Shenshayba Bazaar, Desa Satu Ginjal yang Penduduknya Terpaksa Jual Organ Demi Bertahan Hidup
loading...
A
A
A
JAKARTA - Shenshayba Bazaar di Herat, Afghanistan dikenal sebagai desa satu ginjal . Ini karena penduduk di desa tersebut terpaksa menjual organ tubuh mereka demi bertahan hidup sehari-hari. Seperti halnya dialami oleh Nooruddin.
Dilansir dari Straits Times, Senin (21/3/2022) Noorudin mengaku tidak punya pilihan selain menjual ginjalnya. Hal serupa juga banyak dilakukan oleh penduduk Afghanistan lainnya yang bersedia mengorbankan organ untuk menyelamatkan keluarga mereka.
Praktik ini telah menjadi begitu luas di kota barat Herat sehingga dijuluki desa satu ginjal. "Saya harus melakukannya demi anak-anak saya. Aku tidak punya pilihan lain," kata Nooruddin kepada AFP.
Pria 32 tahun itu berhenti dari pekerjaan pabriknya ketika gajinya dipotong menjadi sekitar USD41 atau Rp588 ribu. Hal tersebut terjadi setelah Taliban menguasai Afghanistan sehingga menyebabkan krisis keuangan dan memperburuk situasi kemanusiaan.
"Saya menyesal sekarang. Saya tidak bisa lagi bekerja. Saya kesakitan dan saya tidak bisa mengangkat apapun yang berat," jelas Nooruddin.
Keluarga Noorudin sekarang bergantung pada putra mereka yang berusia 12 tahun untuk mendapatkan uang. Noorudin mengungkapkan bahwa putranya terpaksa bekerja dengan menyemir sepatu seharga 70 sen sehari.
Selain memberi makan keluarga, Noorudin mengaku menjual ginjalnya seharga USD1500 atau setara dengan Rp21 juta, untuk membayar utang. Sementara di Afghanistan sendiri, praktik jual beli ginjal tidak diatur oleh hukum.
Dilansir dari Straits Times, Senin (21/3/2022) Noorudin mengaku tidak punya pilihan selain menjual ginjalnya. Hal serupa juga banyak dilakukan oleh penduduk Afghanistan lainnya yang bersedia mengorbankan organ untuk menyelamatkan keluarga mereka.
Praktik ini telah menjadi begitu luas di kota barat Herat sehingga dijuluki desa satu ginjal. "Saya harus melakukannya demi anak-anak saya. Aku tidak punya pilihan lain," kata Nooruddin kepada AFP.
Pria 32 tahun itu berhenti dari pekerjaan pabriknya ketika gajinya dipotong menjadi sekitar USD41 atau Rp588 ribu. Hal tersebut terjadi setelah Taliban menguasai Afghanistan sehingga menyebabkan krisis keuangan dan memperburuk situasi kemanusiaan.
"Saya menyesal sekarang. Saya tidak bisa lagi bekerja. Saya kesakitan dan saya tidak bisa mengangkat apapun yang berat," jelas Nooruddin.
Keluarga Noorudin sekarang bergantung pada putra mereka yang berusia 12 tahun untuk mendapatkan uang. Noorudin mengungkapkan bahwa putranya terpaksa bekerja dengan menyemir sepatu seharga 70 sen sehari.
Selain memberi makan keluarga, Noorudin mengaku menjual ginjalnya seharga USD1500 atau setara dengan Rp21 juta, untuk membayar utang. Sementara di Afghanistan sendiri, praktik jual beli ginjal tidak diatur oleh hukum.