Tips Jalani PTM di Tengah Ancaman Omicron
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembelajaran tatap muka (PTM) sudah dilaksanakan di sejumlah sekolah. PTM dilakukan guna menghindari fenomena learning loss yang berpotensi terjadi akibat pembelajaran secara daring yang berkepanjangan.
Pemerintah sendiri sudah menyiapkan regulasi terkait protokol kesehatan yang cukup ketat. Namun, hal tersebut masih membuat sebagian orangtua khawatir terkait dengan aktivitas belajar tatap muka di sekolah karena para siswa masih menghadapi risiko terpapar viru akibat interaksi secara fisik.
Direktur Sekolah Dasar, Ditjen PAUD, Dikdas dan Dikmen Kemendikbud Sri Wahyuningsih menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan hak perlindungan kepada peserta didik, agar mereka sehat dan selamat.
“Prioritas sehat dan selamat untuk para peserta didik PTM Terbatas 100%, ingat terbatas ya. Apalagi di sekolah yang berada pada zona level 3, itu masih harus bergiliran masuk sekolah atau blended learning,” katanya dalam webinar PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana Orangtua Menyikapinya? belum lama ini.
Secara nasional, terdapat sekitar 285 kabupaten kota yang berada di level 1, sehingga dapat menjalankan PTM terbatas 100% ini guna menghindari learning loss. Pelaksanaan PTM disesuaikan dengan level kasus infeksi Covid-19 per daerah.
Sejatinya, pemerintah menyadari akan pentingnya kesehatan, namun pendidikan juga merupakan hal yang penting.
“Pendidikan kalau sudah ketinggalan, mengejarnya susah, tidak main-main. Secara nasional kualitas pendidikan kita sudah tertinggal, bahkan masih ada anak-anak yang belum bisa membaca, ditambah dengan pandemi lagi. PTM adalah jawaban untuk mengejar ketertinggalan, tapi tetap prokes, prokes, dan prokes,” urai Sri Wahyuningsih.
Pada kesempatan yang sama, Spesialis Anak dr. Lucia Nauli Simbolon, M.Sc, Sp.A mengatakan, dalam mendukung pelaksanaan PTM terbatas, sejauh ini tidak ada efek samping yang berbahaya untuk vaksinasi anak.
“Kondisi kesehatan anak dipengaruhi oleh multifaktor ya, mulai asupan bergizi dan seimbang, minum yang cukup, prokes, serta vaksinasi berbagai penyakit,” terang dr. Lucia.
Selain vaksinasi, menurutnya, pelaksanaan PTM dalam kelompok belajar kecil memudahkan proses contact tracing jika terdapat kasus positif.
“Batasi interaksi yang tidak berarti. Jam masuk dan keluar diatur bertahap, sehingga tidak ada kerumuman. Selain itu, perhatikan secara lebih kondisi kesehatan anak yang memiliki penyakit komorbid, dimana obesitas sudah termasuk komorbid,” terangnya.
Sesuai rekomendasi IDAI, selain penerapan protokol kesetahan yang baik dan tepat, pelaksanaan PTM terbatas dapat dilakukan dengan catatan bahwa semua guru dan petugas sekolah sudah divaksinasi dengan lengkap. Begitu pula dengan para peserta didik yang dapat hadir hanya jika sudah divaksin lengkap dan tanpa komorbid.
Menurut dr. Lucia, idealnya anak usia 12-18 tahun dapat menjalani PTM terbatas 100% dengan catatan tidak adanya peningkatan kasus Covid-19 dan tranmisi lokal Omicron. Untuk anak usia 6-11 tahun, proses pembelajaran idealnya dilaksanakan secara hybrid (50% luring dan 50% daring) dan untuk usia 6 tahun ke bawah belum dianjurkan pelaksanaan PTM.
Dokter Lucia juga menjelaskan bahwa akibat infeksi Covid-19 pada anak, kini terdapat kondisi yang disebut MIS-C (Multisystem Inflammatory Syndrome in Children). Hal ini merupakan kondisi di mana banyak organ tubuh yang mengalami peradangan pada anak yang sebelumnya terkena Covid-19. Keluhannya pun beragam mulai dari ringan ke berat, seperti demam, nyeri, sulit bernafas, kebiruan atau pucat, yang dapat menyebabkan kondisi kritis hingga menyebabkan anak meninggal dunia.
“Terdapat sekitar 0,14% anak yang dinyatakan MIS-C, sedikit ya sepertinya, tapi jangan sampai anak terkena, akan sedih sekali,” imbuhnya.
Pemerintah sendiri sudah menyiapkan regulasi terkait protokol kesehatan yang cukup ketat. Namun, hal tersebut masih membuat sebagian orangtua khawatir terkait dengan aktivitas belajar tatap muka di sekolah karena para siswa masih menghadapi risiko terpapar viru akibat interaksi secara fisik.
Direktur Sekolah Dasar, Ditjen PAUD, Dikdas dan Dikmen Kemendikbud Sri Wahyuningsih menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan hak perlindungan kepada peserta didik, agar mereka sehat dan selamat.
“Prioritas sehat dan selamat untuk para peserta didik PTM Terbatas 100%, ingat terbatas ya. Apalagi di sekolah yang berada pada zona level 3, itu masih harus bergiliran masuk sekolah atau blended learning,” katanya dalam webinar PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana Orangtua Menyikapinya? belum lama ini.
Secara nasional, terdapat sekitar 285 kabupaten kota yang berada di level 1, sehingga dapat menjalankan PTM terbatas 100% ini guna menghindari learning loss. Pelaksanaan PTM disesuaikan dengan level kasus infeksi Covid-19 per daerah.
Sejatinya, pemerintah menyadari akan pentingnya kesehatan, namun pendidikan juga merupakan hal yang penting.
“Pendidikan kalau sudah ketinggalan, mengejarnya susah, tidak main-main. Secara nasional kualitas pendidikan kita sudah tertinggal, bahkan masih ada anak-anak yang belum bisa membaca, ditambah dengan pandemi lagi. PTM adalah jawaban untuk mengejar ketertinggalan, tapi tetap prokes, prokes, dan prokes,” urai Sri Wahyuningsih.
Pada kesempatan yang sama, Spesialis Anak dr. Lucia Nauli Simbolon, M.Sc, Sp.A mengatakan, dalam mendukung pelaksanaan PTM terbatas, sejauh ini tidak ada efek samping yang berbahaya untuk vaksinasi anak.
“Kondisi kesehatan anak dipengaruhi oleh multifaktor ya, mulai asupan bergizi dan seimbang, minum yang cukup, prokes, serta vaksinasi berbagai penyakit,” terang dr. Lucia.
Selain vaksinasi, menurutnya, pelaksanaan PTM dalam kelompok belajar kecil memudahkan proses contact tracing jika terdapat kasus positif.
“Batasi interaksi yang tidak berarti. Jam masuk dan keluar diatur bertahap, sehingga tidak ada kerumuman. Selain itu, perhatikan secara lebih kondisi kesehatan anak yang memiliki penyakit komorbid, dimana obesitas sudah termasuk komorbid,” terangnya.
Sesuai rekomendasi IDAI, selain penerapan protokol kesetahan yang baik dan tepat, pelaksanaan PTM terbatas dapat dilakukan dengan catatan bahwa semua guru dan petugas sekolah sudah divaksinasi dengan lengkap. Begitu pula dengan para peserta didik yang dapat hadir hanya jika sudah divaksin lengkap dan tanpa komorbid.
Menurut dr. Lucia, idealnya anak usia 12-18 tahun dapat menjalani PTM terbatas 100% dengan catatan tidak adanya peningkatan kasus Covid-19 dan tranmisi lokal Omicron. Untuk anak usia 6-11 tahun, proses pembelajaran idealnya dilaksanakan secara hybrid (50% luring dan 50% daring) dan untuk usia 6 tahun ke bawah belum dianjurkan pelaksanaan PTM.
Dokter Lucia juga menjelaskan bahwa akibat infeksi Covid-19 pada anak, kini terdapat kondisi yang disebut MIS-C (Multisystem Inflammatory Syndrome in Children). Hal ini merupakan kondisi di mana banyak organ tubuh yang mengalami peradangan pada anak yang sebelumnya terkena Covid-19. Keluhannya pun beragam mulai dari ringan ke berat, seperti demam, nyeri, sulit bernafas, kebiruan atau pucat, yang dapat menyebabkan kondisi kritis hingga menyebabkan anak meninggal dunia.
“Terdapat sekitar 0,14% anak yang dinyatakan MIS-C, sedikit ya sepertinya, tapi jangan sampai anak terkena, akan sedih sekali,” imbuhnya.
(tsa)