Peneliti Temukan Cara Baru Deteksi Dini Kanker Ovarium lewat Tes Urin
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kanker ovarium atau kanker indung telur adalah kanker ketiga yang tercatat paling sering dialami oleh wanita Indonesia. Kanker ovarium merupakan kanker ginekologi yang paling mematikan dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sekitar 43%.
Penanganan kanker ovarium merupakan tantangan terbesar bagi para dokter onkologi ginekologi di antara seluruh kanker ginekologi. Namun, baru-baru ini para ilmuwan tengah gencar melakukan tes berbasis urin yang potensial untuk membantu mendeteksi kanker ovarium pada tahap awal.
Para peneliti dari Virginia Commonwealth University itu mempublikasikan penelitian mereka di Journal of American Chemical Society. Mereka juga akan mempresentasikan temuan tersebut dalam Pertemuan Tahunan Masyarakat Biofisik minggu depan di Philadelphia, AS.
Tujuan para peneliti dalam tes ini adalah agar tim medis dapat menggunakan informasi tersebut dan segera diterapkan dalam dunia medis, khususnya untuk deteksi dini dan pengobatan kanker ovarium. Nantinya, tes urin ini akan dikombinasikan dengan tes darah CA-125, USG transvaginal, dan riwayat keluarga untuk melakukan deteksi tahap awal, diagnosis, serta pengobatan kanker ovarium.
“Tidak ada tes skrining yang berguna atau tersedia untuk kanker ovarium,” kata ahli onkologi ginekologi di Perlmutter Cancer Center NYU Langone, Dr. Deanna Gerber, dilansir dari laman Medical News Today, Minggu (11/2/2024).
“Dengan demikian, sebagian besar kanker ovarium didiagnosis pada stadium tiga dan empat ketika sudah menunjukkan gejala,” tambahnya.
Menurut Gerber, penemuan ini cukup menarik. Pasalnya, hal ini akan meningkatkan peluang tim medis dalam mendeteksi kanker pada tahap dini bagi pasiennya, sehingga bisa meningkatkan peluang untuk menyembuhkan lebih banyak kasus kanker ovarium.
Lantas, bagaimana tes urin ini bisa mendeteksi adanya kanker ovarium pada seseorang?
Gerber menjelaskan, terdapat ribuan partikel kecil yang disebut peptida dalam urin seseorang. Kemunculan partikel spesifik selain partikel peptida dalam urin seorang wanita bisa jadi pertanda dan gejala bahwa ia memiliki potensi mengidap kanker ovarium.
Para peneliti mengidentifikasi dan menganalisis 13 peptida, termasuk yang berasal dari glikoprotein a-2 yang kaya leusin (LRG-1), sebuah biomarker yang dikenal dalam urin penderita kanker ovarium.
Menurut para peneliti, mereka sekarang mengetahui seperti apa ciri-ciri peptida tersebut dan bagaimana hal itu dapat digunakan untuk mendeteksi kanker ovarium pada tahap awal dibandingkan dengan tes yang ada saat ini.
“Ilmu pengetahuan di balik hal ini sangat menarik dan tampaknya sangat menjanjikan sebagai cara untuk mendeteksi kanker ovarium melalui urin,” terang Gerber.
“Saya rasa hal ini memberikan harapan bagi pasien dan penyedia layanan kanker kami bahwa komunitas ilmiah terus berupaya meningkatkan hasil pengobatan kanker ginekologi,” sambungnya.
Meskipun penelitian ini berpotensi menyelamatkan nyawa, para ahli mengatakan masih perlu mendalami lebih jauh terkait riset terbaru tersebut.
“Meskipun penelitian ini menjanjikan, tapi masih jauh dari waktu yang tepat untuk melakukan skrining atau tes diagnostik untuk kanker ovarium,” kata Dr. Diana Pearre, ahli onkologi ginekologi di The Roy and Patricia Disney Family Cancer Center di Providence Saint Joseph Medical Center di California.
“Saya optimis teknologi ini pada akhirnya dapat membantu kita dalam membantu mendeteksi kanker ovarium. Saat ini, tes yang kami gunakan untuk pemeriksaan kanker ovarium adalah USG panggul dan penanda tumor (tes darah),” kata Pearre kepada Medical News Today.
Penanganan kanker ovarium merupakan tantangan terbesar bagi para dokter onkologi ginekologi di antara seluruh kanker ginekologi. Namun, baru-baru ini para ilmuwan tengah gencar melakukan tes berbasis urin yang potensial untuk membantu mendeteksi kanker ovarium pada tahap awal.
Para peneliti dari Virginia Commonwealth University itu mempublikasikan penelitian mereka di Journal of American Chemical Society. Mereka juga akan mempresentasikan temuan tersebut dalam Pertemuan Tahunan Masyarakat Biofisik minggu depan di Philadelphia, AS.
Tujuan para peneliti dalam tes ini adalah agar tim medis dapat menggunakan informasi tersebut dan segera diterapkan dalam dunia medis, khususnya untuk deteksi dini dan pengobatan kanker ovarium. Nantinya, tes urin ini akan dikombinasikan dengan tes darah CA-125, USG transvaginal, dan riwayat keluarga untuk melakukan deteksi tahap awal, diagnosis, serta pengobatan kanker ovarium.
“Tidak ada tes skrining yang berguna atau tersedia untuk kanker ovarium,” kata ahli onkologi ginekologi di Perlmutter Cancer Center NYU Langone, Dr. Deanna Gerber, dilansir dari laman Medical News Today, Minggu (11/2/2024).
“Dengan demikian, sebagian besar kanker ovarium didiagnosis pada stadium tiga dan empat ketika sudah menunjukkan gejala,” tambahnya.
Menurut Gerber, penemuan ini cukup menarik. Pasalnya, hal ini akan meningkatkan peluang tim medis dalam mendeteksi kanker pada tahap dini bagi pasiennya, sehingga bisa meningkatkan peluang untuk menyembuhkan lebih banyak kasus kanker ovarium.
Lantas, bagaimana tes urin ini bisa mendeteksi adanya kanker ovarium pada seseorang?
Gerber menjelaskan, terdapat ribuan partikel kecil yang disebut peptida dalam urin seseorang. Kemunculan partikel spesifik selain partikel peptida dalam urin seorang wanita bisa jadi pertanda dan gejala bahwa ia memiliki potensi mengidap kanker ovarium.
Para peneliti mengidentifikasi dan menganalisis 13 peptida, termasuk yang berasal dari glikoprotein a-2 yang kaya leusin (LRG-1), sebuah biomarker yang dikenal dalam urin penderita kanker ovarium.
Menurut para peneliti, mereka sekarang mengetahui seperti apa ciri-ciri peptida tersebut dan bagaimana hal itu dapat digunakan untuk mendeteksi kanker ovarium pada tahap awal dibandingkan dengan tes yang ada saat ini.
“Ilmu pengetahuan di balik hal ini sangat menarik dan tampaknya sangat menjanjikan sebagai cara untuk mendeteksi kanker ovarium melalui urin,” terang Gerber.
“Saya rasa hal ini memberikan harapan bagi pasien dan penyedia layanan kanker kami bahwa komunitas ilmiah terus berupaya meningkatkan hasil pengobatan kanker ginekologi,” sambungnya.
Meskipun penelitian ini berpotensi menyelamatkan nyawa, para ahli mengatakan masih perlu mendalami lebih jauh terkait riset terbaru tersebut.
“Meskipun penelitian ini menjanjikan, tapi masih jauh dari waktu yang tepat untuk melakukan skrining atau tes diagnostik untuk kanker ovarium,” kata Dr. Diana Pearre, ahli onkologi ginekologi di The Roy and Patricia Disney Family Cancer Center di Providence Saint Joseph Medical Center di California.
“Saya optimis teknologi ini pada akhirnya dapat membantu kita dalam membantu mendeteksi kanker ovarium. Saat ini, tes yang kami gunakan untuk pemeriksaan kanker ovarium adalah USG panggul dan penanda tumor (tes darah),” kata Pearre kepada Medical News Today.
(tsa)