Kembangkan Wisata Halal, Pemerintah Perlu Gandeng 5 Stakeholder
A
A
A
JAKARTA - Potensi Indonesia untuk menjadi pemain utama dunia dalam pariwisata halal atau wisata syariah begitu besar. Namun demikian, agar potensi itu segera menjadi realitas, pemerintah harus menggenjot pariwisata syariah dengan menggandeng setidaknya lima unsur masyarakat sebagai stakeholder.
Pengamat ekonomi dan marketing dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Popy Rufaidah mengatakan, modal besar berupa kemenangan Indonesia di World Best Halal Travel Summit baru-baru ini harus segera ditindaklanjuti secara terarah, terstruktur dan komprehensif. Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dapat menggandeng peran lima pihak atau pentahelix seperti akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas dan media, dalam mengakselerasi pengembangan destinasi halal Indonesia.
“Perlu langkah taktis untuk membangun kesadaran pasar atau market awareness wisata halal,” kata direktur Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad itu di Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Menurut dia, konsep halal tak sesederhana bagaimana memastikan makanan yang ada halal dan Islami, melainkan juga mempromosikan kesopansantunan, kebersihan, keselamatan, tingginya mutu produk dan jasa wisata yang ditawarkan, menjadi kesadaran bersama seluruh pemangku kepentingan.
Namun tentu saja hal itu membutuh waktu yang tidak singkat. “Strategi menggandeng lima pihak itulah yang menjadi strategi hingga memungkin adanya akselerasi,” kata Popy.
Dia mencontohkan Malaysia yang kini menjadi salah satu destinasi halal terkemuka di dunia. Untuk mencapai posisi saat ini dan menerima kunjungan setidaknya 6,1 juta turis pencinta wisata halal, Malaysia telah memulainya sejak 2009. Hal itu ditandai dengan didirikannya Pusat Pariwisata Islami (Islamic Tourism Centre/ITC).
“ITC itu awalnya melakukan berbagai hal, seperti penelitian pariwisata strategis, market inteligence, dan penyediaan jasa pelatihan dan pengembangan kapasitas pengelola pariwisata halal,” kata Popy.
Kini, lembaga itu telah melahirkan sejumlah pedoman teknis penyelenggaraan wisata halal, misalnya saja Pedoman Standar Pelayanan Islami pada industri pelayanan (hospitality industry).
Hal lain, ITC pula yang mampu menawarkan hal-hal sederhana dengan pengemasan berstandar internasional. Misalnya membuka paket-paket untuk wisatawan non-Muslim yang ingin mempelajari acara-acara keagamaan dan mengunjungi masjid-masjid bersejarah di Malaysia.
Itulah sebabnya, negeri itu menyediakan kemudahan berupa buku panduan berbahasa Inggris untuk diunduh wisatawan mancanegara yang tertarik mengikuti acara Ramadhan in Malaysia, Ramadan Bazaar, Ramadan Buffet, Ramadan Local Festivals, Imsyak Iftar dan sebagainya.
Belum lagi panduan semacam Muslim Friendly Guide and Guide to Islamic Festival in Malaysia, atau menampilkan infographic snapshot berisi data jumlah masjid (disertai lokasi GPS), restauran tersertifikasi halal, total perusahaan penerbangan dari negara Islam, produk bermerek global tersertifikasi halal, dan daftar agen perjalanan yang menawarkan paket perjalanan wisata halal dan sebagainya.
“Percepatan untuk mencapai semua itu dimungkinkan melalui kerja sama alias gotong royong semua pemangku kepentingan pariwisata,” kata Popy.
Di lapangan, sebenarnya kerja sama untuk menggenjot Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbuka luas. Misalnya, beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan kesiapan untuk mendukung dan mengembangkan program wisata halal.
“MUI menyediakan diri untuk bertindak sebagai pengawas terkait kehalalan produk-produk wisata halal,” kata Ketua Umum MUI Kiai Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu.
Menurut Kiai Ma’ruf, MUI juga bisa menjadi konsultan manajemen syariah bagi para operator pariwisata halal. Sedangkan untuk makanan halal, melalui LPPOM MUI telah dilakukan pembinaan kepada para pelaku usaha, khususnya di bidang restoran, hotel, dan katering, agar mereka dapat melengkapi diri dengan sertifikat halal.
“Ketersediaan restoran halal menjadi sangat penting karena wisatawan asing maupun wisatawan dalam negeri sangat membutuhkan,” kata dia.
Berdasarkan Global Muslim Travel Index, pada 2013 lalu tingkat kunjungan wisman halal Indonesia berada di ranking keempat di tingkat ASEAN, dengan jumlah kunjungan wisatawan muslim 1,7 juta. Posisi itu di bawah Malaysia yang dikunjungi 6,1 juta wisman, Thailand 4,4 juta wisman halal, atau Singapura 3,9 juta wisman. Sedangkan dilihat dari skor tingkat dunia, Indonesia berada di urutan keenam dengan skor 67,5. Di posisi teratas tetap Malaysia, dengan skor 83,8.
Hal itu wajar mengingat saat ini hotel syariah besertifikat yang ada baru berjumlah 37 hotel, dengan potensi untuk segera menjadi hotel syariah sebanyak 150 hotel. Begitu juga dengan restoran. Dari 2.916 restoran, baru 303 yang besertifikat halal dan 1.800 tengah menyiapkan diri menjadi restoran halal. Sedangkan tempat relaksasi, SPA kini baru berjumlah tiga unit, dengan 29 lainnya sedang berproses untuk mendapatkan sertifikat halal.
Pengamat ekonomi dan marketing dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Popy Rufaidah mengatakan, modal besar berupa kemenangan Indonesia di World Best Halal Travel Summit baru-baru ini harus segera ditindaklanjuti secara terarah, terstruktur dan komprehensif. Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dapat menggandeng peran lima pihak atau pentahelix seperti akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas dan media, dalam mengakselerasi pengembangan destinasi halal Indonesia.
“Perlu langkah taktis untuk membangun kesadaran pasar atau market awareness wisata halal,” kata direktur Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad itu di Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Menurut dia, konsep halal tak sesederhana bagaimana memastikan makanan yang ada halal dan Islami, melainkan juga mempromosikan kesopansantunan, kebersihan, keselamatan, tingginya mutu produk dan jasa wisata yang ditawarkan, menjadi kesadaran bersama seluruh pemangku kepentingan.
Namun tentu saja hal itu membutuh waktu yang tidak singkat. “Strategi menggandeng lima pihak itulah yang menjadi strategi hingga memungkin adanya akselerasi,” kata Popy.
Dia mencontohkan Malaysia yang kini menjadi salah satu destinasi halal terkemuka di dunia. Untuk mencapai posisi saat ini dan menerima kunjungan setidaknya 6,1 juta turis pencinta wisata halal, Malaysia telah memulainya sejak 2009. Hal itu ditandai dengan didirikannya Pusat Pariwisata Islami (Islamic Tourism Centre/ITC).
“ITC itu awalnya melakukan berbagai hal, seperti penelitian pariwisata strategis, market inteligence, dan penyediaan jasa pelatihan dan pengembangan kapasitas pengelola pariwisata halal,” kata Popy.
Kini, lembaga itu telah melahirkan sejumlah pedoman teknis penyelenggaraan wisata halal, misalnya saja Pedoman Standar Pelayanan Islami pada industri pelayanan (hospitality industry).
Hal lain, ITC pula yang mampu menawarkan hal-hal sederhana dengan pengemasan berstandar internasional. Misalnya membuka paket-paket untuk wisatawan non-Muslim yang ingin mempelajari acara-acara keagamaan dan mengunjungi masjid-masjid bersejarah di Malaysia.
Itulah sebabnya, negeri itu menyediakan kemudahan berupa buku panduan berbahasa Inggris untuk diunduh wisatawan mancanegara yang tertarik mengikuti acara Ramadhan in Malaysia, Ramadan Bazaar, Ramadan Buffet, Ramadan Local Festivals, Imsyak Iftar dan sebagainya.
Belum lagi panduan semacam Muslim Friendly Guide and Guide to Islamic Festival in Malaysia, atau menampilkan infographic snapshot berisi data jumlah masjid (disertai lokasi GPS), restauran tersertifikasi halal, total perusahaan penerbangan dari negara Islam, produk bermerek global tersertifikasi halal, dan daftar agen perjalanan yang menawarkan paket perjalanan wisata halal dan sebagainya.
“Percepatan untuk mencapai semua itu dimungkinkan melalui kerja sama alias gotong royong semua pemangku kepentingan pariwisata,” kata Popy.
Di lapangan, sebenarnya kerja sama untuk menggenjot Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbuka luas. Misalnya, beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan kesiapan untuk mendukung dan mengembangkan program wisata halal.
“MUI menyediakan diri untuk bertindak sebagai pengawas terkait kehalalan produk-produk wisata halal,” kata Ketua Umum MUI Kiai Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu.
Menurut Kiai Ma’ruf, MUI juga bisa menjadi konsultan manajemen syariah bagi para operator pariwisata halal. Sedangkan untuk makanan halal, melalui LPPOM MUI telah dilakukan pembinaan kepada para pelaku usaha, khususnya di bidang restoran, hotel, dan katering, agar mereka dapat melengkapi diri dengan sertifikat halal.
“Ketersediaan restoran halal menjadi sangat penting karena wisatawan asing maupun wisatawan dalam negeri sangat membutuhkan,” kata dia.
Berdasarkan Global Muslim Travel Index, pada 2013 lalu tingkat kunjungan wisman halal Indonesia berada di ranking keempat di tingkat ASEAN, dengan jumlah kunjungan wisatawan muslim 1,7 juta. Posisi itu di bawah Malaysia yang dikunjungi 6,1 juta wisman, Thailand 4,4 juta wisman halal, atau Singapura 3,9 juta wisman. Sedangkan dilihat dari skor tingkat dunia, Indonesia berada di urutan keenam dengan skor 67,5. Di posisi teratas tetap Malaysia, dengan skor 83,8.
Hal itu wajar mengingat saat ini hotel syariah besertifikat yang ada baru berjumlah 37 hotel, dengan potensi untuk segera menjadi hotel syariah sebanyak 150 hotel. Begitu juga dengan restoran. Dari 2.916 restoran, baru 303 yang besertifikat halal dan 1.800 tengah menyiapkan diri menjadi restoran halal. Sedangkan tempat relaksasi, SPA kini baru berjumlah tiga unit, dengan 29 lainnya sedang berproses untuk mendapatkan sertifikat halal.
(alv)