CERMIN: Sebuah Pengucapan Baru dalam Sinema Dokumenter dari Tunisia
loading...

Four Daughters mengisahkan tentang seorang ibu dari Tunisia yang dua anaknya bergabung ke ISIS. Foto/Tanit Films
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2002. Bowling For Columbine dari Michael Moore menjadi film dokumenter panjang pertama yang membukakan mata saya bahwa film dokumenter juga bisa dikemas jauh dari membosankan.
Dalam film berdurasi dua jam itu, Michael mencoba menelusuri penyebab hingga terjadinya insiden yang menyentak seisi negara, penembakan di SMU Columbine. Michael membiarkan dirinya tampil di depan layar, mewawancarai banyak narasumber, mengonfrontasi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan menohok, pun dengan cerdik menyusun kepingan-kepingan ceritanya dari hipotesis yang dipercayainya dengan fakta-fakta meyakinkan yang diperlukannya.
Sepuluh tahun kemudian, film dokumenter panjang pertama saya berjudul Cerita Dari Tapal Batas masuk sebagai nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012. Melalui lika-liku perjalanan pengembangan cerita hingga produksinya, saya tahu bahwa memproduksi film dokumenter panjang yang juga bisa menghibur bukan hal mudah.
Bertahun-tahun kemudian kita melihat film dokumenter terus lahir dari para sineas tangguh dengan segala isu penting yang terjadi di sekeliling mereka. Namun jarang sekali yang mencoba mencari jalan untuk membuat film dokumenter menjadi lebih menarik dari hingga sebelumnya.
Hingga datanglah sineas perempuan dari Tunisia bernama Kaouther Ben Hania dengan Four Daughters yang mengambil risiko dari cara bertuturnya yang unik dan belum pernah saya lihat dalam film-film dokumenter sebelumnya. Padahal tanpa mengambil risiko itu pun, Four Daughters masih bisa menjadi film dokumenter yang menohok.
![CERMIN: Sebuah Pengucapan Baru dalam Sinema Dokumenter dari Tunisia]()
Foto: Tanit Films
Isunya penting dan susah sekali ditandingi: tentang seorang ibu dengan dua anak perempuan yang bergabung ke dalam jaringan terorisme internasional ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Ibu tersebut terus dilanda ketakutan dengan dua anak perempuan lainnya yang sewaktu-waktu bisa diculik oleh kedua kakak perempuannya.
Sebagaimana dikutip dari The Guardian, semuanya berawal pada 2016. Saat itu seorang perempuan Tunisia bernama Olfa Hamrouni menulis di berita lokal tentang kegagalan negaranya dalam memerangi momok ISIS.
Setahun sebelumnya, dua putri sulungnya yang mengalami radikalisasi, Ghofrane dan Rahma Chikhaoui, melarikan diri untuk bergabung dengan kelompok tersebut di Libya. Tahun-tahun sebelumnya, Hamrouni berjuang membesarkan keempat putrinya – dua putri tertua, pemberontak dan berapi-api; dua orang termuda menjadi spons konflik.
Dalam film berdurasi dua jam itu, Michael mencoba menelusuri penyebab hingga terjadinya insiden yang menyentak seisi negara, penembakan di SMU Columbine. Michael membiarkan dirinya tampil di depan layar, mewawancarai banyak narasumber, mengonfrontasi mereka dengan pertanyaan-pertanyaan menohok, pun dengan cerdik menyusun kepingan-kepingan ceritanya dari hipotesis yang dipercayainya dengan fakta-fakta meyakinkan yang diperlukannya.
Sepuluh tahun kemudian, film dokumenter panjang pertama saya berjudul Cerita Dari Tapal Batas masuk sebagai nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012. Melalui lika-liku perjalanan pengembangan cerita hingga produksinya, saya tahu bahwa memproduksi film dokumenter panjang yang juga bisa menghibur bukan hal mudah.
Bertahun-tahun kemudian kita melihat film dokumenter terus lahir dari para sineas tangguh dengan segala isu penting yang terjadi di sekeliling mereka. Namun jarang sekali yang mencoba mencari jalan untuk membuat film dokumenter menjadi lebih menarik dari hingga sebelumnya.
Hingga datanglah sineas perempuan dari Tunisia bernama Kaouther Ben Hania dengan Four Daughters yang mengambil risiko dari cara bertuturnya yang unik dan belum pernah saya lihat dalam film-film dokumenter sebelumnya. Padahal tanpa mengambil risiko itu pun, Four Daughters masih bisa menjadi film dokumenter yang menohok.

Foto: Tanit Films
Isunya penting dan susah sekali ditandingi: tentang seorang ibu dengan dua anak perempuan yang bergabung ke dalam jaringan terorisme internasional ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Ibu tersebut terus dilanda ketakutan dengan dua anak perempuan lainnya yang sewaktu-waktu bisa diculik oleh kedua kakak perempuannya.
Sebagaimana dikutip dari The Guardian, semuanya berawal pada 2016. Saat itu seorang perempuan Tunisia bernama Olfa Hamrouni menulis di berita lokal tentang kegagalan negaranya dalam memerangi momok ISIS.
Setahun sebelumnya, dua putri sulungnya yang mengalami radikalisasi, Ghofrane dan Rahma Chikhaoui, melarikan diri untuk bergabung dengan kelompok tersebut di Libya. Tahun-tahun sebelumnya, Hamrouni berjuang membesarkan keempat putrinya – dua putri tertua, pemberontak dan berapi-api; dua orang termuda menjadi spons konflik.
Lihat Juga :