Hantui Negara Berkembang, Yuk Kenali Infeksi Daerah Operasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Infeksi Daerah operasi (IDO) atau dalam bahasa medis lebih dikenal sebagai Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi yang terjadi di daerah operasi dalam kurun waktu 30 hari hingga 1 tahun pascabedah.
Kondisi itu bisa terjadi apabila tindakan bedah menggunakan implan. Pada negara berkembang IDO terjadi pada 8-30 persen dari semua pasien yang menjalani prosedur bedah.
Dokter Spesialis Bedah Konsultan Bedah Digestif & Tim penyusun CPG IDO, Dr. dr. Warsinggih, Sp.B-KBD mengatakan, ada beberapa kondisi yang menunjukkan gejala awal terjadinya IDO.
Baca juga: Ditagih Utang Marah, Awas Risiko Stroke dan Masalah Mental
Beberapa gejala tersebut di antaranya munculnya warna kemerahan, bengkak di sekitar luka jahitan, dan keluar nanah atau darah. Jika sudah seperti ini, maka terpaksa dilakukan tindakan operasi ulang.
Dalam acara Virtual Media Briefing Launching Clinical Practice Guideline IDO, Kamis (28/10/2021), dr. Warsinggih juga membagikan tiga macam klasifikasi IDO yang biasanya dialami masyarakat, yakni:
1. Superfisial
IDO terbatas di lapisan kulit dan jaringan subkutis.
2. Deep
IDO mengenai lapisan yang lebih dalam hingga otot, namun organ tidak terkena.
3. Organ atau Rongga
Infeksi IDO mencapai organ atau berbentuk rongga.
"Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan IDO saling memengaruhi, di antaranya hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), gizi buruk, obesitas, gangguan sirkulasi iskemia, hipoksia, hipotermia. Selain itu faktor lingkungan operasi juga berpengaruh seperti personel bedah, dan operasi emergensi atau Cito, serta jenis bakteri resisten," terang dr. Warsinggih.
Baca juga: Infeksi Daerah Operasi Masih Jadi Tantangan Dokter Bedah di Negara Berkembang
Selain beberapa hal yang disebutkan sebelumnya, kondisi fisik seseorang juga berpengaruh pada potensi terjadinya IDO pascaoperasi. Sebab orang dengan berat badan berlebih (obesitas) memiliki risiko IDO lebih tinggi yakni 1 sampai empat kali lipat dibandingkan orang normal.
"Peningkatan masa lemak menyebabkan lemahnya sistem imun yang berakibat rentan terhadap infeksi. Sayangnya peningkatan obesitas di Indonesia cukup signifikan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 persentase masyarakat obesitas sebesar 14,8 persen. Sementara pada Riskesdas 2018 persentasenya naik menjadi 21,8 persen," tuntasnya.
Kondisi itu bisa terjadi apabila tindakan bedah menggunakan implan. Pada negara berkembang IDO terjadi pada 8-30 persen dari semua pasien yang menjalani prosedur bedah.
Dokter Spesialis Bedah Konsultan Bedah Digestif & Tim penyusun CPG IDO, Dr. dr. Warsinggih, Sp.B-KBD mengatakan, ada beberapa kondisi yang menunjukkan gejala awal terjadinya IDO.
Baca juga: Ditagih Utang Marah, Awas Risiko Stroke dan Masalah Mental
Beberapa gejala tersebut di antaranya munculnya warna kemerahan, bengkak di sekitar luka jahitan, dan keluar nanah atau darah. Jika sudah seperti ini, maka terpaksa dilakukan tindakan operasi ulang.
Dalam acara Virtual Media Briefing Launching Clinical Practice Guideline IDO, Kamis (28/10/2021), dr. Warsinggih juga membagikan tiga macam klasifikasi IDO yang biasanya dialami masyarakat, yakni:
1. Superfisial
IDO terbatas di lapisan kulit dan jaringan subkutis.
2. Deep
IDO mengenai lapisan yang lebih dalam hingga otot, namun organ tidak terkena.
3. Organ atau Rongga
Infeksi IDO mencapai organ atau berbentuk rongga.
"Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan IDO saling memengaruhi, di antaranya hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), gizi buruk, obesitas, gangguan sirkulasi iskemia, hipoksia, hipotermia. Selain itu faktor lingkungan operasi juga berpengaruh seperti personel bedah, dan operasi emergensi atau Cito, serta jenis bakteri resisten," terang dr. Warsinggih.
Baca juga: Infeksi Daerah Operasi Masih Jadi Tantangan Dokter Bedah di Negara Berkembang
Selain beberapa hal yang disebutkan sebelumnya, kondisi fisik seseorang juga berpengaruh pada potensi terjadinya IDO pascaoperasi. Sebab orang dengan berat badan berlebih (obesitas) memiliki risiko IDO lebih tinggi yakni 1 sampai empat kali lipat dibandingkan orang normal.
"Peningkatan masa lemak menyebabkan lemahnya sistem imun yang berakibat rentan terhadap infeksi. Sayangnya peningkatan obesitas di Indonesia cukup signifikan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 persentase masyarakat obesitas sebesar 14,8 persen. Sementara pada Riskesdas 2018 persentasenya naik menjadi 21,8 persen," tuntasnya.
(nug)