NASYID, Kembali ke Rumah
A
A
A
Medio 2000-an nasyid pernah begitu digemari, bahkan sangat populer pada masa tersebut. Kini, nasyid berusaha mencari eksistensi dengan kembali ke rumah.
“Bukan hanya Raihan, kumpulan nasyid lain pun mengalami situasi serupa, tetapi masih bertahan hingga hari ini,” kata Che Amran Idris, pendiri kelompok nasyid asal Malaysia, Raihan, seperti dikutip Harian Metro Malaysiapada 1 Juli lalu. Menurut Che Amran Idris, saat ini kegiatan Raihan memang tidak sesibuk dulu.
Berbanding terbalik pada era 2000- an, hampir setiap minggu mereka mengadakan kunjungan keluar Malaysia. Memang mereka masih ada kegiatan rutin, seperti di Islamic Relief International dan Duta Kemanusiaan Malaysia. Namun, aktivitas tersebut tidak sepadat ketika mereka begitu memesona pendengar setia mereka. Malah menurut Che Amran Idris, sulit bagi Raihan untuk membuat album baru.
Ada beberapa faktor yang menurut dia sangat menghambat Raihan untuk menciptakan lagu nasyid baru. “Biaya pembuatan album sangat tinggi, sedangkan penjualan album tidak seberapa,” sebutnya. Diketahui, album terakhir Raihan sendiri adalah album “Zikr dan Salawat Therapy” pada 2012 hanya terjual 12.000 keping. Ini jauh dari angka ideal ketika mereka pernah meraih penjualan yang sangat besar di album “Puji-Pujian” pada 1996 dengan angka 700.000 keping.
“Andai ada peluang dan pendana, kami mau rekaman album lagi,” ucapnya. Jika dibandingkan dengan era 2000-an, saat ini perkembangan nasyid secara kasatmata tidak begitu terasa. Malahan, eksistensi mereka pada bulan suci Ramadan seperti saat ini justru tertutup oleh maraknya lagu-lagu religi.
Tidak bisa dimungkiri keberadaan nasyid sedikit banyak tenggelam oleh pelaku industri musik itu sendiri. Gurihnya rezeki lagu religi membuat banyak penyanyi major label melakukan ekspansi musiman, khususnya pada bulan suci Ramadan. Dengan dukungan yang kuat, mulai dari nama yang populer, tim kreatif yang masif, hingga aliran dana dari produser yang terus mengalir, membuat nasyid terpinggirkan.
Puncaknya dua tahun belakangan ini. Semua pemain di dunia musik sudah menyadari segmentasi dan keuntungan besar dari musik religi. Belum lagi persepsi masyarakat antara nasyid dan lagu religi begitu tipis. Banyak yang merasa lagu religi adalah lagu-lagu nasyid yang diberikan sentuhan instrumen yang lebih lengkap dan manis. Sejatinya, keduanya jauh berbeda.
Karena nasyid adalah salah satu bentuk dakwah, maka sang munshidharus konsisten dengan jalan dakwah di bidang musik, sekaligus menjaga perilakunya. Nah, inilah perbedaan mendasar antara nasyid dan lagu religi. Persepsi yang tipis inilah yang membuat nasyid semakin lama tenggelam dan teralienasi.
Sekarang bisa kita rasakan sendiri tidak ada lagi nama-nama besar yang bisa dijadikan brandnasyid. Nama-nama seperti Raihan, Snada, hingga Izzatul Islam. Kini, di acara-acara islami di mana pun, seperti dalam acara buka puasa bersama, acara pelatihan dan bedah buku, atau acara lainnya yang dulu banyak diselingi dengan grup nasyid live, digantikan oleh pop-pop religi.
Tidak heran jika ada yang berpikir nasyid tidak mampu bertahan karena nasyid hanyalah tren sesaat. Benarkah? Lalu, ke mana nasyid itu pergi? Sebelum menjawabnya, perlu dicermati sejarah nasyid masuk ke Indonesia. Nasyid awalnya masuk ke Indonesia pada akhir dekade 1980-an lewat kegiatan-kegiatan kampus. Di kampuskampus tersebut, nasyid masuk dalam kegiatan syiar atau dakwah.
Kampus-kampus inilah yang menjadi rumah bagi para munsyid (pelaku nasyid). Jika kampus adalah rumah bagi nasyid, maka perjuangan ideologi Islam adalah nyawa bagi nasyid. Saat ini nasyid memang teralienasi dari televisi dan industri, tapi selama kedua hal tersebut masih belum hilang, nasyid tidak akan terpinggirkan.
Wahyu sibarani
“Bukan hanya Raihan, kumpulan nasyid lain pun mengalami situasi serupa, tetapi masih bertahan hingga hari ini,” kata Che Amran Idris, pendiri kelompok nasyid asal Malaysia, Raihan, seperti dikutip Harian Metro Malaysiapada 1 Juli lalu. Menurut Che Amran Idris, saat ini kegiatan Raihan memang tidak sesibuk dulu.
Berbanding terbalik pada era 2000- an, hampir setiap minggu mereka mengadakan kunjungan keluar Malaysia. Memang mereka masih ada kegiatan rutin, seperti di Islamic Relief International dan Duta Kemanusiaan Malaysia. Namun, aktivitas tersebut tidak sepadat ketika mereka begitu memesona pendengar setia mereka. Malah menurut Che Amran Idris, sulit bagi Raihan untuk membuat album baru.
Ada beberapa faktor yang menurut dia sangat menghambat Raihan untuk menciptakan lagu nasyid baru. “Biaya pembuatan album sangat tinggi, sedangkan penjualan album tidak seberapa,” sebutnya. Diketahui, album terakhir Raihan sendiri adalah album “Zikr dan Salawat Therapy” pada 2012 hanya terjual 12.000 keping. Ini jauh dari angka ideal ketika mereka pernah meraih penjualan yang sangat besar di album “Puji-Pujian” pada 1996 dengan angka 700.000 keping.
“Andai ada peluang dan pendana, kami mau rekaman album lagi,” ucapnya. Jika dibandingkan dengan era 2000-an, saat ini perkembangan nasyid secara kasatmata tidak begitu terasa. Malahan, eksistensi mereka pada bulan suci Ramadan seperti saat ini justru tertutup oleh maraknya lagu-lagu religi.
Tidak bisa dimungkiri keberadaan nasyid sedikit banyak tenggelam oleh pelaku industri musik itu sendiri. Gurihnya rezeki lagu religi membuat banyak penyanyi major label melakukan ekspansi musiman, khususnya pada bulan suci Ramadan. Dengan dukungan yang kuat, mulai dari nama yang populer, tim kreatif yang masif, hingga aliran dana dari produser yang terus mengalir, membuat nasyid terpinggirkan.
Puncaknya dua tahun belakangan ini. Semua pemain di dunia musik sudah menyadari segmentasi dan keuntungan besar dari musik religi. Belum lagi persepsi masyarakat antara nasyid dan lagu religi begitu tipis. Banyak yang merasa lagu religi adalah lagu-lagu nasyid yang diberikan sentuhan instrumen yang lebih lengkap dan manis. Sejatinya, keduanya jauh berbeda.
Karena nasyid adalah salah satu bentuk dakwah, maka sang munshidharus konsisten dengan jalan dakwah di bidang musik, sekaligus menjaga perilakunya. Nah, inilah perbedaan mendasar antara nasyid dan lagu religi. Persepsi yang tipis inilah yang membuat nasyid semakin lama tenggelam dan teralienasi.
Sekarang bisa kita rasakan sendiri tidak ada lagi nama-nama besar yang bisa dijadikan brandnasyid. Nama-nama seperti Raihan, Snada, hingga Izzatul Islam. Kini, di acara-acara islami di mana pun, seperti dalam acara buka puasa bersama, acara pelatihan dan bedah buku, atau acara lainnya yang dulu banyak diselingi dengan grup nasyid live, digantikan oleh pop-pop religi.
Tidak heran jika ada yang berpikir nasyid tidak mampu bertahan karena nasyid hanyalah tren sesaat. Benarkah? Lalu, ke mana nasyid itu pergi? Sebelum menjawabnya, perlu dicermati sejarah nasyid masuk ke Indonesia. Nasyid awalnya masuk ke Indonesia pada akhir dekade 1980-an lewat kegiatan-kegiatan kampus. Di kampuskampus tersebut, nasyid masuk dalam kegiatan syiar atau dakwah.
Kampus-kampus inilah yang menjadi rumah bagi para munsyid (pelaku nasyid). Jika kampus adalah rumah bagi nasyid, maka perjuangan ideologi Islam adalah nyawa bagi nasyid. Saat ini nasyid memang teralienasi dari televisi dan industri, tapi selama kedua hal tersebut masih belum hilang, nasyid tidak akan terpinggirkan.
Wahyu sibarani
(bbg)