Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 6

Senin, 17 Juli 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya suaranya halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"

Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat kuatir ditinggalkan.

"Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar bersamaku."

Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya, karena wajah nenek yang keriputan itu tak pernah membayangkan isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tak dapat melihat apa-apa.

"Kwee Seng..." tertahan lagi.

"Ya, Nek? Ada apa?"

"Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."

Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya Si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar di dunia ramai!

"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun bukan. Lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."

"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu." Bantah Si Nenek.

"Ah, agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan, Nek." Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri.

Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justeru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di see-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.

"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas! Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.

"Nek, mengapa kau menangis?"

"Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kaucinta? Agaknya... agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."

"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walaupun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia muda..."

"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu! Lebih baik mati! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?"

"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat! Dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan daripada Liu Lu Sian..."

Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis, ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi kuatir juga.

"Nek, apa kau menangis? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."

Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya Si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0526 seconds (0.1#10.140)