Review Film A Shuttlecock to Tomorrow: Romansa nan Manis dan Tetap Sportif
loading...

Film pendek A Shuttlecock to Tomorrow mengisahkan cinta seorang calon atlet yang terhambat restu ibu. Foto/Vidsee
A
A
A
JAKARTA - Siapa yang dulu punya cita-cita jadi atlet? Sesungguhnya, banyak cerita tentang para orang tua pada masa itu yang tidak mendukung anak-anaknya berkarier profesional dalam dunia olahraga.
Khususnya para generasi yang lahir sebelum tahun 2000-an masih erat dengan doktrin, “Sulit menggantungkan hidup kalau menjadi atlet“. Namun lain dulu, lain sekarang.
Sebuah film pendek berjudul A Shuttlecock to Tomorrow memotret sekelumit kisah kehidupan seorang atlet wanna be hanya dalam durasi kurang dari sembilan menit. Film ini diputar di Viddsee, sebuah platform yang menyajikan karya kreatif berupa film dari kreator-kreator indie. Viddsee dapat diakses via situs ataupun aplikasi.
A Shuttlecock to Tomorrow membuka ceritanya dengan kisah romansa muda mudi SMA yang sedang bermain bulu tangkis. Tampak si pemudi adalah calon atlet bulu tangkis yang sedang berlatih dengan kekasihnya untuk persiapan audisi esok hari.
Latar tempat di sebuah rumah susun memperlihatkan bahwa mereka datang dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.
Sesungguhnya, film ini bergenre romantis.
Mereka berjibaku dengan restu ibu si pemudi yang tak kunjung hadir. Bagi si Ibu, kehadiran si pemuda dianggap mempersulit Langkah anaknya menjadi atlet.
Pendapat Ibu bukan tanpa alasan. Pengalaman hidup Ibu dulu yang berprestasi pun sekarang tak makmur. Padahal dulu ia pernah menjadi tim finalis Piala Uber dan meraih medali perak dalam ajang PON. Mirisnya, dengan prestasi yang dianggap gemilang tak membantu kehidupan mereka sekarang.
Menurut si Ibu, kalau dulu atlet kurang diperhatikan, sekarang justru lebih baik asal bisa masuk audisi. Menjadi atlet sejak muda sekarang lebih menjanjikan kesejahteraan karena ada beasiswa untuk sekolah. Namun, sayangnya, si pemudi tak kunjung lolos di audisi tingkat profesional.
Khususnya para generasi yang lahir sebelum tahun 2000-an masih erat dengan doktrin, “Sulit menggantungkan hidup kalau menjadi atlet“. Namun lain dulu, lain sekarang.
Sebuah film pendek berjudul A Shuttlecock to Tomorrow memotret sekelumit kisah kehidupan seorang atlet wanna be hanya dalam durasi kurang dari sembilan menit. Film ini diputar di Viddsee, sebuah platform yang menyajikan karya kreatif berupa film dari kreator-kreator indie. Viddsee dapat diakses via situs ataupun aplikasi.
A Shuttlecock to Tomorrow membuka ceritanya dengan kisah romansa muda mudi SMA yang sedang bermain bulu tangkis. Tampak si pemudi adalah calon atlet bulu tangkis yang sedang berlatih dengan kekasihnya untuk persiapan audisi esok hari.
Latar tempat di sebuah rumah susun memperlihatkan bahwa mereka datang dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.
Sesungguhnya, film ini bergenre romantis.
Mereka berjibaku dengan restu ibu si pemudi yang tak kunjung hadir. Bagi si Ibu, kehadiran si pemuda dianggap mempersulit Langkah anaknya menjadi atlet.
Pendapat Ibu bukan tanpa alasan. Pengalaman hidup Ibu dulu yang berprestasi pun sekarang tak makmur. Padahal dulu ia pernah menjadi tim finalis Piala Uber dan meraih medali perak dalam ajang PON. Mirisnya, dengan prestasi yang dianggap gemilang tak membantu kehidupan mereka sekarang.
Menurut si Ibu, kalau dulu atlet kurang diperhatikan, sekarang justru lebih baik asal bisa masuk audisi. Menjadi atlet sejak muda sekarang lebih menjanjikan kesejahteraan karena ada beasiswa untuk sekolah. Namun, sayangnya, si pemudi tak kunjung lolos di audisi tingkat profesional.
Profesi Atlet dan Jaminan Hidupnya Kini
Bukan rahasia banyak atlet yang hidupnya merana setelah pensiun. Salah satu contohnya Ellyas Pical. Ellyas melegenda di dekade 1980-an. Ia pernah menjuarai tinju dunia kelas bantam junior pada 1985.Lihat Juga :