Kenali Risiko dan Gejala Limfoma, Kanker Darah yang Harus Diwaspadai sejak Dini
loading...
![Kenali Risiko dan Gejala...](https://pict.sindonews.net/webp/732/pena/news/2023/09/15/155/1202125/kenali-risiko-dan-gejala-limfoma-kanker-darah-yang-harus-diwaspadai-sejak-dini-juv.webp)
Hari Kesadaran Limfoma Sedunia diperingati setiap 15 September untuk meningkatkan kesadaran akan limfoma hodgkin, tipe kanker kelenjar getah bening yang semakin umum. Foto/ freepik.
A
A
A
JAKARTA - Hari Kesadaran Limfoma Sedunia diperingati setiap 15 September untuk meningkatkan kesadaran akan limfoma hodgkin, tipe kanker kelenjar getah bening yang semakin umum.
Limfoma sendiri merupakan kanker darah yang terjadi akibat sel darah putih yang disebut limfosit membelah secara tidak terkontrol. Limfosit kemudian menyebar dalam tubuh pada sistem limfatik (kelenjar getah bening).
Dr. dr. Andhika Rahman, SpPD-KHOM, ahli onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menuturkan, jika dari kaki sampai kepala memiliki kelenjar getah bening, maka benjolan limfoma dapat terjadi di beberapa bagian tubuh, dari leher, paha, ketiak dan beberapa bagian dari lain.
Namun, jika sudah stadium lanjut, limfosit akan menyebar melalui aliran darah ke organ vital seperti hati, paru-paru dan sumsum tulang belakang.
Untuk itu, penting sekali deteksi dini limfoma sebelum semakin parah dan membahayakan tubuh. Maka, Andhika Rahman meminta masyarakat Indonesia lebih menyadari gejala-gejala limfoma.
“Gejalanya sebenarnya sama dengan kanker pada umumnya. Gejala konstitusional, gejala badan,” tutur Andhika Rahman ditemui di Jakarta, Jumat (15/9/2023).
“Di antaranya pembesaran kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau pangkal paha, dan bisa disertai dengan B symptoms. Yaitu demam 37,2-38 derajat Celcius, berkeringat pada malam hari, penurunan bobot lebih dari 10% selama 6 bulan, kulit gatal-gatal, kelelahan yang luar biasa, dan intoleransi terhadap alkohol,” ujar dia.
Dalam hal ini, Andhika Rahman mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan diagnosis secara pribadi. Ketika merasa memiliki gejala seperti yang disebutkan di atas terjadi secara terus menerus, Andhika menyarankan untuk langsung ke rumah sakit melakukan pemeriksaan.
Selain itu, adapun beberapa orang yang lebih berisiko terkena kanker limfoma yakni mereka yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker limfoma. Dalam kasus ini, Andhika Rahman menyarankan seseorang yang memiliki riwayat keluarga kanker limfoma segera lakukan screening di usia 20 tahun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Eva Susanti, S.KP., M.Kes mengatakan layanan screening kini sudah tersedia untuk 14 penyakit penyebab utama kematian dan berbiaya besar. Tidak hanya itu, screening yang tersedia pun sudah mendetail, masing-masing usia berbeda.
“Kami sudah melakukan perbaikan laboratorium masyarakat. Tier 1,2,3,4,5 untuk melengkapi pemeriksaan penunjang mendukung penegakan diagnosis,” kata Eva Susanti.
Tidak hanya kemudahan dan kelengkapan di bagian screening, Eva Susanti juga mengatakan sudah memproses obat-obatan yang sulit didapat masyarakat Indonesia.
“Kemudian untuk obat, kemarin kita sudah mengumpulkan organisasi profesi, kita menuliskan obat-obatan yang memang tidak ada gitu ya atau susah di akses. Nah itu juga kemarin kita sudah mengusulkan ini sudah berproses untuk menjadikan obat itu obat program,” kata Eva.
“Jadi obat itu bagaimana caranya pemerintah yang beli dan itu ada selalu stoknya. Jangan sampai kekurangan obat gitu,” ucap dia lagi.
Dengan segala kelengkapan fasilitas yang ada ini, diharapkan masyarakat Indonesia tidak telat untuk mendeteksi dini limfoma serta melakukan pengobatan agar semakin cepat juga untuk sembuh.
Limfoma sendiri merupakan kanker darah yang terjadi akibat sel darah putih yang disebut limfosit membelah secara tidak terkontrol. Limfosit kemudian menyebar dalam tubuh pada sistem limfatik (kelenjar getah bening).
Dr. dr. Andhika Rahman, SpPD-KHOM, ahli onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menuturkan, jika dari kaki sampai kepala memiliki kelenjar getah bening, maka benjolan limfoma dapat terjadi di beberapa bagian tubuh, dari leher, paha, ketiak dan beberapa bagian dari lain.
Namun, jika sudah stadium lanjut, limfosit akan menyebar melalui aliran darah ke organ vital seperti hati, paru-paru dan sumsum tulang belakang.
Untuk itu, penting sekali deteksi dini limfoma sebelum semakin parah dan membahayakan tubuh. Maka, Andhika Rahman meminta masyarakat Indonesia lebih menyadari gejala-gejala limfoma.
“Gejalanya sebenarnya sama dengan kanker pada umumnya. Gejala konstitusional, gejala badan,” tutur Andhika Rahman ditemui di Jakarta, Jumat (15/9/2023).
“Di antaranya pembesaran kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau pangkal paha, dan bisa disertai dengan B symptoms. Yaitu demam 37,2-38 derajat Celcius, berkeringat pada malam hari, penurunan bobot lebih dari 10% selama 6 bulan, kulit gatal-gatal, kelelahan yang luar biasa, dan intoleransi terhadap alkohol,” ujar dia.
Dalam hal ini, Andhika Rahman mengingatkan agar masyarakat tidak melakukan diagnosis secara pribadi. Ketika merasa memiliki gejala seperti yang disebutkan di atas terjadi secara terus menerus, Andhika menyarankan untuk langsung ke rumah sakit melakukan pemeriksaan.
Selain itu, adapun beberapa orang yang lebih berisiko terkena kanker limfoma yakni mereka yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker limfoma. Dalam kasus ini, Andhika Rahman menyarankan seseorang yang memiliki riwayat keluarga kanker limfoma segera lakukan screening di usia 20 tahun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Eva Susanti, S.KP., M.Kes mengatakan layanan screening kini sudah tersedia untuk 14 penyakit penyebab utama kematian dan berbiaya besar. Tidak hanya itu, screening yang tersedia pun sudah mendetail, masing-masing usia berbeda.
“Kami sudah melakukan perbaikan laboratorium masyarakat. Tier 1,2,3,4,5 untuk melengkapi pemeriksaan penunjang mendukung penegakan diagnosis,” kata Eva Susanti.
Tidak hanya kemudahan dan kelengkapan di bagian screening, Eva Susanti juga mengatakan sudah memproses obat-obatan yang sulit didapat masyarakat Indonesia.
“Kemudian untuk obat, kemarin kita sudah mengumpulkan organisasi profesi, kita menuliskan obat-obatan yang memang tidak ada gitu ya atau susah di akses. Nah itu juga kemarin kita sudah mengusulkan ini sudah berproses untuk menjadikan obat itu obat program,” kata Eva.
“Jadi obat itu bagaimana caranya pemerintah yang beli dan itu ada selalu stoknya. Jangan sampai kekurangan obat gitu,” ucap dia lagi.
Dengan segala kelengkapan fasilitas yang ada ini, diharapkan masyarakat Indonesia tidak telat untuk mendeteksi dini limfoma serta melakukan pengobatan agar semakin cepat juga untuk sembuh.
(tdy)