Review Film Love for Sale: Mengusik Zona Nyaman si Jomblo
A
A
A
FILM ini dengan jahil memotret hidup pria lajang yang sudah berumur. Bikin tertawa sekaligus penasaran dalam waktu yang bersamaan.
Rutinitas harian Richard (Gading Marten) gampang ditebak. Pagi hari dia akan keluar kamar dengan cuma memakai kaus oblong bolong-bolong dan celana kolor. Mengulet, menggaruk-garuk area vitalnya, lalu menyapa Kelun, si kura-kura besar peliharaannya. Berikutnya, masak mi instan sebagai sarapan.
Kegiatan berikutnya adalah turun dari lantai atas rumahnya menuju kantor percetakan warisan orang tua yang terletak persis di samping rumah. Malam harinya dia menonton televisi bersama Kelun sampai ngantuk, lalu masuk kamar dan kelonan dengan Kelun.
Kelihatannya memang membosankan, tapi Richard yang masih lajang pada usia 41 tahun merasa nyaman saja dengan hidupnya. Kalau mau hangout, dia masih punya teman-teman untuk nobar sekaligus judi bola sampai pagi. Kalau mau curhat atau minta tolong, dia juga punya Panji (Verdi Solaiman) yang jadi sahabatnya dari kecil.
Dengan hidup yang sudah terkontrol, cari pasangan tak pernah masuk hitungan dalam rencana hidupnya. Apalagi setelah pernah gagal membina hubungan serius. Sampai teman-teman judi bolanya menantang untuk mengajak pasangan saat pesta pernikahan teman mereka, Rudy (Rizky Mocil).
Taruhannya, harga diri. Richard hanya punya waktu seminggu untuk menyelamatkan mukanya, dan aplikasi pacar sewaan pun jadi solusinya. Dia lalu bertemu Arini (Della Dartyan), dan sejak itu hidup Richard tak lagi sama. Momen-momen saat Richard masih hidup sendiri hingga ada Arini dalam hidupnya dipotret sutradara Andibachtiar dengan formula humor.
Kebiasaannya menggaruk-garuk kelamin tiap bangun tidur hingga hewan peliharaannya yang tak lazim jadi semacam humor gelap tentang hidup si jomblo akut. Begitu juga lagu jadul tahun 1970-an milik The Mercyís, Hidupku Sunyi, yang jadi lagu favorit Richard, menambah bahan buat penonton menertawakan hidup Richard.
Nakalnya skenario buatan Andibachtiar dan Irfan Ramly juga merembet ke sikap antagonis Richard kepada empat karyawannya. Pernah dengar lelucon bos yang galak karena kelamaan jomblo? Richard pun begitu. Kalau di kantor, hidupnya enggak pernah santai. Nah, saat Arini datang dalam hidup Richard, semuanya berubah. Dia tak lagi keluar kamar pakai kolor doang. Dia juga jadi baik sekali kepada karyawan-karyawannya. Aturan kerja yang tadinya sangat ketat, berubah superfleksibel.
Wajah Richard juga lebih sumringah. Film jadi terasa seperti drama romantis ngepop hingga penonton tersadar bahwa ada nama Angga Dwimas Sasongko dan Visinema Pictures sebagai produser film ini. Film-film Angga dikenal memiliki unsur seni yang kental. Bahkan, walau tema film-filmnya ngepop, misalnya dua film Filosofi Kopi, tapi kemasannya sangat nyeni, baik visual maupun eksekusi ceritanya.
Love for Sale pun juga begitu. Andibachtiar, Irfan, dan Angga tak mau membuat film yang straight to the point. Jadilah ada kejutan kecil untuk penonton jelang akhir film. Bagi yang sudah melihat trailer-nya dan cukup jeli, sebetulnya bisa menemukan petunjuknya di sana. Petunjuk-petunjuk kecil juga diberikan dalam film, tapi pada akhirnya Love for Sale memberikan tafsir bebas kepada penonton.
Akhirnya, penonton pun harus mencari jawabannya sendiri. Apakah film ini tentang perjuangan cinta, apakah tentang harga mahal yang harus ditebus demi bisa merasakan cinta, ataukah tentang cinta yang mampu membuat hidup lebih bermakna, semuanya tergantung sudut pandang penonton. Namun, apa pun tafsirnya, yang pasti sebelumnya akan membuat penonton penasaran dan bertanya-tanya terlebih dahulu. Nah yang pasti dan harus jadi catatan penting, Gading Martin rupanya juga bisa berakting.
Karakter Richard begitu hidup, nyata, dan natural di tangannya. Setelah berpuluh-puluh kali selalu mendapat peran stereotipe, kali ini Gading rasanya layak mendapat satu jatah di kategori aktor terbaik FFI mendatang.
Rutinitas harian Richard (Gading Marten) gampang ditebak. Pagi hari dia akan keluar kamar dengan cuma memakai kaus oblong bolong-bolong dan celana kolor. Mengulet, menggaruk-garuk area vitalnya, lalu menyapa Kelun, si kura-kura besar peliharaannya. Berikutnya, masak mi instan sebagai sarapan.
Kegiatan berikutnya adalah turun dari lantai atas rumahnya menuju kantor percetakan warisan orang tua yang terletak persis di samping rumah. Malam harinya dia menonton televisi bersama Kelun sampai ngantuk, lalu masuk kamar dan kelonan dengan Kelun.
Kelihatannya memang membosankan, tapi Richard yang masih lajang pada usia 41 tahun merasa nyaman saja dengan hidupnya. Kalau mau hangout, dia masih punya teman-teman untuk nobar sekaligus judi bola sampai pagi. Kalau mau curhat atau minta tolong, dia juga punya Panji (Verdi Solaiman) yang jadi sahabatnya dari kecil.
Dengan hidup yang sudah terkontrol, cari pasangan tak pernah masuk hitungan dalam rencana hidupnya. Apalagi setelah pernah gagal membina hubungan serius. Sampai teman-teman judi bolanya menantang untuk mengajak pasangan saat pesta pernikahan teman mereka, Rudy (Rizky Mocil).
Taruhannya, harga diri. Richard hanya punya waktu seminggu untuk menyelamatkan mukanya, dan aplikasi pacar sewaan pun jadi solusinya. Dia lalu bertemu Arini (Della Dartyan), dan sejak itu hidup Richard tak lagi sama. Momen-momen saat Richard masih hidup sendiri hingga ada Arini dalam hidupnya dipotret sutradara Andibachtiar dengan formula humor.
Kebiasaannya menggaruk-garuk kelamin tiap bangun tidur hingga hewan peliharaannya yang tak lazim jadi semacam humor gelap tentang hidup si jomblo akut. Begitu juga lagu jadul tahun 1970-an milik The Mercyís, Hidupku Sunyi, yang jadi lagu favorit Richard, menambah bahan buat penonton menertawakan hidup Richard.
Nakalnya skenario buatan Andibachtiar dan Irfan Ramly juga merembet ke sikap antagonis Richard kepada empat karyawannya. Pernah dengar lelucon bos yang galak karena kelamaan jomblo? Richard pun begitu. Kalau di kantor, hidupnya enggak pernah santai. Nah, saat Arini datang dalam hidup Richard, semuanya berubah. Dia tak lagi keluar kamar pakai kolor doang. Dia juga jadi baik sekali kepada karyawan-karyawannya. Aturan kerja yang tadinya sangat ketat, berubah superfleksibel.
Wajah Richard juga lebih sumringah. Film jadi terasa seperti drama romantis ngepop hingga penonton tersadar bahwa ada nama Angga Dwimas Sasongko dan Visinema Pictures sebagai produser film ini. Film-film Angga dikenal memiliki unsur seni yang kental. Bahkan, walau tema film-filmnya ngepop, misalnya dua film Filosofi Kopi, tapi kemasannya sangat nyeni, baik visual maupun eksekusi ceritanya.
Love for Sale pun juga begitu. Andibachtiar, Irfan, dan Angga tak mau membuat film yang straight to the point. Jadilah ada kejutan kecil untuk penonton jelang akhir film. Bagi yang sudah melihat trailer-nya dan cukup jeli, sebetulnya bisa menemukan petunjuknya di sana. Petunjuk-petunjuk kecil juga diberikan dalam film, tapi pada akhirnya Love for Sale memberikan tafsir bebas kepada penonton.
Akhirnya, penonton pun harus mencari jawabannya sendiri. Apakah film ini tentang perjuangan cinta, apakah tentang harga mahal yang harus ditebus demi bisa merasakan cinta, ataukah tentang cinta yang mampu membuat hidup lebih bermakna, semuanya tergantung sudut pandang penonton. Namun, apa pun tafsirnya, yang pasti sebelumnya akan membuat penonton penasaran dan bertanya-tanya terlebih dahulu. Nah yang pasti dan harus jadi catatan penting, Gading Martin rupanya juga bisa berakting.
Karakter Richard begitu hidup, nyata, dan natural di tangannya. Setelah berpuluh-puluh kali selalu mendapat peran stereotipe, kali ini Gading rasanya layak mendapat satu jatah di kategori aktor terbaik FFI mendatang.
(amm)