Hari Kampanye Mengakhiri Spesiesisme Sedunia, Momentum Refleksi tentang Hubungan Manusia dengan Hewan
Sabtu, 31 Agustus 2024 - 19:00 WIB
JAKARTA - Gerakan perlindungan hewan global memperingati Hari Kampanye Mengakhiri Spesiesisme Sedunia (World Day for the End of Speciesism) pada hari ini, Sabtu 31 Agustus 2024. Peringatan yang melibatkan organisasi hak-hak hewan dan individu ini diadakan demi terwujudnya dunia di mana semua makhluk memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat dan welas asih.
Koalisi Act For Farmed Animals (AFFA), sebuah inisiatif kolaboratif yang dijalankan oleh Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal di Indonesia, memperingati Hari Kampanye Mengakhiri Spesiesme Sedunia dengan menyajikan serangkaian refleksi tentang bagaimana hubungan manusia dengan hewan berdampak pada masa depan.
Selama berabad-abad, hewan sering kali hanya dijadikan komoditas belaka. Asumsi bahwa mereka memiliki kapasitas rendah, kurangnya penalaran dan bahasa, dan bahkan tak memiliki perasaan membenarkan penggunaan dan eksploitasi hewan intensif untuk konsumsi makanan, kosmetik, hiburan, transportasi, obat-obatan, dan lainnya. Namun temuan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa berbagai jenis hewan memiliki banyak kesamaan kualitas dan atribut seperti manusia. Misalnya struktur otak yang berhubungan dengan emosi pada manusia, dan kemampuan merasakan nyeri telah dibuktikan secara luas pada semua vertebrata.
“Ilmu pengetahuan mengakui semakin banyak spesies hewan sebagai makhluk dengan kecerdasan, ingatan, dan kapasitas untuk mengalami rasa sakit dan merasakan emosi. Pada saat yang sama, kita juga mengalami kemajuan dalam identifikasi bahasa mereka, ikatan sosial yang mereka bangun, dan keinginan bawaan mereka untuk merasakan kehidupan yang bebas dari rasa sakit dan penderitaan,” kata Among Prakosa, Direktur Pengelola Act for Farmed Animals, melalui keterangan tertulis.
Tahun 2012 menjadi titik balik penting ketika sekelompok ilmuwan terkemuka menerbitkan The Cambridge Declaration of Consciousness. Deklarasi ini mengakui adanya dasar substrat neurobiologis terkait ‘kesadaran’ yang sama pada berbagai spesies hewan, termasuk semua mamalia dan burung serta beberapa spesies lainnya.
Kemudian, antara tahun 2021 dan 2022, semua spesies vertebrata dan banyak invertebrata seperti lobster, gurita, dan kepiting, dimasukkan secara hukum dalam daftar pemerintah Inggris terkait Animal Welfare (Sentience) Bill, yang mendorong pembuatan kebijakan yang mempertimbangkan kemampuan hewan mengalami rasa sakit.
Di tahun ini, Deklarasi New York tentang Kesadaran Hewan juga menyoroti spesies serangga dan moluska, seperti siput dan tiram. Deklarasi ini menyatakan ada kemungkinan hewan-hewan ini memiliki kesadaran atau dapat merasakan sakit.
“Pernyataan ini menegaskan adanya bias atau kekeliruan dalam argumen yang membenarkan eksploitasi terhadap hewan. Studi psikologi menunjukkan bahwa manusia cenderung lebih berempati terhadap spesies yang lebih dekat hubungannya dengan kita (seperti mamalia dibandingkan burung atau ikan). Namun, sejumlah penelitian menekankan bahwa semua spesies layak mendapatkan pertimbangan moral, tidak peduli seberapa dekat hubungan mereka dengan kita. Kita harus membuat perubahan yang diperlukan dalam masyarakat kita untuk menghormati kehidupan mereka,” beber Among.
Dengan semakin meningkatnya pengakuan terhadap hewan, organisasi dan individu yang bekerja untuk melindungi hewan berupaya mengubah industri eksploitatif, menghilangkan praktik-praktik paling kejam, dan mempromosikan alternatif di mana spesies hewan tidak perlu dirugikan demi kepentingan manusia. Di garis depan gerakan ini, AFFA menyoroti peternakan sebagai salah satu isu yang paling mendesak dan penting.
“Perjuangan melawan spesiesisme kami lakukan melalui advokasi untuk spesies yang paling terabaikan. Lebih dari 80 miliar hewan darat disembelih tiap tahun untuk diambil dagingnya, juga ikan dan spesies laut yang jumlah tepatnya sulit dipastikan, namun akan signifikan menambah angka hewan yang disembelih setiap tahun jika mereka juga kita hitung. Mayoritas hewan-hewan ini dibesarkan dalam sistem kurungan intensif yang dikenal sebagai ‘peternakan pabrik’, di mana keuntungan mengesampingkan pertimbangan terkait kesejahteraan hewan. Hewan dijejalkan ke dalam kurungan atau kandang yang penuh sesak, tidak dapat mengekspresikan perilaku alami mereka, dan menerima prosedur peternakan yang menyakitkan dan menderita penyakitt,” tutur Among.
Meskipun pertumbuhan industri peternakan, khususnya peternakan pabrik, yang terus berlanjut makin mengkhawatirkan, AFFA melihat gerakan kesejahteraan hewan telah memimpin perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Transformasi dalam industri pangan sangat jelas terlihat. Kami berhasil mendapatkan komitmen dari ribuan perusahaan di seluruh dunia untuk menghapus praktik-praktik kejam seperti sistem sangkar dan kandang gestasi. Kami mendorong sektor keuangan untuk menjauh dari investasi di peternakan pabrik, dan kami telah mendukung institusi untuk mulai menyediakan jutaan makanan berbasis nabati. Setiap tahun, hampir 60 juta hewan merasakan dampak positif dari kampanye kami. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kita sedang membentuk masa depan yang lebih baik untuk semua spesies,” pungkas Among.
Koalisi Act For Farmed Animals (AFFA), sebuah inisiatif kolaboratif yang dijalankan oleh Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal di Indonesia, memperingati Hari Kampanye Mengakhiri Spesiesme Sedunia dengan menyajikan serangkaian refleksi tentang bagaimana hubungan manusia dengan hewan berdampak pada masa depan.
Selama berabad-abad, hewan sering kali hanya dijadikan komoditas belaka. Asumsi bahwa mereka memiliki kapasitas rendah, kurangnya penalaran dan bahasa, dan bahkan tak memiliki perasaan membenarkan penggunaan dan eksploitasi hewan intensif untuk konsumsi makanan, kosmetik, hiburan, transportasi, obat-obatan, dan lainnya. Namun temuan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa berbagai jenis hewan memiliki banyak kesamaan kualitas dan atribut seperti manusia. Misalnya struktur otak yang berhubungan dengan emosi pada manusia, dan kemampuan merasakan nyeri telah dibuktikan secara luas pada semua vertebrata.
“Ilmu pengetahuan mengakui semakin banyak spesies hewan sebagai makhluk dengan kecerdasan, ingatan, dan kapasitas untuk mengalami rasa sakit dan merasakan emosi. Pada saat yang sama, kita juga mengalami kemajuan dalam identifikasi bahasa mereka, ikatan sosial yang mereka bangun, dan keinginan bawaan mereka untuk merasakan kehidupan yang bebas dari rasa sakit dan penderitaan,” kata Among Prakosa, Direktur Pengelola Act for Farmed Animals, melalui keterangan tertulis.
Tahun 2012 menjadi titik balik penting ketika sekelompok ilmuwan terkemuka menerbitkan The Cambridge Declaration of Consciousness. Deklarasi ini mengakui adanya dasar substrat neurobiologis terkait ‘kesadaran’ yang sama pada berbagai spesies hewan, termasuk semua mamalia dan burung serta beberapa spesies lainnya.
Kemudian, antara tahun 2021 dan 2022, semua spesies vertebrata dan banyak invertebrata seperti lobster, gurita, dan kepiting, dimasukkan secara hukum dalam daftar pemerintah Inggris terkait Animal Welfare (Sentience) Bill, yang mendorong pembuatan kebijakan yang mempertimbangkan kemampuan hewan mengalami rasa sakit.
Di tahun ini, Deklarasi New York tentang Kesadaran Hewan juga menyoroti spesies serangga dan moluska, seperti siput dan tiram. Deklarasi ini menyatakan ada kemungkinan hewan-hewan ini memiliki kesadaran atau dapat merasakan sakit.
“Pernyataan ini menegaskan adanya bias atau kekeliruan dalam argumen yang membenarkan eksploitasi terhadap hewan. Studi psikologi menunjukkan bahwa manusia cenderung lebih berempati terhadap spesies yang lebih dekat hubungannya dengan kita (seperti mamalia dibandingkan burung atau ikan). Namun, sejumlah penelitian menekankan bahwa semua spesies layak mendapatkan pertimbangan moral, tidak peduli seberapa dekat hubungan mereka dengan kita. Kita harus membuat perubahan yang diperlukan dalam masyarakat kita untuk menghormati kehidupan mereka,” beber Among.
Dengan semakin meningkatnya pengakuan terhadap hewan, organisasi dan individu yang bekerja untuk melindungi hewan berupaya mengubah industri eksploitatif, menghilangkan praktik-praktik paling kejam, dan mempromosikan alternatif di mana spesies hewan tidak perlu dirugikan demi kepentingan manusia. Di garis depan gerakan ini, AFFA menyoroti peternakan sebagai salah satu isu yang paling mendesak dan penting.
“Perjuangan melawan spesiesisme kami lakukan melalui advokasi untuk spesies yang paling terabaikan. Lebih dari 80 miliar hewan darat disembelih tiap tahun untuk diambil dagingnya, juga ikan dan spesies laut yang jumlah tepatnya sulit dipastikan, namun akan signifikan menambah angka hewan yang disembelih setiap tahun jika mereka juga kita hitung. Mayoritas hewan-hewan ini dibesarkan dalam sistem kurungan intensif yang dikenal sebagai ‘peternakan pabrik’, di mana keuntungan mengesampingkan pertimbangan terkait kesejahteraan hewan. Hewan dijejalkan ke dalam kurungan atau kandang yang penuh sesak, tidak dapat mengekspresikan perilaku alami mereka, dan menerima prosedur peternakan yang menyakitkan dan menderita penyakitt,” tutur Among.
Meskipun pertumbuhan industri peternakan, khususnya peternakan pabrik, yang terus berlanjut makin mengkhawatirkan, AFFA melihat gerakan kesejahteraan hewan telah memimpin perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Transformasi dalam industri pangan sangat jelas terlihat. Kami berhasil mendapatkan komitmen dari ribuan perusahaan di seluruh dunia untuk menghapus praktik-praktik kejam seperti sistem sangkar dan kandang gestasi. Kami mendorong sektor keuangan untuk menjauh dari investasi di peternakan pabrik, dan kami telah mendukung institusi untuk mulai menyediakan jutaan makanan berbasis nabati. Setiap tahun, hampir 60 juta hewan merasakan dampak positif dari kampanye kami. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kita sedang membentuk masa depan yang lebih baik untuk semua spesies,” pungkas Among.
(tsa)
Lihat Juga :
tulis komentar anda