CERMIN: 30 Tahun setelah Alive, Masih Adakah yang Bisa Dibahas dari Tragedi Andes?
Sabtu, 06 Januari 2024 - 08:15 WIB
Definisi horor bukan lagi sekadar membiarkan diri kita ditakut-takuti oleh sesuatu yang tak bisa kita lihat, tapi membuat bulu kuduk kita berdiri. Definisi horor lbukan lagi sekadar membiarkan diri kita masuk ke dalam sensasi ketakutan yang sesungguhnya kita tahu akhirnya akan seperti apa.
Namundefinisi horor yang dialami oleh enam belas orang penyintas di Andes tersebut adalah hidup tanpa pernah punya harapan kapan akan bisa diselamatkan oleh siapa pun, bisa bertahan kelaparan hingga kapan sampai kita mulai berpikir untuk memangsa mayat dari teman kita sendiri demi bertahap hidup. Juga tak pernah tahu apakah sesungguhnya masih ada harapan untuk mereka bisa selamat dari bencana dingin, segala badai, dan drama demi drama yang dihidangkan oleh alam di depan hidung mereka sendiri.

Foto: Netflix
Numa menjadi sosok sentral dalam kisah ini, yang mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan, betapa tak pastinya menjadi manusia, dan betapa sulitnya mempertahankan rasa kemanusiaan ketika tak ada lagi yang tersisa kecuali nyawa sendiri untuk diselamatkan. Kita bertemu dengan sosok Marcelo yang mencoba gigih berani menahan lapar karena tak tega memangsa mayat dari orang yang dikenalnya.
Namundalam situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita menyalahkan mereka? Bisa pula kah kita menyalahkan alam yang beringas tanpa ampun menghajar mereka terus menerus?
Inilah yang membedakan Society of the Snow dari Alive. Film resmi perwakilan Spanyol dalam Academy Awards 2024 itu menghindar dari klise Hollywood. Bisa jadi buat sebagian orang filmnya tak menghibur, bahkan cenderung membosankan.
Tapi bisa jadi juga buat sebagian yang lain menganggap bahwa menonton film ini ibarat berkontemplasi melihat ulang apa-apa saja yang sudah kita lakukan sebagai manusia. Jika bertemu situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita bertahan hidup dan mempertahankan harapan dari hari ke hari hingga selama 72 hari?
Yang juga membedakan Society of the Snow dari Alive adalah keinginan untuk mendramatisasi sesuatu seperti yang dilakukan Alive yang dianggap meromantisasi pendekatan agama/spiritual. Society of the Snow justru memilih memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami manusia dalam situasi paling buruk, dan JA Bayona memperlihatkannya dengan cara paling banal.

Namundefinisi horor yang dialami oleh enam belas orang penyintas di Andes tersebut adalah hidup tanpa pernah punya harapan kapan akan bisa diselamatkan oleh siapa pun, bisa bertahan kelaparan hingga kapan sampai kita mulai berpikir untuk memangsa mayat dari teman kita sendiri demi bertahap hidup. Juga tak pernah tahu apakah sesungguhnya masih ada harapan untuk mereka bisa selamat dari bencana dingin, segala badai, dan drama demi drama yang dihidangkan oleh alam di depan hidung mereka sendiri.

Foto: Netflix
Numa menjadi sosok sentral dalam kisah ini, yang mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan, betapa tak pastinya menjadi manusia, dan betapa sulitnya mempertahankan rasa kemanusiaan ketika tak ada lagi yang tersisa kecuali nyawa sendiri untuk diselamatkan. Kita bertemu dengan sosok Marcelo yang mencoba gigih berani menahan lapar karena tak tega memangsa mayat dari orang yang dikenalnya.
Namundalam situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita menyalahkan mereka? Bisa pula kah kita menyalahkan alam yang beringas tanpa ampun menghajar mereka terus menerus?
Inilah yang membedakan Society of the Snow dari Alive. Film resmi perwakilan Spanyol dalam Academy Awards 2024 itu menghindar dari klise Hollywood. Bisa jadi buat sebagian orang filmnya tak menghibur, bahkan cenderung membosankan.
Tapi bisa jadi juga buat sebagian yang lain menganggap bahwa menonton film ini ibarat berkontemplasi melihat ulang apa-apa saja yang sudah kita lakukan sebagai manusia. Jika bertemu situasi setragis dan sedahsyat itu, bisakah kita bertahan hidup dan mempertahankan harapan dari hari ke hari hingga selama 72 hari?
Yang juga membedakan Society of the Snow dari Alive adalah keinginan untuk mendramatisasi sesuatu seperti yang dilakukan Alive yang dianggap meromantisasi pendekatan agama/spiritual. Society of the Snow justru memilih memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami manusia dalam situasi paling buruk, dan JA Bayona memperlihatkannya dengan cara paling banal.

Lihat Juga :