Film Dirty Vote Bisa Jadi Tontonan Mengedukasi Jelang Pemilu, Ungkap Bentuk-Bentuk Kecurangan

Minggu, 11 Februari 2024 - 17:35 WIB
loading...
Film Dirty Vote Bisa Jadi Tontonan Mengedukasi Jelang Pemilu, Ungkap Bentuk-Bentuk Kecurangan
Film Dirty Vote diharapkan mengedukasi masyarakat jelang masa krusial menuju hari pemilu. Foto/ ist
A A A
JAKARTA— Film Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu dan diharapkan mengedukasi masyarakat jelang masa krusial menuju hari pemilihan umum (pemilu).

"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," kata sutradara Dirty Vote, Dandhy Dwi Laksono.



Menjelang pencoblosan pada 14 Februari, koalisi masyarakat sipil merilis film dokumenter tentang desain kecurangan pemilu lewat film dokumenter berjudul “Dirty Vote.”

Dirty Vote tayang mulai hari ini, mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan akan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal YouTube.

Dirty Vote persisnya dokumenter eksplanatori yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur yang mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di hadapan rakyat demi mempertahankan status quo. Tentu saja penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.

Sederhananya menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1846 seconds (0.1#10.140)