Aku Kaget, Mereka Kecepatannya Sangat Luar Biasa dan Kayak Ninja
A
A
A
JAKARTA - Kembali berperan dalam serial televisi bergenre fantasy horror yang akan tayang di HBO, Halfworlds 2, ternyata memberikan cerita unik tersendiri bagi aktor tampan Arifin Putra. Memiliki cukup banyak perubahan, mulai dari lokasi syuting, sutradara, para pemain, hingga sistem kerja yang berbeda membuat Arifin sedikit kaget, tapi juga menikmati peran yang dia mainkan.
Saat ditemui di Grand Hyatt, Jakarta (12/1/2017) dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Sindonews, Arifin berbagi cerita dan pengalamannya selama menjalani syuting Halfworlds 2. Berikut kutipan wawancaranya.
Proses syutingnya seperti apa?
Waktu itu total kurang lebih dua bulan. Sebulan syuting di Bangkok, sebulan lagi syuting di Indonesia, khususnya Batam. Kalau kenapa di Bangkok karena ceritanya emang pindah dari Jakarta ke Bangkok.
Pengalaman syuting season kedua ini bagaimana?
Dikeroyok sama orang Thailand, tapi untuk film. Jadi kalau di season pertama itu lebih banyak berantem satu lawan satu, kalau di sini ceritanya lebih banyak adegan keroyok, jadi yang berantem dengan beberapa orang sekaligus, empat sampai lima orang sekaligus. Dan, karena mereka maunya gayanya itu sangat elegan dan indah, jadi mereka pengen semuanya terlihat seperti sebuah tarian. Jadi mereka lumayan sering ada adegan cukup panjang, mereka ambil dalam satu kesatuan. Kesulitannya di situ, tapi tim koreografinya mempersiapkan kita dengan cukup matang. Mereka maunya kita nggak terlalu banyak hafal dan latihan tapi siap secara mental. Jadi gerakan tubuh kita seperti apa dan cara kita menghafal gerakan seperti apa, cepat menghafal atau tidak.
Kalau karakter Barata di season kedua ini ada perubahan?
Barata itu ada perbedaan transisi. Dia itu orangnya sangat pendiam dan sangat dingin, sangat kelam orangnya. Di season pertama itu dia sangat dingin, hampir nggak ngomong sama sekali. Kalau di season dua ini kita lebih menghidupkan karakternya. Jadi sama dengan karakter-karakter yang lain, di season pertama semunya didorong oleh ketakutan, di season kedua ini semua didorong oleh harapan. Di sini, kita juga ada flashback sedikit tentang masa mudanya Barata dan juga persahabatannya dengan Kaprey yang diperankan Jake Macapagal. Di sini kita melihat sisi yang berbeda dari si Barata ini. Dia lebih optimistis, lebih sarcasm orangnya. Akunya juga lebih seru sih meraninnya.
Ada perbedaan signifikan antara Halfworlds pertama dan kedua?
Mungkin kalau di season pertama itu perkenalan sebuah budaya, yaitu budaya mistis Indonesia, kalau season kedua ini peleburan budayanya dari berbagai macam budaya. Budaya Taiwan, Filipina, Thailand dan Indonesia. Jadi lebih melebur, mungkin juga lebih cocok dengan inisiatornya, yaitu HBO Asia, jadi mereka ingin mengenalkan budaya dari berbagaio macam negara di Asia. Kalau yang pertama, ibaratnya kelinci percobaan, yuk Indonesia. Sekarang yang kedua, yuk, kita ngasih lihat lebih banyak budaya di Asia.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi kali ini?
Aku pikir tadinya masalah utama itu bahasa ya, tapi ternyata di situ hampir semua bisa ngomong (bahasa) Inggris. Meskipun ada yang ngomong ceplas ceplos tapi mereka bisa dan sangat welcome dengan tamu-tamu dan krunya dari berbagai macam negara dan semuanya juga ngomong bahasa Inggris jadinya semuanya lebih efisien dan lebih cepet karena semua ngikutin standar internasional. Dan yang aku pelajari di situ yang tadinya bikin aku kaget tapi bikin seneng adalah mereka kecepatannya sangat luar biasa dan kayak ninja-ninja gitu. Cepet banget, tiba-tiba udah jadi apa, tiba-tiba udah berubah setnya. Kalau di Indonesia biasanya perpindahan set lama, kalau itu nggak. Baru duduk dan minum sebentar, tiba-tiba ya ready ya. Ya, elah baru istirahat. Tapi, jadinya enjoy dan mereka profesional, cepat sekali kerjanya.
Perbedaan dari segi cerita seperti apa?
Dunianya itu tetap sama, ini dunia antara demit dan manusia. Nah, sekarang ibaratnya kita kasih lihat kota yang baru, sebelumnya Jakarta, sekarang Bangkok. Tapi demit-demit ini tidak diketahui keberadaannya oleh manusia. Yang mereka tahu itu hanya cerita aja sih, mereka nggak tahu itu nyata dan benar ada. Masalahnya kalau di season pertama kita bahas yang namanya the gift, kalau disini kita bahas namanya Chris of Amorana, itu menjadi perebutan semua orang. Kalau Barata, intinya dia mencari tempat yang aman untuk orang yang dia ingin lindungi dan sayangi tapi secara nggak sengaja akhirnya dia terjerembab masalah perebutan Chris of Amorana itu, jadi cerita utamanya itu.
Bagaimana bekerja dengan sutradara baru? Bedanya dengan Joko Anwar (sutradara Halfwords season pertama)?
Kalau gayanya pasti beda. Kalau Joko lebih humoris, kekeluargaan, semuanya di-brief secara detail, ceritanya lebih gelap. Di sini lebih beda, karena si Ekachai (Uekrontham) itu selalu menginginkan keindahan dan balance, feng shui, dan ditambah emang dasar orang Thailand mereka kan gesit, cepat, dan professional, jadi dia mau begitu sampai lokasi, mau itu kru, mau pemain, semua udah harus siap. Kita sebagai pemain di-brief secara garis besar, tapi dia nggak mau terlalu detail. Pokoknya begitu sampe lokasi udah harus siap, dialog udah harus hapal, udah harus ngerti, kalo nggak hapal, waduh, luar biasa. Jadi, beda gayanya sama bang Joko.
Bagaimana melakukan workshop dengan pemain lain?
Di sini mereka lebih menginginkan kita melakukan PR kita sendiri. Kalau aku adegannya kebanyakan sama Jake Macapagal, dan dia juga orang asing, selama sebulan juga menjadi turis di Bangok, kita juga satu hotel jadi akhirnya kita sering reading bareng, sering latihan bareng, jadi pas nyampe lokasi kita udah siap aja. Kalau sama pemain lain akhirnya juga jadi temenan juga sih dan sama mereka lumayan sering latihan pas udah mau syuting. Sempet ada tantangan juga, di situ pertama kali gue dalam sebuah proyek dimana harus berinteraksi dengan pemain lain yang bahasanya gue nggak ngerti sama sekali, yaitu bahasa Mandarin dan gue terkesima sama sutradara gue karena dia bisa cepet banget switch antara Inggris, Thailand, sama Mandarin.
Apa pesan yang ingin disampaikan dari film serial ini?
Kalau season pertama bahas tentang ketakutan, di sini bahas tentang harapan. Di season pertama kita memperkenalkan kayak clash antara dunia demit dengan dunia manusia, dimana kita takut dunia bakal kacau balau. Kalau di season kedua ini, ibaratnya kita tahu ada masalah tapi selalu diingatkan lagi bahwa ada harapan. Dunia mungkin tidak sempurna tapi untuk demit maupun manusia, ada harapan bahwa dunia akan jadi lebih baik.
Saat ditemui di Grand Hyatt, Jakarta (12/1/2017) dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Sindonews, Arifin berbagi cerita dan pengalamannya selama menjalani syuting Halfworlds 2. Berikut kutipan wawancaranya.
Proses syutingnya seperti apa?
Waktu itu total kurang lebih dua bulan. Sebulan syuting di Bangkok, sebulan lagi syuting di Indonesia, khususnya Batam. Kalau kenapa di Bangkok karena ceritanya emang pindah dari Jakarta ke Bangkok.
Pengalaman syuting season kedua ini bagaimana?
Dikeroyok sama orang Thailand, tapi untuk film. Jadi kalau di season pertama itu lebih banyak berantem satu lawan satu, kalau di sini ceritanya lebih banyak adegan keroyok, jadi yang berantem dengan beberapa orang sekaligus, empat sampai lima orang sekaligus. Dan, karena mereka maunya gayanya itu sangat elegan dan indah, jadi mereka pengen semuanya terlihat seperti sebuah tarian. Jadi mereka lumayan sering ada adegan cukup panjang, mereka ambil dalam satu kesatuan. Kesulitannya di situ, tapi tim koreografinya mempersiapkan kita dengan cukup matang. Mereka maunya kita nggak terlalu banyak hafal dan latihan tapi siap secara mental. Jadi gerakan tubuh kita seperti apa dan cara kita menghafal gerakan seperti apa, cepat menghafal atau tidak.
Kalau karakter Barata di season kedua ini ada perubahan?
Barata itu ada perbedaan transisi. Dia itu orangnya sangat pendiam dan sangat dingin, sangat kelam orangnya. Di season pertama itu dia sangat dingin, hampir nggak ngomong sama sekali. Kalau di season dua ini kita lebih menghidupkan karakternya. Jadi sama dengan karakter-karakter yang lain, di season pertama semunya didorong oleh ketakutan, di season kedua ini semua didorong oleh harapan. Di sini, kita juga ada flashback sedikit tentang masa mudanya Barata dan juga persahabatannya dengan Kaprey yang diperankan Jake Macapagal. Di sini kita melihat sisi yang berbeda dari si Barata ini. Dia lebih optimistis, lebih sarcasm orangnya. Akunya juga lebih seru sih meraninnya.
Ada perbedaan signifikan antara Halfworlds pertama dan kedua?
Mungkin kalau di season pertama itu perkenalan sebuah budaya, yaitu budaya mistis Indonesia, kalau season kedua ini peleburan budayanya dari berbagai macam budaya. Budaya Taiwan, Filipina, Thailand dan Indonesia. Jadi lebih melebur, mungkin juga lebih cocok dengan inisiatornya, yaitu HBO Asia, jadi mereka ingin mengenalkan budaya dari berbagaio macam negara di Asia. Kalau yang pertama, ibaratnya kelinci percobaan, yuk Indonesia. Sekarang yang kedua, yuk, kita ngasih lihat lebih banyak budaya di Asia.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi kali ini?
Aku pikir tadinya masalah utama itu bahasa ya, tapi ternyata di situ hampir semua bisa ngomong (bahasa) Inggris. Meskipun ada yang ngomong ceplas ceplos tapi mereka bisa dan sangat welcome dengan tamu-tamu dan krunya dari berbagai macam negara dan semuanya juga ngomong bahasa Inggris jadinya semuanya lebih efisien dan lebih cepet karena semua ngikutin standar internasional. Dan yang aku pelajari di situ yang tadinya bikin aku kaget tapi bikin seneng adalah mereka kecepatannya sangat luar biasa dan kayak ninja-ninja gitu. Cepet banget, tiba-tiba udah jadi apa, tiba-tiba udah berubah setnya. Kalau di Indonesia biasanya perpindahan set lama, kalau itu nggak. Baru duduk dan minum sebentar, tiba-tiba ya ready ya. Ya, elah baru istirahat. Tapi, jadinya enjoy dan mereka profesional, cepat sekali kerjanya.
Perbedaan dari segi cerita seperti apa?
Dunianya itu tetap sama, ini dunia antara demit dan manusia. Nah, sekarang ibaratnya kita kasih lihat kota yang baru, sebelumnya Jakarta, sekarang Bangkok. Tapi demit-demit ini tidak diketahui keberadaannya oleh manusia. Yang mereka tahu itu hanya cerita aja sih, mereka nggak tahu itu nyata dan benar ada. Masalahnya kalau di season pertama kita bahas yang namanya the gift, kalau disini kita bahas namanya Chris of Amorana, itu menjadi perebutan semua orang. Kalau Barata, intinya dia mencari tempat yang aman untuk orang yang dia ingin lindungi dan sayangi tapi secara nggak sengaja akhirnya dia terjerembab masalah perebutan Chris of Amorana itu, jadi cerita utamanya itu.
Bagaimana bekerja dengan sutradara baru? Bedanya dengan Joko Anwar (sutradara Halfwords season pertama)?
Kalau gayanya pasti beda. Kalau Joko lebih humoris, kekeluargaan, semuanya di-brief secara detail, ceritanya lebih gelap. Di sini lebih beda, karena si Ekachai (Uekrontham) itu selalu menginginkan keindahan dan balance, feng shui, dan ditambah emang dasar orang Thailand mereka kan gesit, cepat, dan professional, jadi dia mau begitu sampai lokasi, mau itu kru, mau pemain, semua udah harus siap. Kita sebagai pemain di-brief secara garis besar, tapi dia nggak mau terlalu detail. Pokoknya begitu sampe lokasi udah harus siap, dialog udah harus hapal, udah harus ngerti, kalo nggak hapal, waduh, luar biasa. Jadi, beda gayanya sama bang Joko.
Bagaimana melakukan workshop dengan pemain lain?
Di sini mereka lebih menginginkan kita melakukan PR kita sendiri. Kalau aku adegannya kebanyakan sama Jake Macapagal, dan dia juga orang asing, selama sebulan juga menjadi turis di Bangok, kita juga satu hotel jadi akhirnya kita sering reading bareng, sering latihan bareng, jadi pas nyampe lokasi kita udah siap aja. Kalau sama pemain lain akhirnya juga jadi temenan juga sih dan sama mereka lumayan sering latihan pas udah mau syuting. Sempet ada tantangan juga, di situ pertama kali gue dalam sebuah proyek dimana harus berinteraksi dengan pemain lain yang bahasanya gue nggak ngerti sama sekali, yaitu bahasa Mandarin dan gue terkesima sama sutradara gue karena dia bisa cepet banget switch antara Inggris, Thailand, sama Mandarin.
Apa pesan yang ingin disampaikan dari film serial ini?
Kalau season pertama bahas tentang ketakutan, di sini bahas tentang harapan. Di season pertama kita memperkenalkan kayak clash antara dunia demit dengan dunia manusia, dimana kita takut dunia bakal kacau balau. Kalau di season kedua ini, ibaratnya kita tahu ada masalah tapi selalu diingatkan lagi bahwa ada harapan. Dunia mungkin tidak sempurna tapi untuk demit maupun manusia, ada harapan bahwa dunia akan jadi lebih baik.
(alv)