Praktik Mutilasi Kelamin Wanita jadi Kekhawatiran Global
A
A
A
NEW YORK - Menjelang Hari Internasional Toleransi Nol terhadap Mutilasi Kelamin Perempuan FGM, UNICEF merilis laporan statistik tentang praktik yang di beberapa negara, termasuk Indonesia, juga dikenal dengan istilah “sunat perempuan.”
Laporan statistik terbaru tentang Mutilasi Kelamin Perempuan FGM menunjukkan praktik berbahaya ini adalah kekhawatiran global.
Sedikitnya 200 juta anak perempuan dan wanita yang hidup di 30 negara saat ini telah menjalani praktik mutilasi kelamin perempuan (Female Genital Mutilation/FGM), yang di Indonesia dikenal dengan istilah sunat perempuan, berdasarkan laporan statistik yang dirilis menjelang Hari Internasional Toleransi Nol terhadap Mutilasi Kelamin Perempuan atau FGM/C.
Female Genital Mutilation/Cutting: A Global Concern, mencatat bahwa separuh anak perempuan dan wanita mengalami praktik ini di tiga negara – Mesir, Ethiopia dan Indonesia – dan mengacu kepada studi-studi lebih kecil serta observasi yang memberikan bukti bahwa FGM adalah sebuah isu hak asasi manusia global yang berdampak kepada anak perempuan dan wanita di setiap bagian dunia.
Mutilasi kelamin perempuan merujuk kepada sejumlah prosedur. Terlepas dari apa pun bentuk yang dipraktikkan, FGM adalah pelanggaran terhadap hak anak.
“Mutilasi kelamin perempuan berbeda di berbagai wilayah dan budaya, dan beberapa bentuk melibatkan risiko yang membahayakan hidup. Dalam setiap kasus, FGM melanggar hak anak perempuan dan wanita. Kita semua –pemerintah, profesional kesehatan, pemuka masyarakat, orang tua dan keluarga- harus mempercepat upaya untuk mengakhiri praktik ini,” kata Deputi Direktur Eksekutif UNICEF Geeta Rao Gupta dalam rilis yang diterima Sindonews.
Berdasarkan data, anak-anak perempuan berusia 14 tahun dan lebih muda mewakili 44 juta orang yang telah mengalami satu bentuk FGM, dengan prevalensi FGM tertinggi di kelompok umur ini berada di Gambia dengan 56 persen, Mauritania 54 persen dan Indonesia dimana sekitar separuh anak perempuan berusia 11 tahun dan lebih muda telah menjalani praktik ini.
Negara-negara dengan prevalensi tertinggi di kalangan anak perempuan dan wanita berusia 15 hingga 49 tahun adalah Somalia dengan 98 persen, Guinea 97 persen dan Djibouti 93 persen.
Di kebanyakan negara mayoritas anak perempuan disunat sebelum berusia lima tahun.
Angka global dalam laporan statistik FGM meliputi hampir 70 juta lebih banyak anak perempuan dan wanita dibandingkan dengan perkiraan pada tahun 2014. Hal ini dikarenakan pertumbuhan populasi di beberapa negara dan data representatif nasional yang dikumpulkan oleh Pemerintah Indonesia.
Seiring dengan semakin banyaknya data tentang FGM yang dapat diakses, perkiraan jumlah total anak perempuan dan wanita yang telah menjalani praktik ini pun bertambah. Pada 2016, tiga negara memiliki data representatif nasional tentang praktik ini.
“Menentukan besarnya FGM merupakan hal yang penting untuk mengakhiri praktik ini. Ketika pemerintah mengumpulkan dan mempublikasikan statistik nasional tentang FGM mereka dapat lebih memahami bobot isu ini dan mempercepat upaya untuk melindungi hak jutaan anak perempuan dan wanita,” kata Rao Gupta.
Momentum untuk membahas FGM terus tumbuh. Prevalensi FGM di antara anak perempuan berusia 15 hingga 19 tahun terus menurun, termasuk 41 poin persen di Liberia, 31 di Burkina Faso, 30 di Kenya dan 27 di Mesir dalam 30 tahun terakhir.
Sejak 2008, lebih dari 15.000 komunitas dan sub-distrik di 20 negara secara publik telah mendeklarasikan bahwa mereka mengabaikan FGM, termasuk lebih dari 2.000 komunitas tahun lalu. Lima negara telah menetapkan undang-undang yang menjadikan praktik itu sebuah tindakan kriminal.
Data juga mengindikasikan adanya ketidaksetujuan yang luas terhadap praktik itu karena mayoritas penduduk di negara-negara dimana FGM terjadi berpendapat hal itu harus dihentikan. Mereka yang tidak setuju meliputi hampir dua pértiga anak lelaki dan kaum pria.
Namun angka kemajuan keseluruhan itu tidak cukup untuk menyamai pertumbuhan populasi. Jika tren saat ini terus berlanjut maka jumlah anak perempuan dan wanita yang menjadi subyek FGM akan meningkat signifikan dalam 15 tahun mendatang.
UNICEF, dengan UNFPA, bersama memimpin program global terbesar menuju eliminasi FGM. UNICEF bekerja di semua lini dengan pemerintah, komunitas, pemuka agama dan mitra-mitra lain untuk mengakhiri praktik ini.
Dengan dimasukkannya target untuk menghapus FGM pada 2030 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, komitmen komunitas internasional untuk mengakhiri FGM kini semakin kuat.
Laporan statistik terbaru tentang Mutilasi Kelamin Perempuan FGM menunjukkan praktik berbahaya ini adalah kekhawatiran global.
Sedikitnya 200 juta anak perempuan dan wanita yang hidup di 30 negara saat ini telah menjalani praktik mutilasi kelamin perempuan (Female Genital Mutilation/FGM), yang di Indonesia dikenal dengan istilah sunat perempuan, berdasarkan laporan statistik yang dirilis menjelang Hari Internasional Toleransi Nol terhadap Mutilasi Kelamin Perempuan atau FGM/C.
Female Genital Mutilation/Cutting: A Global Concern, mencatat bahwa separuh anak perempuan dan wanita mengalami praktik ini di tiga negara – Mesir, Ethiopia dan Indonesia – dan mengacu kepada studi-studi lebih kecil serta observasi yang memberikan bukti bahwa FGM adalah sebuah isu hak asasi manusia global yang berdampak kepada anak perempuan dan wanita di setiap bagian dunia.
Mutilasi kelamin perempuan merujuk kepada sejumlah prosedur. Terlepas dari apa pun bentuk yang dipraktikkan, FGM adalah pelanggaran terhadap hak anak.
“Mutilasi kelamin perempuan berbeda di berbagai wilayah dan budaya, dan beberapa bentuk melibatkan risiko yang membahayakan hidup. Dalam setiap kasus, FGM melanggar hak anak perempuan dan wanita. Kita semua –pemerintah, profesional kesehatan, pemuka masyarakat, orang tua dan keluarga- harus mempercepat upaya untuk mengakhiri praktik ini,” kata Deputi Direktur Eksekutif UNICEF Geeta Rao Gupta dalam rilis yang diterima Sindonews.
Berdasarkan data, anak-anak perempuan berusia 14 tahun dan lebih muda mewakili 44 juta orang yang telah mengalami satu bentuk FGM, dengan prevalensi FGM tertinggi di kelompok umur ini berada di Gambia dengan 56 persen, Mauritania 54 persen dan Indonesia dimana sekitar separuh anak perempuan berusia 11 tahun dan lebih muda telah menjalani praktik ini.
Negara-negara dengan prevalensi tertinggi di kalangan anak perempuan dan wanita berusia 15 hingga 49 tahun adalah Somalia dengan 98 persen, Guinea 97 persen dan Djibouti 93 persen.
Di kebanyakan negara mayoritas anak perempuan disunat sebelum berusia lima tahun.
Angka global dalam laporan statistik FGM meliputi hampir 70 juta lebih banyak anak perempuan dan wanita dibandingkan dengan perkiraan pada tahun 2014. Hal ini dikarenakan pertumbuhan populasi di beberapa negara dan data representatif nasional yang dikumpulkan oleh Pemerintah Indonesia.
Seiring dengan semakin banyaknya data tentang FGM yang dapat diakses, perkiraan jumlah total anak perempuan dan wanita yang telah menjalani praktik ini pun bertambah. Pada 2016, tiga negara memiliki data representatif nasional tentang praktik ini.
“Menentukan besarnya FGM merupakan hal yang penting untuk mengakhiri praktik ini. Ketika pemerintah mengumpulkan dan mempublikasikan statistik nasional tentang FGM mereka dapat lebih memahami bobot isu ini dan mempercepat upaya untuk melindungi hak jutaan anak perempuan dan wanita,” kata Rao Gupta.
Momentum untuk membahas FGM terus tumbuh. Prevalensi FGM di antara anak perempuan berusia 15 hingga 19 tahun terus menurun, termasuk 41 poin persen di Liberia, 31 di Burkina Faso, 30 di Kenya dan 27 di Mesir dalam 30 tahun terakhir.
Sejak 2008, lebih dari 15.000 komunitas dan sub-distrik di 20 negara secara publik telah mendeklarasikan bahwa mereka mengabaikan FGM, termasuk lebih dari 2.000 komunitas tahun lalu. Lima negara telah menetapkan undang-undang yang menjadikan praktik itu sebuah tindakan kriminal.
Data juga mengindikasikan adanya ketidaksetujuan yang luas terhadap praktik itu karena mayoritas penduduk di negara-negara dimana FGM terjadi berpendapat hal itu harus dihentikan. Mereka yang tidak setuju meliputi hampir dua pértiga anak lelaki dan kaum pria.
Namun angka kemajuan keseluruhan itu tidak cukup untuk menyamai pertumbuhan populasi. Jika tren saat ini terus berlanjut maka jumlah anak perempuan dan wanita yang menjadi subyek FGM akan meningkat signifikan dalam 15 tahun mendatang.
UNICEF, dengan UNFPA, bersama memimpin program global terbesar menuju eliminasi FGM. UNICEF bekerja di semua lini dengan pemerintah, komunitas, pemuka agama dan mitra-mitra lain untuk mengakhiri praktik ini.
Dengan dimasukkannya target untuk menghapus FGM pada 2030 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, komitmen komunitas internasional untuk mengakhiri FGM kini semakin kuat.
(sbn)