pendarahan yang terjadi pada pasien hemofilia akan susah dihentikan. Darah seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal, yakni tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal.
Inilah yang membuat penderitanya akan terbebani secara fisiologis, psikologis, dan ekonomis seumur hidup. Namun, bila dikelola dengan baik, anakanak yang menderita penyakit ini dapat tumbuh dewasa secara normal. Kasus kelainan pembekuan darah ini biasanya ditemukan pada anak laki-laki. Anak perempuan akan menderita hemofilia jika ayahnya seorang hemofilia dan ibunya adalah pembawa sifat (carrier ).
Namun, itu sangat jarang terjadi. Gejala hemofilia yang berat bisa diketahui sejak lahir, misalnya seorang bayi yang baru belajar merangkak lututnya beradu dengan lantai kemudian langsung biru-biru. Adapun kalau dia jatuh, maka langsung bengkak. Atau dicubit atau dipukul lalu biru. “Untuk kasus hemofilia ini yang ringan tidak bisa menjadi berat dan yang berat tidak bisa jadi ringan. Karena itu keturunan,” kata Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Prof dr Djajadiman Gatot SpA(K) saat menghadiri acara media briefing World Haemophilia Day di Hotel Double Tree, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Penyandang hemofilia sangat rawan akan benturan karena jika mereka terbentur atau luka, darah akan terus keluar dan badan menjadi biru-biru atau lebam. Prof Djajadiman menyatakan, biasanya yang jadi masalah ada di sendi karena sering dipergunakan. “Kalau luka kan jarang, orang normal juga kan jarang luka, sendi tidak mungkin dijauhkan karena menempel di badan dan akan dipakai terus, faktor kecacatan terbesar ada di sendi,” katanya.
Namun, bukan berarti penyandang hemofilia tidak bisa melakukan aktivitas seperti olahraga. Prof Djajadiman mengatakan, olahraga tidak akan menjadi masalah bagi penyandang hemofilia asal sebelumnya harus diisi dulu, harus transfusikan terlebih dahulu. Olahraga seperti mendayung, hiking , berenang, joging yang pelan-pelan diperbolehkan asal jangan terbentur dan diisi dulu badannya lewat transfusi dan selalu membawa obat.
“Dalam penanganan pertama jika ada penyandang hemofilia di situ, ada istilah rice (rest danice) . Rest atau istirahat, misalkan ada luka lalu istirahatkan, tidak boleh banyak bergerak supaya darah tidak keluar tambah banyak. Ice yaitu es kompres dengan air es, itu maksudnya menurunkan rasa nyeri, kedua untuk menciutkan pembuluh darah. Es yang dingin sekali bisa menjadikan darah beku spontan.
Penanganan lain adalah compression yaitu dibebat. Intinya, dalam 2 jam harus mendapat perawatan khusus,” kata Prof Djajadiman. Pengetahuan, kesadaran, dan dukungan dari tenaga medis, keluarga, pemerintah, dan masyarakat juga menjadi kunci sukses dalam penanganan penyakit hemofilia. Dukungan keluarga serta lingkungan sekitar yang kuat dapat berguna dalam memberikan advokasi kesadaran dan pengobatan yang lebih baik untuk pasien hemofilia.
Hal ini pun terungkap dengan adanya fakta yang membuktikan bahwa 90% penyandang hemofilia merasa didukung oleh keluarga, 51% dari orang tua melaporkan bahwa anak laki-laki penderita hemofilia membuat seluruh keluarga menjadi lebih dekat, 50% dari orang tua melaporkan efek positif pada saudara yang bukan penderita termasuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap hemofilia masih sangat rendah. Informasi yang diterima pun terbatas sehingga sering terjadi keterlambatan diagnosis, bahkan tidak terdiagnosis sama sekali. Hal inilah yang mengakibatkan jumlah pasien hemofilia yang terdiagnosis baru sebanyak 1.025 orang dibandingkan jumlah keseluruhan penyandang hemofilia sebanyak 25.000 orang.
Prof Djajadiman lebih lanjut menjelaskan baik pasien dan keluarga perlu mendapatkan pengetahuan yang mendalam agar mereka memahami betul dan mengerti bagaimana menghadapi penyakit ini. Bagi pasien hemofilia, pengobatan dan perawatan harus dilakukan seumur hidup. Penyandang hemofilia tidak hanya membutuhkan pengobatan secara intensif, tetapi juga membutuhkan dukungan moral dari keluarga. Hal ini sangat penting agar mereka memiliki kepercayaan diri serta memiliki semangat untuk tetap sehat.
“Pengobatan hemofilia sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, terutama bagi penyandang hemofilia anak-anak yang harus menerima transfusi faktor konsentrat secara teratur sehingga menjadikan kunjungan ke rumah sakit rutinitas. Mereka sangat membutuhkan pengertian, dorongan, dan dukungan dari kita semua untuk dapat tumbuh dewasa dengan normal,” kata Prof. Djajadiman .
Terapi pengobatan hemofilia yang ada hanya bersifat sementara karena penyakit kelainan darah ini tidak bisa disembuhkan dan akan terjadi seumur hidup. Sebanyak 75% dari penderita kelainan pembekuan darah tidak menerima perawatan yang memadai atau bahkan tidak menerima perawatan sama sekali. Pengobatan hemofilia melalui pemberian faktor konsentrat VIII, IX, atau faktor VII membutuhkan biaya yang sangat tinggi, tergantung kondisi perdarahannya.
“Transfusi di sini yang dimaksud bukan transfusi darah, tapi plasma. Plasma ini sudah diproses sedemikian rupa dengan biaya yang mahal itu menjadi faktor pembekuan yang khusus. Ini harganya mahal, untuk 250 unit faktor VII satu file harganya Rp1,5 juta,” kata Prof Djajadiman.
Iman firmansyah
(ars)