Keresahan Tompi soal Senioritas di Dunia Kedokteran, Junior yang Sampaikan Kritik Dianggap Keras Kepala
Sabtu, 17 Agustus 2024 - 11:39 WIB
JAKARTA - Viral belum lama ini kasus kematian seorang dokter yang merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Dokter tersebut diduga mengakhiri hidupnya karena tak kuat menjadi korban perundungan selama mengikuti PPDS.
Dokter sekaligus musisi, Tompi, ikut buka suara mengenai fenomena ini. Dia menuliskan cuitan di akun X pribadi mengenai keresahan atas fenomena di mana sulitnya seorang dokter atau tenaga kesehatan yang terbilang masih baru atau junior untuk menyampaikan kritik.
"Seberapa banyak sih nakes junior yang berani menyampaikan kritik/ketidaksetujuan akan sesuatu yang berlangsung di RS-dunia praktek kedokteran?" tanya Tompi, dikutip dari cuitan di akun X @dr_tompi, Sabtu (17/8/2024).
Ketika berani bersuara pun, kritik disampaikan dengan cara yang sangat halus karena merasa takut terhadap sederet dampak buruk yang akan terjadi kepadanya ketika menyampaikan kritik tersebut.
"Kalo pun berani menegur bunyi nya akan penuh dengan. Iijin meyampaikan... atau maaf kalau bisa..'. Kenapa jadi takut? Karena begitu ada yang berani bunyi dianggap keras kepala, dosanya diungkit-ungkit dan jadi terkucilkan," ungkapnya.
Tompi merasa budaya ini harus segera diubah, jangan terus dianggap 'biasa' dan menjadi hal lumrah yang dialami secara turun-temurun.
"Bukan berarti karena banyak yang sudah lulus dan lolos dengan perlakuan sama lantas dianggap hal buruk itu jadi baik-baik saja. Pembiaran dan harap maklum ini yang harus DIUBAH," ungkapnya.
Meski demikian, Tompi memahami bahwa fenomena tersebut tidak selalu terjadi dan masih banyak lingkungan yang sehat dan saling mendukung tanpa adanya senioritas. Namun, di sisi lain, budaya buruk tetap saja ada.
"Memang ini oknum kok, tapi lumayan banyak dan ada di hampir setiap sudut. Pun demikian, yang baik dan supportif juga ada loh. Hanya saja sering gak bisa berbuat banyak untuk menghapus 'budaya lama'," ujar Tompi.
Dokter sekaligus musisi, Tompi, ikut buka suara mengenai fenomena ini. Dia menuliskan cuitan di akun X pribadi mengenai keresahan atas fenomena di mana sulitnya seorang dokter atau tenaga kesehatan yang terbilang masih baru atau junior untuk menyampaikan kritik.
Baca Juga
"Seberapa banyak sih nakes junior yang berani menyampaikan kritik/ketidaksetujuan akan sesuatu yang berlangsung di RS-dunia praktek kedokteran?" tanya Tompi, dikutip dari cuitan di akun X @dr_tompi, Sabtu (17/8/2024).
Ketika berani bersuara pun, kritik disampaikan dengan cara yang sangat halus karena merasa takut terhadap sederet dampak buruk yang akan terjadi kepadanya ketika menyampaikan kritik tersebut.
"Kalo pun berani menegur bunyi nya akan penuh dengan. Iijin meyampaikan... atau maaf kalau bisa..'. Kenapa jadi takut? Karena begitu ada yang berani bunyi dianggap keras kepala, dosanya diungkit-ungkit dan jadi terkucilkan," ungkapnya.
Tompi merasa budaya ini harus segera diubah, jangan terus dianggap 'biasa' dan menjadi hal lumrah yang dialami secara turun-temurun.
"Bukan berarti karena banyak yang sudah lulus dan lolos dengan perlakuan sama lantas dianggap hal buruk itu jadi baik-baik saja. Pembiaran dan harap maklum ini yang harus DIUBAH," ungkapnya.
Baca Juga
Meski demikian, Tompi memahami bahwa fenomena tersebut tidak selalu terjadi dan masih banyak lingkungan yang sehat dan saling mendukung tanpa adanya senioritas. Namun, di sisi lain, budaya buruk tetap saja ada.
"Memang ini oknum kok, tapi lumayan banyak dan ada di hampir setiap sudut. Pun demikian, yang baik dan supportif juga ada loh. Hanya saja sering gak bisa berbuat banyak untuk menghapus 'budaya lama'," ujar Tompi.
(tsa)
Lihat Juga :
tulis komentar anda