Begini Tata Laksana Hipertensi di Masa Pandemi Covid-19

Rabu, 23 Februari 2022 - 02:26 WIB
loading...
Begini Tata Laksana Hipertensi di Masa Pandemi Covid-19
Hipertensi dapat memperburuk perjalanan Covid-19 sehingga diperlukan suatu kewaspadaan khusus tentang hal ini. Foto Ilustrasi/Freepik
A A A
JAKARTA - Hipertensi dapat memperburuk perjalanan Covid-19 sehingga diperlukan suatu kewaspadaan khusus tentang hal ini. Sehubungan dengan itu, dalam masa pandemi seperti sekarang, masyarakat dianjurkan untuk memantau tekanan darahnya sendiri secara teratur di rumah.

Ketua Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr. Erwinanto, Sp.JP(K) mengatakan, jumlah penyandang hipertensi di Indonesia relatif tinggi dan kecenderungannya tidak menunjukkan penurunan dalam satu dekade terakhir. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan survey tahun 2018 yaitu sekitar 34%, tidak berubah dari angka yang didapat pada survey tahun 2007.



"Penyebab tingginya kasus baru hipertensi akibat tingginya faktor risiko hipertensi seperti diabetes mellitus (kencing manis), kegemukan, konsumsi garam yang tinggi, dan merokok," katanya dalam webinar kesehatan dalam rangka The 16th Annual Scientific Meeting InaSH 2022, belum lama ini.

Dokter Erwinanto menambahkan, penyandang hipertensi yang minum obat dan terkontrol tekanan darahnya di Indonesia masih rendah. Survey May Measurement Month mencatat, hanya sekitar 37% penyandang hipertensi yang minum obat mempunyai tekanan darah terkontrol (kurang dari 140/90 mm Hg).



“Sebagian besar diagnosis hipertensi di Indonesia ditegakkan melalui satu kali pengukuran tekanan darah di klinik. Penegakan diagnosis bagi sebagian besar penyandang hipertensi memerlukan pengukuran tekanan darah pada beberapa kali kunjungan klinik atau, sebagai alternatif, melalui pemeriksaan di luar klinik menggunakan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM) atau Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM)," terangnya.

Diagnosis hipertensi yang dilakukan dengan satu kali pengukuran tekanan darah di klinik menyebabkan masuknya pasien ‘hipertensi jas putih’ ke dalam diagnosis hipertensi. "Pasien dengan diagnosis hipertensi jas putih mencapai 30% dari semua pasien yang terdeteksi mempunyai tekanan darah tinggi di klinik, tidak memerlukan terapi obat penurun tekanan darah,” katanya.

Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia telah mengeluarkan konsensus penatalaksanaan hipertensi tahun 2021 sebagai revisi dari konsensus tahun 2019. Konsensus 2021 tetap menekankan perlunya pemeriksaan tekanan darah di luar klinik dan memperbarui rekomendasi pemeriksaan tekanan di luar klinik yang awalnya direkomendasikan bagi semua pasien dengan hipertensi (tekanan darah 140/90 mm Hg atau lebih) yang terdeteksi di klinik, menjadi hanya direkomandasikan bagi mereka dengan hipertensi derajat 1 (140 – 159/90 – 99 mm Hg).

Sementara itu, Sekjen InaSH dr. Djoko Wibisono, Sp.PD-KGH memaparkan, mencapai target kontrol tekanan darah dalam jangka panjang dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakan organ yang disebabkan oleh hipertensi seperti stroke, serangan
jantung, dan kerusakan ginjal.

“Berdasarkan Riskesdas 2018, sebanyak 3,8 per 1.000 penduduk atau 1.017.260 penduduk Indonesia menderita Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Dari total seluruh penduduk Indonesia yang menderita PGK, 19.3% di antaranya menjalani cuci darah (hemodialisis), yaitu kurang lebih 196.332 penduduk," papar dr Djoko.

"PGK dapat disebabkan karena kelainan struktur atau gangguan fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan eLFG < 60ml/mnt yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal," tambahnya.
(tsa)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2587 seconds (0.1#10.140)