Heboh Anjuran Menikah Muda, Perhatikan Dampak Buruknya
Jum'at, 12 Februari 2021 - 07:36 WIB
JAKARTA - Kampanye pernikahan dini yang digagas oleh penyelenggara pernikahan Aisha Wedding dinilai meresahkan masyarakat. Anjurannya menikahkan atau mewajibkan anak perempuan menikah pada usia 12 hingga 21 tahun. Bahkan situs ini juga mengajak agar perempuan muslim menikah siri dan mau dipoligami.
Anjuran tentang menikah dini ini dilatarbelakangi pandangan untuk membantu meringankan beban orangtua. Padahal, menikah di usia dini bukannya mengurangi beban malah justru menambah masalah bagi sang anak sendiri.
Ya, perkawinan anak membawa dampak buruk bagi anak perempuan. Sebut saja gangguan kesehatan dan reproduksi, gizi buruk, gangguan psikologis, risiko kekerasan dalam rumah tangga, terhentinya pendidikan, hingga kurangnya kesejahteraan.
“Secara global, kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15 – 19 tahun,” ungkap Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi Dr. dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG (KFER).
Ancaman kesehatan yang berakibat fatal ini terjadi karena remaja perempuan di bawah usia 18 tahun belum memiliki kesiapan fisik yang prima, “baik dari stamina jantung, tekanan darah, atau organ reproduksinya,” imbuh dr. Julianto.
Di Tanah Air angka perkawinan usia anak di Indonesia cukup tinggi. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Berdasarkan laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sekitar 1.000 anak perempuan menikah setiap hari.
Selain ekonomi, faktor pendidikan dan budaya merupakan penyebab terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Tidak hanya di pedesaan, tren pernikahan anak juga marak di Ibu Kota.
Menurut dr. Julianto hal ini dikarenakan lemahnya perhatian kedua orangtua sehingga anak terjerumus dalam pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk menikahkan mereka.
Untuk diketahui, disamping berdampak buruk bagi anak perempuan, perkawinan anak juga berdampak buruk bagi masyarakat dan pemerintah. Perkawinan anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kalau dibiarkan, hal ini akan berpengaruh pada bonus demografi usia produktif sehingga berdampak pada terhambatnya pertumbuhan sosial dan ekonomi.
Anjuran tentang menikah dini ini dilatarbelakangi pandangan untuk membantu meringankan beban orangtua. Padahal, menikah di usia dini bukannya mengurangi beban malah justru menambah masalah bagi sang anak sendiri.
Ya, perkawinan anak membawa dampak buruk bagi anak perempuan. Sebut saja gangguan kesehatan dan reproduksi, gizi buruk, gangguan psikologis, risiko kekerasan dalam rumah tangga, terhentinya pendidikan, hingga kurangnya kesejahteraan.
“Secara global, kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15 – 19 tahun,” ungkap Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi Dr. dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG (KFER).
Ancaman kesehatan yang berakibat fatal ini terjadi karena remaja perempuan di bawah usia 18 tahun belum memiliki kesiapan fisik yang prima, “baik dari stamina jantung, tekanan darah, atau organ reproduksinya,” imbuh dr. Julianto.
Di Tanah Air angka perkawinan usia anak di Indonesia cukup tinggi. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Berdasarkan laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sekitar 1.000 anak perempuan menikah setiap hari.
Selain ekonomi, faktor pendidikan dan budaya merupakan penyebab terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Tidak hanya di pedesaan, tren pernikahan anak juga marak di Ibu Kota.
Menurut dr. Julianto hal ini dikarenakan lemahnya perhatian kedua orangtua sehingga anak terjerumus dalam pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk menikahkan mereka.
Untuk diketahui, disamping berdampak buruk bagi anak perempuan, perkawinan anak juga berdampak buruk bagi masyarakat dan pemerintah. Perkawinan anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kalau dibiarkan, hal ini akan berpengaruh pada bonus demografi usia produktif sehingga berdampak pada terhambatnya pertumbuhan sosial dan ekonomi.
(tdy)
Lihat Juga :
tulis komentar anda