Istilah Badai Sitokin Pertama Kali Ditemukan Oleh James L. Ferrara
Senin, 30 Agustus 2021 - 19:55 WIB
JAKARTA - Istilah badai sitokin pertama kali diungkap oleh seorang peneliti dalam bidang imunologi, James L. Ferarra, melalui sebuah jurnal bertajuk ‘Cytokine storm of graft-versus-host disease: a critical effector role for interleukin-1’. Ferrara beserta 2 rekannya memproduksi jurnal kesehatan tersebut pada Februari 1993. Pelepasan sitokin yang berlebihan dan selanjutnya diistilahkan sebagai badai sitokin itu terus dibahas dalam berbagai diskusi selama bertahun-tahun.
Kurang lebih 9 tahun setelahnya, istilah badai sitokin kembali muncul dalam sebuah diskusi kesehatan yang membahas mengenai radang pankreas. Berbagai sumber menyebut, badai sitokin ikut berperan menyebabkan kematian dalam merebaknya kasus SARS di tahun 2003 dan wabah flu burung H5N1.
Menurut jurnal kesehatan yang dirilis oleh University of New England pada Desember 2020, badai sitokin sebelumnya disebut sebagai sebuah sindrom yang menyerupai influenza dan umum terjadi setelah adanya infeksi sistemik seperti sepsis dan infeksi bakteri Yersinia peptis.
James L. Ferrara
Infeksi tersebut mampu memicu magrofag alveolar untuk menghasilkan jumlah sitokin yang berlebihan. Bahkan hingga menyebabkan ‘badai’. Hal itu berujung pada respon imun berlebihan. Kejadian berlebihannya respon imum seseorang ini diyakini menjadi faktor utama banyaknya kematian yang terjadi saat pandemi influenza di tahun 1918 – 1919 silam.
Penyakit ini bisa diidap oleh penderita Covid-19, dan organ yang paling parah terserang adalah paru-paru serta pembulu darah. Orang-orang yang terserang badai sitokin akan mudah mengalami sesak napas, demam, tubuh menggigil, sakit kepala, ruam pada kulit, batuk dan mudah lelah.
Lihat Juga: Apakah Pembatasan Perjalanan ke Singapura Diberlakukan? Buntut COVID-19 Varian KP Merebak
Kurang lebih 9 tahun setelahnya, istilah badai sitokin kembali muncul dalam sebuah diskusi kesehatan yang membahas mengenai radang pankreas. Berbagai sumber menyebut, badai sitokin ikut berperan menyebabkan kematian dalam merebaknya kasus SARS di tahun 2003 dan wabah flu burung H5N1.
Menurut jurnal kesehatan yang dirilis oleh University of New England pada Desember 2020, badai sitokin sebelumnya disebut sebagai sebuah sindrom yang menyerupai influenza dan umum terjadi setelah adanya infeksi sistemik seperti sepsis dan infeksi bakteri Yersinia peptis.
James L. Ferrara
Infeksi tersebut mampu memicu magrofag alveolar untuk menghasilkan jumlah sitokin yang berlebihan. Bahkan hingga menyebabkan ‘badai’. Hal itu berujung pada respon imun berlebihan. Kejadian berlebihannya respon imum seseorang ini diyakini menjadi faktor utama banyaknya kematian yang terjadi saat pandemi influenza di tahun 1918 – 1919 silam.
Penyakit ini bisa diidap oleh penderita Covid-19, dan organ yang paling parah terserang adalah paru-paru serta pembulu darah. Orang-orang yang terserang badai sitokin akan mudah mengalami sesak napas, demam, tubuh menggigil, sakit kepala, ruam pada kulit, batuk dan mudah lelah.
Lihat Juga: Apakah Pembatasan Perjalanan ke Singapura Diberlakukan? Buntut COVID-19 Varian KP Merebak
(wur)
tulis komentar anda