Ketidakpedulian pada Sesama Menggerus Hubungan Sosial

Sabtu, 28 November 2020 - 14:30 WIB
loading...
Ketidakpedulian pada...
Secara konsep ada juga agresif pasif, yakni perilaku menyakiti orang lain dengan pembiaran. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam psikologi sosial, kehidupan sosial itu terdiri atas dua bentuk, yakni baik atau prososial dan buruk atau antisosial. Antisosial dalam bahasa awam sering juga disebut agresif.

Selama ini pemahaman atas agresif ialah bentuk perilaku fisik yang terlihat langsung seperti marah-marah, memukul, menghina, dan sebagainya. Menurut guru besar Fakultas Psikologi UGM Fathurochman, perilaku tersebut masuk dalam kategori agresif aktif. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)

Secara konsep ada juga agresif pasif, yakni perilaku menyakiti orang lain dengan pembiaran. Misalnya ketika di jalan ada lubang, kita ternyata tidak memberi tahu orang lain dan membiarkan seseorang jatuh dalam lubang tersebut.

"Agresif pasif juga terbagi lagi, ada agresif pasif langsung dan tidak langsung. Pasif langsung sengaja melakukan agar orang mengalami kesusahan. Misalnya kita memberikan bangku rusak kepada seseorang yang kemudian membuat dia jatuh," ungkapnya.

Adapun agresif pasif tidak langsung adalah sikap pembiaran, yakni sikap membiarkan hingga akhirnya orang mengalami kesusahan atau celaka. Sesuatu yang membuat celaka itu bukan oleh kita langsung, melainkan melalui sesuatu yang kita biarkan. Sebagaimana contoh pada lubang di atas, karena tidak memberi tahu ada lubang, akhirnya seseorang jatuh. Lubang yang membuat orang tersebut celaka bukan kita yang langsung sengaja menyakiti.

Penyebab timbulnya perilaku agresif itu berasal dari dua faktor. Pertama, orang yang secara konstruktif psikologis menyukai bertindak agresif atau menyakiti orang lain. Kedua adalah faktor orang lain dan lingkungan. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdaftar di Dapodik)

Faktor orang lain adalah yang langsung menyuruh untuk berbuat kekerasan dan ada juga yang tidak sengaja karena lingkungan yang menciptakan demikian sehingga dia terbawa. "Misalnya di beberapa sekolah tinggi yang sering melakukan kekerasan, seseorang yang sebelum masuk sekolah itu asing untuk melakukan kekerasan, tetapi karena lingkungan terbiasa dengan keributan seperti itu, hal tersebut membuatnya terbawa karena merasa itu sebagai sebuah budaya dan hal biasa," jelasnya.

Permasalahan yang kini sering terjadi adalah agresif pasif tidak langsung, yaitu melakukan pembiaran terhadap kesulitan orang lain. Fathurochman menyoroti masyarakat yang melakukan pembiaran dan tidak adanya kepedulian. Contohnya hal yang membuat seseorang semakin enggan menolong sesama, merasa banyak perhitungan saat ingin menolong orang lain.

Maka ketika kita ingin mengembangkan agar masyarakat lebih peduli, hal yang harus dilakukan sudah tidak lagi pada level individu karena mereka sudah memikirkan diri masing-masing dan terlalu banyak perhitungannya.

"Seharusnya hal itu sudah diatasi oleh semacam sistem, organisasi, atau lembaga. Contohnya di transportasi umum, di luar negeri sudah jelas ada tempat untuk para difabel dan lansia. Ada ketentuan sopir harus ikut membantu sehingga nanti masyarakat akan ikut menjadi bagian dari kelompok tersebut," jelasnya. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)

Dia menambahkan, pada sistem transportasi di Australia, busnya menggunakan alat hidrolik sehingga bisa dinaikturunkan untuk penumpang difabel. Jika sudah menggunakan sistem seperti itu, pasti akan muncul toleransi bahwa sistem ini tidak hanya bagian dari tanggung jawab individu.

Tidak aneh jika di beberapa negara ada kelompok yang bertanggung jawab untuk masalah sosial. Misalnya jika terjadi kemacetan akan ada yang tiba-tiba menjadi pengatur lalu lintas. Mereka seperti relawan yang tidak digaji, mereka bisa saja seorang pengemudi taksi. Saat di jalan tidak ada penumpang, sopir taksi bisa keluar dari mobilnya untuk mengatur jalan ketika macet. Kelompok relawan pengatur jalan itu diakui negara atau pemerintah kota.

"Tercipta sebuah kelompok yang siap menjadi relawan bagi masyarakat yang akan membuat masyarakat lain bisa saja ingin ikut kelompok tersebut sehingga semakin banyak orang yang peduli sesama," tuturnya.

Orang-orang semakin sulit membantu orang lain karena manusia sedang dalam masa transisi dari masyarakat sosial ke arah individual. Tapi Fathurochman percaya manusia akan sulit hidup secara individual karena tidak mendarah daging, apalagi kodrat manusia adalah makhluk sosial. (Baca juga: Indonesia Ajak ASEAN Tanggulangi Pandemi Covid-19)

Maka itu yang harus terus dipelihara. Contohnya orang tua ke anak, pimpinan ke bawahan, jangan terlalu bersikap keras, suka menghujat, mengkritik karena hal itu akan menjadi awal bagaimana kita tidak menjadi bagian untuk membangun masyarakat.

Adapun mengenai media sosial yang menjadi pengaruh pembiaran atau ketidakpedulian masyarakat, sosiolog Universitas Nasional Sigit Rohadi mengatakan, media sosial menghubungkan individu dengan dunia luas. Karena individu menjadi pengguna yang aktif,, dampaknya mereka menjadi lebih emosional dalam merespons konten media sosial. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok secara tidak langsung.

Media sosial juga menghubungkan hobi dalam bentuk berita, gambar maupun video dengan berbagai isu. "Jika individu membuat keunikan-keunikan, orang itu dalam waktu singkat dapat sangat terkenal ke seluruh dunia. Sama halnya jika tokoh populer membuat pernyataan konyol dia juga bisa jatuh dalam waktu yang sangat singkat," urainya.

Tidak mengherankan jika banyak orang senang dengan kehidupan di media sosial. Sebab mereka berkumpul dengan orang-orang yang sama pemikirannya sehingga jika mengalami sebuah kejadian harus selalu dibagikan untuk mendapatkan dukungan. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan tahun Lolos dari Penculikan)

"Kesamaan pikiran dan perasaan hati membuat orang tidak butuh lagi kebenaran fakta-fakta. Hal itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah persetujuan dari teman-teman," ucapnya.

Tidak aneh jika ada sebuah isu yang dikembangkan bahwa di media sosial orang cenderung memihak pihak mana yang disukai atau sependapat dengan kita walau apa yang dia ungkapkan bukan hal benar. (Ananda Nararya)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1153 seconds (0.1#10.140)