Menikmati Secangkir Robusta di Jantung Ekonomi Hindia Belanda

Sabtu, 24 Desember 2016 - 03:30 WIB
Menikmati Secangkir Robusta di Jantung Ekonomi Hindia Belanda
Menikmati Secangkir Robusta di Jantung Ekonomi Hindia Belanda
A A A
BLITAR - De Karanganjar Koffieplantage, NV Harta Mulia. Tulisan berbahasa Belanda itu terpampang besar menandai wajah bangunan De Karanganjar. Bahasa yang mengingatkan pada Gubernur Jendral Van Den Bosh dengan kebijakan tanam paksanya (Cultuurstelsel). Kalimat itu kurang lebih berbunyi perkebunan kopi Karanganyar dengan perusahaan Harta Mulia sebagai pengelola.

Selorong teras yang memanjang tepat berada di bawahnya. Sepintas mirip beranda di stasiun kereta atau lingkungan pabrik gula. Dua pintu menghias dua ruangan berukuran besar. Masing masing berbingkai tiga unit jendela model bertangkup. Semuanya dalam kondisi tertutup. Di depan teras berdiri tiang bendera lengkap sang saka yang melambai lambai.

Angin perkebunan berhembus kencang mempermainkanya. Sebuah kursi besi berkapasitas tiga orang mengisi pojokan ruang terbuka. Disini agrowisata Perkebunan Kopi Karanganyar Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar menemukan sudut pandangnya. Sebuah pelancongan alam dan sejarah yang berlokasi di lereng Gunung Kelud. Dari Kota Blitar hanya berpaut rentang jarak 20 kilometer.

Mungkin inilah satu satunya agro wisata yang menancap tepat di jantung ekonomi Kolonial Belanda. Selain teh, tembakau, tebu dan cokelat, kopi adalah salah satu tanaman budidaya dalam sistem tanam paksa. Kopi menjadi mesin pemulihan keuangan negara yang bangkrut akibat perang Jawa. Namun sesungguhnya mulai tahun 1712 Kopi Jawa atau Java Koffie sudah masuk pelelangan di Amsterdam, Belanda.

Sejak saat itu pula pasar kopi dunia menggandrunginya. Kendati demikian tak usah membayangkan bakal bertemu lalu lalang pribumi berbadan kurus, bercelana kolor kain blacu, bertelanjang dada, dengan kulit sawo matang mengkilat karena keringat, memikul berkarung karung biji kopi mentah untuk dikeringkan, ditimbang, digiling dan dimasak. Sebab semua itu sudah berlalu.
Kopi Karanganyar
Kesengsaraan tanam paksa telah berganti dengan lalu lalang wisatawan yang ingin menikmati keasrian perkebunan. Mereka datang dengan dengan wajah ceria penuh tawa. Rumput taman atau akrab disebut rumput Jepang tumbuh rapi merata. Beberapa sudut taman berkembang tanaman perdu, termasuk sebatang pohon serut. Air mancur dengan daya semprot rendah tepat berada di tengah. Tidak sedikit anak anak kecil bermain, berlari, berkejar kejaran mengitarinya. Meski siang bolong udara terasa sejuk.

Maklumlah, selain berada di dataran tinggi tanaman rimbun masih banyak meliar disana. Beberapa keluarga menggelar tikar di rerumputan. Mereka membuka bekal, menikmati makanan dan minuman sambil bersendau gurau. Di sisi kiri taman berdiri bangunan berarsitektur serupa. Selembar kayu yang menempel tembok gerbang bertuliskan rumah Loji lengkap dengan waktu kunjungan.

Yang menjadi favorit kunjungan di rumah Loji tetaplah kamar Proklamator RI Soekarno. Setelah masuk ke dalam wisatawan dijamin tahu jawabanya. Sebuah tempat tidur kayu kayu jati dengan kasur cukup untuk tiga orang tepat berada di tengah. Di dindingnya menempel lukisan wanita cantik karya pelukis Basuki Abdullah.
Kopi Karanganyar
“Kebetulan saat menjadi presiden dan berkunjung ke Blitar, Bung Karno juga pernah mampir ke rumah Loji ini. Dan beristirahat di kamar ini,” ujar gadis pemandu rumah loji.

Sebuah kamar dengan ukuran tidak kalah besar berada tepat disebelah kamar Bung Karno. Tempat tidur kuno dengan motif ukiran Jepara berada di dekat pintu masuk. Pada dinding yang menghadap pintu menempel lukisan sepasang pria dan wanita berusia setengah baya. Pria itu adalah almarhum Denny Moch Roshadi, mantan kepala perkebunan kopi Karanganyar. Dialah “peletak batu pertama” perkebunan kopi Karanganyar. Whima Brahmantya pengelola sekarang yang juga cucu almarhum Denny berkisah bahwa di era Pemerintah Hindia Belanda kakeknya adalah seorang mandor di perkebunan kopi Karanganyar.

Luas perkebunan mencapai 250 hektare dengan 20 hektare diantaranya kawasan kantor, rumah loji, gudang, dan pabrik penggilingan kopi yang kini beralih fungsi menjadi lokasi wisata. Pada tahun 1960, Denny membeli seluruh saham perkebunan, lalu mendirikan PT Harta dan berganti nama PT Harta Mulia di tahun 1983. Saat itu, produksi biji kopi robusta perkebunan Karanganyar mencapai ribuan ton sekali panen. “Kalau sekarang sekali panen hanya tinggal 50 ton. Ini pengaruh daya produksi tanaman kopi sudah jauh berkurang,” kata dia.

Denny menutup usia pada tahun 1983. Sepeninggal Denny kondisi perkebunan Karanganyar sempat terbengkalai. Sebagian besar anak almarhum memilih masuk dunia politik daripada menggeluti bisnis perkebunan kopi. Salah satunya adalah mantan Bupati Blitar Herry Noegroho yang juga orang tua Whima.

Mulai akhir 2014, Whima mengaku mulai berbenah dan mengarahkan perkebunan kopi sebagai agro wisata. Untuk memoles aset dengan HGU bertempo 30 tahun itu dia merogoh kocek hingga ratusan juta. “Saya mulai berani melangkah melalui musyawarah keluarga. Keputusannya saya diberi amanah untuk mengelola perkebunan kopi ini,” ucap Whima.
Kopi Karanganyar
Lelaki jebolan ITS Surabaya itu berpandangan perkebunan kopi tidak bisa berdiri sendiri. Secara bisnis kurang menjanjkan mengingat tanaman kopi bersiklus panen setahun sekali. Di sisi lain tidak sedikit tanaman kopi yang rusak dan karena faktor usia harus diganti.

Di depan keluarga besar, Whima mempresentasikan konsep agrowisatanya dan langsung diamini seluruhnya. Sebagai langkah awal, dia mengubah gudang penyimpanan biji kopi menjadi bangunan kafetaria dengan arsitektur bergaya kastil Eropa.

Di teras kafe yang juga bernama De Karanganjar Koffieplantage dia memajang satu unit sepeda motor gede berdampingan dengan sepeda kumbang zaman Belanda. Dia meletakkan ruang produksi kopi dan merchandise buat wisatawan di belakang bangunan. Tulisan “Pabrik Pengolahan Kopi PT Harta Mulia Karangaanyar” masih terpampang besar pada tembok pabrik. Satu unit truk Toyota lawas bercat hijau militer terparkir disana. Roda empat atau “Praoto” itu merupakan salah satu alat transportasi pengangkut biji kopi.

Mulai bulan Juli 2016, Perkebunan Kopi Karanganyar sudah sah menjadi agro wisata. Tiket masuk Rp5.000 per kepala. Rata rata kunjungan wisatawan mencapai 500 orang per hari. Jumlah itu meningkat hingga 1.500 orang setiap hari Minggu dan libur hari besar. Namun launching resmi agro wisata perkebunan kopi Karanganyar berlangsung awal Desember 2016 ini. Ada 79 karyawan reguler dengan tiga orang diantaranya volunteer dari Rusia, Italia dan Polandia.
Kopi Karanganyar
“Dari semua aset bangunan yang ada yang diubah hanya gudang. Dengan ada kafetaria wisatawan bisa menikmati kopi sambil melepas lelah,” papar Whima.

Untuk memaksimalkan aset bangunan yang ada Whima membuat museum purna bakti. Museum ini berisi benda benda bersejarah milik Bupati Blitar Herry Noegroho selama memerintah Kabupaten Blitar dua periode. Ada juga museum pusaka yang sebagian besar milik pribadi leluhurnya serta wahana fun cross untuk wisatawan anak anak dan remaja.

Whima yang juga Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Blitar itu tengah menyiapkan pendirian museum budaya Blitar dan kopi. Ayah satu anak ini bercita-cita menjadikan agro wisata Perkebunan Kopi Karanganyar sebagai pusat pembelajaran kopi dan budaya di wilayah Blitar, khususnya dan umumnya eks Karsidenan Kediri.

“Setidaknya agro wisata kopi ini juga turut memberikan edukasi kepada masyarakat. Dan sambil jalan kita akan terus melakukan pembenahan,” kata dia.
(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6757 seconds (0.1#10.140)