Jemunak, Jajanan Tradisional Pelengkap Buka Puasa Warga Muntilan
A
A
A
MAGELANG - Sebagian besar warga Muntilan maupun Magelang, pada umumnya telah mengenal makanan khas yang hanya muncul saat Ramadhan. Makanan ini menjadi menu utama di samping kurma maupun kolak saat takjil maupun sehabis tadarus Alquran. Warga secara turun-temurun menyebut jenis makanan ini dengan sebutan jemunak.
Jemunak dibuat dari ketela pohon atau singkong yang diparut halus, kemudian dicampur dengan beras ketan dan disajikan dengan parutan kelapa dan juruh (gula jawa yang dicairkan) dalam bungkusan daun pisang. Sebagian orang yang menyebut jemunak yang diartikan sebagai bar ngaji nemu enak (sehabis mengaji menemukan yang enak).
Bahkan, warga di kawasan Gunungpring, bahkan Muntilan tak mengetahui siapa kali pertama yang membuat makanan jemunak tersebut. Kini, di kawasan Gunungpring, Muntilan, sedikitnya ada 3 orang yang membuat jemunak tersebut.
Salah satu pembuat jemunak tersebut adalah Mbah Mujilah, 83, warga Krajan, Gunungpring, Muntilan. Dia membuat jemunak meneruskan kedua orangtuanya yang secara turun-temurun membuat makanan khas yang muncul setiap Ramadhan tersebut. Kini, untuk membuat jemunak, dia dibantu anak-anak maupun cucunya.
“Kula namung neruske (saya hanya meneruskan),” kata Mbah Mujilah dengan bahasa Jawa sambil merebus ketela pohon, kemarin.
Karena usianya telah uzur, untuk membuat jemunak dibantu anaknya, Ny Kasmirah, 46. Dia menuturkan, setiap harinya harus merebus sebanyak 25 kilogram ketela pohon, 7 kilogram beras ketan dan merebus 6 kilogram gula Jawa. “Pertama ketela pohon dikupas, kemudian diparut agak kasar terus direbus hingga setengah matang. Demikian halnya dengan beras ketan direbus setengah matang,” ujarnya.
Setelah keduanya direbus setengah matang, katanya, kemudian antara ketela pohon dan beras ketan direbus bersama hingga matang. Setelah itu, diangkat terus ditumbuk hingga pulen atau kenyal. “Baru setelah ini dibungkusi dengan daun pisang, terus diberi parutan kelapa dan juruh. Ini hanya ada saat bulan Ramadhan, biasanya banyak yang pesan maupun dititipkan di warung-warung sekitarnya,” kata Kasmirah.
Untuk setiap harinya, mereka bisa membuat hingga 1.000 bungkusan jemunak. Sedangkan per bungkus tersebut dijual sebesar Rp1.500. Biasanya untuk mempersiapkan membuat jemunak tersebut dimulai dari pagi hari hingga sore hari.
“Alhamdulillah sehari 1.000-an bungkusan baik itu melayani pesanan maupun dititipkan di sejumlah warung tetangganya. Dua tahun lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah utusan pesan jemunak,” papar Kasmirah.
Salah satu pembeli, Ria, 29, warga setempat mengaku, rasanya kalau buka Puasa Ramadan belum menikmati jemunak dirasakan masih ada yang kurang. Untuk itu, rata-rata setiap harinya memesan jemunak. “Kalau belum makan jemunak saat buka Puasa Ramadhan, rasanya masih ada yang kurang,” tuturnya.
Selain di Krajan, ada juga yang menjual jemunak tersebut di daerah Bintaro, Gunungpring maupun Santren, Gunungpring. Di Santren, Gunungpring, yang menjual adalah Ny Asminah, 50. “Saya sudah sejak lama berjualan jemunak ini. Ini hanya ada saat Ramadhan saja. Kalau saya hanya membuat 4 kilogram ketela pohon,” ujarnya.
Jemunak dibuat dari ketela pohon atau singkong yang diparut halus, kemudian dicampur dengan beras ketan dan disajikan dengan parutan kelapa dan juruh (gula jawa yang dicairkan) dalam bungkusan daun pisang. Sebagian orang yang menyebut jemunak yang diartikan sebagai bar ngaji nemu enak (sehabis mengaji menemukan yang enak).
Bahkan, warga di kawasan Gunungpring, bahkan Muntilan tak mengetahui siapa kali pertama yang membuat makanan jemunak tersebut. Kini, di kawasan Gunungpring, Muntilan, sedikitnya ada 3 orang yang membuat jemunak tersebut.
Salah satu pembuat jemunak tersebut adalah Mbah Mujilah, 83, warga Krajan, Gunungpring, Muntilan. Dia membuat jemunak meneruskan kedua orangtuanya yang secara turun-temurun membuat makanan khas yang muncul setiap Ramadhan tersebut. Kini, untuk membuat jemunak, dia dibantu anak-anak maupun cucunya.
“Kula namung neruske (saya hanya meneruskan),” kata Mbah Mujilah dengan bahasa Jawa sambil merebus ketela pohon, kemarin.
Karena usianya telah uzur, untuk membuat jemunak dibantu anaknya, Ny Kasmirah, 46. Dia menuturkan, setiap harinya harus merebus sebanyak 25 kilogram ketela pohon, 7 kilogram beras ketan dan merebus 6 kilogram gula Jawa. “Pertama ketela pohon dikupas, kemudian diparut agak kasar terus direbus hingga setengah matang. Demikian halnya dengan beras ketan direbus setengah matang,” ujarnya.
Setelah keduanya direbus setengah matang, katanya, kemudian antara ketela pohon dan beras ketan direbus bersama hingga matang. Setelah itu, diangkat terus ditumbuk hingga pulen atau kenyal. “Baru setelah ini dibungkusi dengan daun pisang, terus diberi parutan kelapa dan juruh. Ini hanya ada saat bulan Ramadhan, biasanya banyak yang pesan maupun dititipkan di warung-warung sekitarnya,” kata Kasmirah.
Untuk setiap harinya, mereka bisa membuat hingga 1.000 bungkusan jemunak. Sedangkan per bungkus tersebut dijual sebesar Rp1.500. Biasanya untuk mempersiapkan membuat jemunak tersebut dimulai dari pagi hari hingga sore hari.
“Alhamdulillah sehari 1.000-an bungkusan baik itu melayani pesanan maupun dititipkan di sejumlah warung tetangganya. Dua tahun lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah utusan pesan jemunak,” papar Kasmirah.
Salah satu pembeli, Ria, 29, warga setempat mengaku, rasanya kalau buka Puasa Ramadan belum menikmati jemunak dirasakan masih ada yang kurang. Untuk itu, rata-rata setiap harinya memesan jemunak. “Kalau belum makan jemunak saat buka Puasa Ramadhan, rasanya masih ada yang kurang,” tuturnya.
Selain di Krajan, ada juga yang menjual jemunak tersebut di daerah Bintaro, Gunungpring maupun Santren, Gunungpring. Di Santren, Gunungpring, yang menjual adalah Ny Asminah, 50. “Saya sudah sejak lama berjualan jemunak ini. Ini hanya ada saat Ramadhan saja. Kalau saya hanya membuat 4 kilogram ketela pohon,” ujarnya.
(alv)