Banyak Diminati, Film Horor Gambarkan Karakter Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Film horor menjadi salah satu genre yang banyak diminati masyarakat. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di dunia.
Makin menyeramkan sebuah film horor, maka semakin tinggi kepuasan yang diperoleh para penonton. Terlebih hantu yang ditampilkan membuat tidak bisa tidur bagi yang menontonnya.
"Tidak jarang ada pula yang menutup mata saat di bioskop ketika muncul penampakan, padahal mereka sudah membayar mahal untuk membeli tiket," ungkap CEO Bawana Entertainment, Muchamad Nur Wachid dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
Menurutnya, baik Indonesia maupun Hollywood sama-sama memiliki pasar yang cukup besar untuk film genre horor. Seperti diketahui, film KKN di Desa Penari berhasil menembus angka 10 juta penonton, sebuah angka fantastis tidak saja untuk film horor, namun juga film Indonesia secara keseluruhan.
"Setelah ada versi extended dengan penambahan adegan baru 40 menit, semakin menunjukkan bahwa Sang Penari alias Badarawuhi adalah sosok yang digemari sekaligus ditakuti," kata dia.
Sementara, di Negeri Paman Sam, terdapat film The Conjuring yang sangat mendapatkan tempat di hati pecinta film horor. Film besutan sutradara James Wan ini diangkat juga dari kisah nyata keluarga Warren, dan sukses mengumpulkan pundi-pundi hingga Rp4,2 triliun di seluruh dunia.
Karakter film horor antara Indonesia dan Hollywood sendiri tentunya sanat berbeda. Pasalnya, kata Nur Wachid, budaya sangat berpengaruh terhadap jalan cerita sebuah karya sinematik, termasuk dari bentuk hantunya.
"Pada dasarnya, hantu adalah karya imajiner sutradara atau penulis novel atau desas desus dari masyarakat setempat yang kemudian divisualisasikan. Kuntilanak misalnya, beda bentuk antara versi Jawa dengan Melayu Kalimantan," paparnya.
"Demikian juga dengan vampir, antara versi Rumania dengan China tentu saja berbeda. Ini sangat bergantung dari budaya setempat dan tentunya kreativitas dari tim kreatif masing-masing film," lanjut dia.
Nur Wachid juga menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara film horor Indonesia dengan Hollywood, yang sangat menggambarkan karakter masyarakatnya, yakni respons mereka saat bertemu hantu.
"Digambarkan dalam film horor Indonesia, apa pun judulnya, hampir semua hantu tampil mendominasi, menakutkan dan superior. Sementara tokoh utamanya sangat lemah, meski pun di akhir film sang tokoh utama tetap menang melawan hantunya," paparnya.
Hal itu, kata dia, berbeda dengan Hollywood. Film SMILE yang diliris tahun ini, meski di awal tokoh utama ketakutan dengan kehadiran penampakan hantu, namun menjelang akhir filmnya justru dia mendatangi si hantu dan membakarnya.
Faktor budaya menjadi variabel yang cukup penting mengapa kebanyakan film horor di Indonesia menempatkan hantu sebagai sosok yang tidak tertandingi. Kalau pun akhirnya hantu tersebut kalah, namun kalahnya seringkali kalah terhormat.
"Mengapa terhormat, karena untuk mengusir hantu tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan alat bantu yang tidak sedikit. Kalau di film Hollywood, cukup seimbang. Satu orang melawan satu hantu --kecuali dalam film Ghostbuster karena hantunya cukup besar dan kuat," tuturnya.
Nur Wachid pun berharap ke depannya, tren film horor di Indonesia mulai bergeser dan mengikuti Hollywood. "Nanti kita akan melihat film KKN di Desa Penari dengan versi mahasiswanya berhasil menangkap salah satu hantu penari dan berdialog dengannya," pungkasnya.
Makin menyeramkan sebuah film horor, maka semakin tinggi kepuasan yang diperoleh para penonton. Terlebih hantu yang ditampilkan membuat tidak bisa tidur bagi yang menontonnya.
"Tidak jarang ada pula yang menutup mata saat di bioskop ketika muncul penampakan, padahal mereka sudah membayar mahal untuk membeli tiket," ungkap CEO Bawana Entertainment, Muchamad Nur Wachid dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
Menurutnya, baik Indonesia maupun Hollywood sama-sama memiliki pasar yang cukup besar untuk film genre horor. Seperti diketahui, film KKN di Desa Penari berhasil menembus angka 10 juta penonton, sebuah angka fantastis tidak saja untuk film horor, namun juga film Indonesia secara keseluruhan.
"Setelah ada versi extended dengan penambahan adegan baru 40 menit, semakin menunjukkan bahwa Sang Penari alias Badarawuhi adalah sosok yang digemari sekaligus ditakuti," kata dia.
Sementara, di Negeri Paman Sam, terdapat film The Conjuring yang sangat mendapatkan tempat di hati pecinta film horor. Film besutan sutradara James Wan ini diangkat juga dari kisah nyata keluarga Warren, dan sukses mengumpulkan pundi-pundi hingga Rp4,2 triliun di seluruh dunia.
Karakter film horor antara Indonesia dan Hollywood sendiri tentunya sanat berbeda. Pasalnya, kata Nur Wachid, budaya sangat berpengaruh terhadap jalan cerita sebuah karya sinematik, termasuk dari bentuk hantunya.
"Pada dasarnya, hantu adalah karya imajiner sutradara atau penulis novel atau desas desus dari masyarakat setempat yang kemudian divisualisasikan. Kuntilanak misalnya, beda bentuk antara versi Jawa dengan Melayu Kalimantan," paparnya.
"Demikian juga dengan vampir, antara versi Rumania dengan China tentu saja berbeda. Ini sangat bergantung dari budaya setempat dan tentunya kreativitas dari tim kreatif masing-masing film," lanjut dia.
Nur Wachid juga menjelaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara film horor Indonesia dengan Hollywood, yang sangat menggambarkan karakter masyarakatnya, yakni respons mereka saat bertemu hantu.
"Digambarkan dalam film horor Indonesia, apa pun judulnya, hampir semua hantu tampil mendominasi, menakutkan dan superior. Sementara tokoh utamanya sangat lemah, meski pun di akhir film sang tokoh utama tetap menang melawan hantunya," paparnya.
Hal itu, kata dia, berbeda dengan Hollywood. Film SMILE yang diliris tahun ini, meski di awal tokoh utama ketakutan dengan kehadiran penampakan hantu, namun menjelang akhir filmnya justru dia mendatangi si hantu dan membakarnya.
Faktor budaya menjadi variabel yang cukup penting mengapa kebanyakan film horor di Indonesia menempatkan hantu sebagai sosok yang tidak tertandingi. Kalau pun akhirnya hantu tersebut kalah, namun kalahnya seringkali kalah terhormat.
"Mengapa terhormat, karena untuk mengusir hantu tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan alat bantu yang tidak sedikit. Kalau di film Hollywood, cukup seimbang. Satu orang melawan satu hantu --kecuali dalam film Ghostbuster karena hantunya cukup besar dan kuat," tuturnya.
Baca Juga
Nur Wachid pun berharap ke depannya, tren film horor di Indonesia mulai bergeser dan mengikuti Hollywood. "Nanti kita akan melihat film KKN di Desa Penari dengan versi mahasiswanya berhasil menangkap salah satu hantu penari dan berdialog dengannya," pungkasnya.
(nug)