Hindari Penyakit Risiko Tinggi yang Bisa Mengancam Nyawa

Sabtu, 24 Oktober 2020 - 09:08 WIB
loading...
Hindari Penyakit Risiko Tinggi yang Bisa Mengancam Nyawa
Penyakit jantung menjadi penyakit mematikan nomor satu. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Penyakit jantung menjadi penyakit mematikan nomor satu. Gejalanya yang samar dengan penyakit lain membuat penyakit ini menyerang langsung dalam level akut. Setelah jantung, stroke berada di urutan kedua, penyakit pembunuh dan penyebab disabilitas di dunia.



Stroke dan jantung memiliki faktor risiko sama yang juga mengalami gejala cukup lama dan jarang disadari. Menurut dokter umum Gia Pratama, kedua penyakit itu merupakan penyakit pembuluh darah yang tersumbat atau pecah pembuluh darah. Pembedanya hanya lokasi, yakni stroke terjadi pada pembuluh darah di otak. (Baca: Inilah Dosa yang Lebih Besar daripada Zina)

Penyebab pembuluh darah pecah atau tersumbat itu hampir sama, yakni seperti diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, stres, dan kurang olahraga. “Penyakit- penyakit tersebut banyak terjadi akibat gaya hidup yang jauh dari sehat. Karena itu, penyakit atau gejala stroke pun bisa terjadi pada orang berusia 40 tahun. Itu biasanya karena pembuluh darahnya yang sudah rapuh akibat tekanan darah yang tinggi,” ujar Gia.

Kendala penanganan stroke di Indonesia ialah pada deteksi dini. Salah satunya, faktor risiko belum optimal di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan prevalensi faktor risiko dan capaian skrining kesehatan usia produktif yang masih rendah.

Di Indonesia, kasus kematian akibat stroke terjadi karena terlambatnya penanganan kasus. Dan, itu terjadi lantaran masyarakat belum mengenal tanda-tanda dini serangan. Padahal, rumah sakit kini memiliki fasilitas perangkat diagnostik maupun tim pelayanan dan penanganan stroke yang lengkap dan terpadu dengan kompetensi khusus perawatan stroke.

Dokter Gia juga menyoroti masyarakat yang enggan memeriksakan diri jika mereka merasa kurang sehat. Misalnya, untuk tekanan darah tinggi yang sering mendapat julukan the silent killer. Tensi itu normalnya 120/80, kalau naik 140/90 yang terjadi ialah sakit kepala. Tapi, banyak dari penderita yang tidak mengecek tensi, malah mengabaikannya karena sakitnya segera berlalu. (Baca juga: 5 Cara Menjaga Kesehatan Tulang)

Tensi akan tetap tinggi dengan waktu lama jika tidak diobati. Hingga ada pemicunya lagi akan membuat tensi naik kembali, ditandai dengan sakit kepala. Tensi akan terus naik, namun tidak diobati yang membuat tensi bisa mencapai hingga 200.

"Pembuluh darah itu layaknya balon yang jika terus mendapat tekanan akan pecah. Kalau pembuluh darah pecah di kaki, itu tidak terlalu masalah karena masih banyak pembuluh darah lain. Nah, kalau pembuluh darah pecah di otak, berarti sudah parah dan bisa stroke, bahkan bisa menyebabkan kematian," paparnya.

Maka, pemeriksaan tekanan darah atau tensi menjadi yang paling mudah dilakukan guna mencegah risiko lebih bahaya. Apalagi jika sudah memiliki riwayat tekanan darah tinggi, maka lebih baik memiliki alat tensimeter sendiri guna mengontrol setiap saat tekanan darahnya.

Gia, yang juga menerbitkan buku Tentang Tubuhmu, menginginkan agar masyarakat lebih tahu tubuh mereka sendiri. Dia mengingatkan betapa dahsyatnya tubuh. Kalau tubuh sudah mengerti, dapat dipastikan seseorang dengan sangat sadar menjaga tubuh yang canggih ini.

Penyakit lain yang mematikan adalah tuberkulosis (TB) dan menjadi ancaman serius setiap negara. Indonesia menempati posisi ketiga setelah India dan China untuk negara dengan beban kasus TB terbesar. Penyakit infeksi ini masih tertinggi, padahal jenis penyakit infeksi lainnya cenderung menurun. (Baca juga: Angka KDRT Turun karena Tak Terdeteksi karena Pandemi)

Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang siapa saja: tua, muda, laki-laki, perempuan, terlebih usia produktif. Partikel dahak orang dengan TB paru keluar saat batuk, bersin, dan berbicara. Percikan-percikan dahak itu mengandung bakteri dan dapat melayang-layang di udara sehingga terhirup orang lain.

Imran Pambudi, Kepala Subdit TB Kementerian Kesehatan mengatakan, jika orang terinfeksi mempunyai daya tahan tubuh yang baik, bakteri itu berada dalam keadaan laten dan tidak aktif. Sebanyak 5-10% orang yang tertular memiliki bakteri yang aktif dan tentunya menyebabkan sakit TB.

"Pada usia anak sangat jarang terjadi, terlebih mereka yang sudah mendapat vaksin BCG. Jika anak terinfeksi TB, dipastikan ada pintu masuk. Jadi, orang-orang sekitar anak tersebut harus dicek," ujar Imran.

Meskipun mematikan dan cepat menular, TB bisa sembuh dengan mengikuti pengobatan teratur. Pengobatan TB sensitif paling cepat selama enam bulan. Jika sudah termasuk TB resisten obat, paling cepat harus siap mengonsumsi obat selama 9-12 bulan dan yang paling lama dapat mencapai 24 bulan.

"Pengobatan TB gratis di layanan publik maupun swasta yang terdaftar dan bekerja sama pemerintah. Obat anti-TB yang disediakan pemerintah tersedia dalam bentuk fixed dose combination (FDC), bukan obat lepasan, untuk mencegah resistensi. Namun, obat lepasan dapat diberikan jika pasien memiliki komplikasi atau alergi," paparnya.

TB umumnya menyerang paru-paru, namun juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti selaput otak, kulit, tulang, kelenjar getah bening, dan lainnya ketika bakteri TB keluar dari paru-paru melalui aliran darah. Kondisi ini disebut TB Ekstraparu. (Baca juga: Mobilnya Dipasang Bom, Ulama Top Suriah Meninggal)

Tulang punggung juga menjadi wilayah yang sering terkena TB. Alasannya, tulang punggung berada dekat sekali dengan paru-paru yang sudah terlebih dulu dirusak kuman TB. TB tulang menyerang tulang punggung sampai bisa hancur, penderita bisa bongkok dan lumpuh.

Muncul juga tantangan baru terkait pengendalian TB, koinfeksi TB-HIV, TB resistan obat (TB-RO), TB komorbid, TB pada anak, dan tantangan lain dengan kompleksitas yang semakin tinggi.

Secara umum TB terbagi dua, yakni TB sensitif dan TBRO (tuberkulosis resisten obat). TBRO dibagi lagi berdasarkan berapa jenis obat yang sudah resisten. Biasanya obat diberikan sebanyak enam buah obat. Yakni, TBRO Single Drug Resistant (SDR) untuk pasien yang resisten terhadap satu jenis obat. Ada lagi Multi Drug Resistant (MDR) untuk pasien resisten dua obat. Terakhir, TBRO XDR, berarti pasien sudah resisten lebih dari dua jenis obat.

TBRO hadir karena pasien tidak menyempurnakan pengobatannya. "Biasanya dua bulan setelah minum obat itu sudah terlihat hasilnya bagus. Padahal, harusnya terus dilanjutkan hingga 6 bulan. Obat intermitten di bulan ketiga," ucapnya.

Faktor lain yang mempengaruhi ialah rasa bosan dan efek samping obat yang membuat orang dengan TB tidak melanjutkan pengobatan, sehingga potensi menjadi TBRO meningkat. Maka, tidak mengherankan jika orang dengan TB banyak membutuhkan pendampingan selain pengobatan. Pendampingan ini dilakukan oleh orang-orang yang sudah sembuh dari TB.

Efek samping dari obat TB itu bermacam-macam seperti pusing, mual, hingga halusinasi, termasuk juga gangguan pendengaran dan penglihatan. Namun, efek obat setiap orang berbeda-beda. Karena itu, sebelum memberi obat, dokter harus menginformasikan efek samping kepada pasien. (Baca juga: Covid-19 Lima Kali Lebih Mematikan dari Virus Flu)

Bahkan, di salah satu rumah sakit yang concern terhadap TB seperti di RS Persahabatan ada tim ahli kedokteran dan psikologis yang mengamati kemungkinan reaksi apabila pasien minum obat dalam jangka waktu lama. Langkah selanjutnya akan disesuaikan dengan hasil.

Penyakit lain yang konon membunuh penderitanya ialah kanker. Di antara semua kanker, kanker paru kini menjadi kanker pembunuh nomor satu. Di Indonesia, 14% dari total kematian karena kanker disebabkan kanker paru. Di dunia pun kanker paru menjadi yang paling banyak ditemukan pada pria dan wanita, menurut data Globocan 2018.

Evlina Suzanna, dokter dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, mengatakan, di Indonesia rata-rata harapan hidup penderita kanker paru itu sangat rendah, yakni hanya 13 bulan. Hal itu terjadi karena sebelumnya tidak adanya deteksi dini yang standar dan tidak ada gejala klinis yang spesifik.

Gejala kanker paru tidak khas seperti batuk, nyeri dada, nafas pendek. Siapa pun bisa memiliki gejala seperti itu, begitu juga penyakit lain memiliki seperti ini sehingga dokter umum jarang yang menduga ini kanker paru. Bahkan, sering disangka penyakit paru-paru basah, padahal itu kanker paru stadium empat.

Kanker paru begitu berbahaya karena organ paru-paru terdiri atas banyak pembuluh darah. Paru-paru juga memompa darah ke seluruh tubuh sehingga jika ada kanker di paru tentu akan cepat menyebar. "Kalau kanker payudara menyebar ke paru berarti sudah stadium empat. Apalagi, kanker yang di paru, primernya di mana kanker lain sudah stadium lanjut. Kanker paru, walaupun cuma satu sentimeter, mudah menyebar," ungkap Evlina.

Kendala yang dihadapi penderita kanker paru juga cukup besar, yakni saat pengambilan sampel untuk diagnosis. Ada standar baku emas diagnostik bukan hanya menerawang untuk menentukan stadium sehingga harus biopsi atau diambil sampel sel kanker. Paru-paru merupakan organ dalam yang menyulitkan bagi dokter. Perlu kehati-hatian kalau salah tusuk paru-paru bisa kempis. (Baca juga: Ini Dia Wasit yang Memimpin Laga El Clasico)

Dokter untuk biopsi ini juga bukan cuma spesialis paru, tetapi dokter onkologi kekhususan kanker sehingga punya keahlian untuk biopsi. Jumlah jaringan yang diambil untuk sampel harus cukup karena akan ada beberapa tingkatan yang harus dilalui. Misal, tingkat seluler lalu lanjut terapi kemudian berhenti di radiasi atau kemoterapi.

Hambatan kedua teknologi itu juga tidak mudah karena masuk ke tingkat gen dari sel tersebut. Karena itu, dibutuhkan keahlian sendiri lagi untuk menentukan pemeriksaan. "Biopsi merupakan tahapan paling penting setelah seseorang dicurigai mengidap kanker. Sebelum masuk pengobatan harus ada tool diagnostic," ungkap Evlina.

Pada tahap ini dibutuhkan kerja sama antara dokter dan pasien karena pembedahan dilakukan dengan posisi yang terkadang tidak nyaman bagi pasien. Untuk mendiagnosis saja sudah dilakukan pelatihan terhadap 40 tenaga ahli patologi yang tersebar di 14 provinsi. Pihaknya juga mencoba untuk menyikapi diagnostik yang tercantum untuk diberikan kepada pasien. ”Supaya nantinya mendapat akses pengobatan atau studi genetik lain bisa diakses," sambung Evlina.

Yayasan Kanker Indonesia (YKI) DKI Jakarta mendata, setiap tahun tiga kanker yang selalu ditemukan terdiagnosis pada pasien baru masih sama dari tahun ke tahun: kanker payudara, kanker paru, dan kanker serviks. Ketiga kanker ini selalu bertambah setiap tahunnya. Parahnya, sampai saat ini 60-70% ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Ini yang membuat angka kematian tinggi.

Kanker secara umum memang menjadi hal yang menakutkan karena bisa menyerang siapa saja. Bukan hanya mereka yang memiliki riwayat penyakit ini, namun siapa pun bisa, tergantung gen mereka yang rentan akan sel kanker tertentu atau istilahnya kerentanan genetik. (Lihat videonya: Diterjang Angin Puting Beliung, 109 Rumah Rusak di Bekasi Utara)

Kanker payudara dapat dideteksi kerentanannya, tetapi kanker jenis lain belum bisa dideteksi. Tidak sama semua jenis kanker memiliki kerentanan genetik masing-masing. Setiap orang berisiko terkena kanker, tergantung gaya hidupnya, hanya 5% dari faktor keturunan. "Genetik setiap orang berbeda, jadi nanti gen mana di tubuh yang lemah terhadap risiko. Bagi perokok yang sudah lama tapi tidak terkena kanker memang belum ada teknologi yang dapat menunjukkan gen mana yang menjaga badannya tidak terkena kanker," ujar Evlina. (Ananda Nararya)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1678 seconds (0.1#10.140)