Wastra Indonesia 2017: Perkenalan Berbagai Jenis Kain Nusantara
A
A
A
BELANDA - Sejumlah perancang muda Indonesia memamerkan karya terbaik mereka dalam sebuah peragaan busana, yang digelar Selasa malam, 25 Juli 2017, di Grote Kerk di Den Haag. Acara yang berlangsung pukul 18.00 hingga 22.00 ini menampilkan tenun Gianyar, Bali –songket dan endek— serta batik indigo alam dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta.
Peragaan busana malam itu merupakan puncak dari serangkaian kegiatan bertajuk Wastra Indonesia, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda bekerja sama dengan Rumah Budaya Indonesia pada 24-25 Juli 2017 di Den Haag, Belanda.
Rangkaian acara Wastra Indonesia terdiri atas seminar, pameran serta peragaan busana dengan tujuan untuk memperkenalkan tekstil Indonesia sebagai produk yang layak go global.
Pergelaran peragaan busana di Grote Kerk, yang diawali dengan cocktail party, dihadiri sekitar 320 orang, terdiri atas tamu-tamu undangan dari Duta Besar negara sahabat, kalangan diplomatik, pengamat dan pencinta fashion, perancang busana Belanda, pencinta batik, pebisnis, kalangan akademisi, media massa dan publik Belanda.
Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Den Haag, Ibnu Wahyutomo, membuka acara dengan sambutan singkat.
“Wastra adalah sebuah kata Indonesia, yang berasal dari Bahasa Sanskerta, dan berarti kain atau tekstil. Wastra Indonesia dapat diartikan sebagai kain tradisional, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kekayaan budaya Indonesia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, melahirkan berbagai macam wastra yang khas dan unik di tiap-tiap daerah. Batik, songket dan endek yang akan ditampilkan dalam acara ini juga merupakan bagian dari wastra Indonesia,” kata KUAI dalam siaran pers yang diterima Sindonews.
Ditambahkan bahwa sebelumnya wastra hanya digunakan untuk upacara adat, tapi sekarang sudah dipakai secara luas. Wastra Indonesia kini tak hanya menjadi bagian dalam lingkup tradisional, namun sudah meluas dalam lingkup modern dan mecakup lebih dari sekedar aspek budaya saja.
Usai sambutan, acara dimeriahkan dengan penampilan tari Legong Putih dari Bali, yang mengawali peragaan busana songket dan endek Gianyar. Para hadirin tampak antusias dan mengapresiasi koleksi 4 (empat) designer Bali, yaituTude Togog, Bintang Mira, Ai Syarif dan Tjok Abi—yang diperagakan oleh peragawan dan peragawati profesional, serta anggota Dharma Wanita Persatuan KBRI Den Haag.
Sebelum memasuki sesi peragaan busana batik indigo alam dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta, para hadirin dihibur dengan penampilan tari dan lagu oleh kelompok Suara Indonesia dari Sydney, Australia. Selanjutnya, dua penari dari Yogyakarta muncul dengan menampilkan tarian berjudul Batik Dance, disusul kemudian dengan peragaan busana batik indigo.
Seperti pada peragaan busana songket dan endek Gianyar, anggota Dharma Wanita Persatuan juga turut memperagakan hasil rancangan para designer dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta, disamping peragawan dan peragawati dari Yogyakarta dan Belanda. Koleksi yang ditampilkan Galeri Batik Jawa malam itu meliputi busana-busana untuk empat musim, yaitu semi, panas, gugur dan musim dingin.
Fashion Show Wastra Indonesia mendapat sambutan baik dari para hadirin. “Excellent!” Demikian komentar Duta Besar Austria untuk Kerajaan Belanda, Heidemaria Gürer, yang malam itu hadir bersama putrinya. Gürer mengaku sangat terkesan dengan pergelaran malam itu, yakni peragaan busana yang dipadu dengan penampilan tari-tarian dan musik dari Indonesia. “Sangat bagus. Congratulation!,” ia menambahkan.
Komentar serupa juga disampaikan Lara Peeters dari Rotterdam. “Mooi!”, katanya dalam Bahasa Belanda, yang artinya bagus. “Acaranya, koleksi yang ditampilkan, semuanya bagus,” Lara menambahkan.
Menurut Lara, yang memiliki toko fashion online, sebagian besar busana dari para perancang Bali dan Yogyakarta yang ditampilkan malam itu cukup bagus untuk dipakai di Belanda. “Style-nya modern,” katanya lagi.
Lara juga memuji penyelenggaraan seminar yang dilaksanakan Senin, 24 Juli 2017, di Aula Nusantara KBRI Den Haag.
Seminar, yang juga dihadiri Duta Besar Vietnam untuk Kerajaan Belanda, Ngo Thi Hoa, ini menampilkan dua pembicara, yakni Laretna T. Adishakti dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta, dengan presentasinya berjudul “Jogja, the World Batik City” dan Prof. I. Wayan Dibia, dengan presentasi berjudul “Traces of Gianyar Arts and Woven Fabric.” Bertindak sebagai moderator adalah Sandra Niessen, seorang antropolog dan penulis buku Legacy in cloth: Batak Textiles of Indonesia.
“Seminar ini merupakan suatu pendidikan yang baik untuk kita semua,” kata Lara. “Sebab, lewat seminar ini kita bisa menyaksikan the real story dibalik karya-karya yang diperlihatkan di sini. Menurut saya, acara ini harus dibuat lebih besar, sehingga promosi untuk tekstil Indonesia pun akan makin luas.”
Peserta lain, Inge Dumpel, juga mengaku sangat terkesan dengan penyelenggaraan seminar ini. “I’m impressed! Acara ini sungguh luar biasa. Kontennya bagus, demikian juga para pembicaranya. Mereka menyampaikan presentasi dengan sangat jelas,” kata Inge Dumpel, redaktur pada IndischHistorisch.nl, sebuah laman khusus sejarah berbahasa Belanda. “Dari seminar ini, saya mendapat tambahan pengetahuan yang cukup banyak.”
Peragaan busana malam itu merupakan puncak dari serangkaian kegiatan bertajuk Wastra Indonesia, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda bekerja sama dengan Rumah Budaya Indonesia pada 24-25 Juli 2017 di Den Haag, Belanda.
Rangkaian acara Wastra Indonesia terdiri atas seminar, pameran serta peragaan busana dengan tujuan untuk memperkenalkan tekstil Indonesia sebagai produk yang layak go global.
Pergelaran peragaan busana di Grote Kerk, yang diawali dengan cocktail party, dihadiri sekitar 320 orang, terdiri atas tamu-tamu undangan dari Duta Besar negara sahabat, kalangan diplomatik, pengamat dan pencinta fashion, perancang busana Belanda, pencinta batik, pebisnis, kalangan akademisi, media massa dan publik Belanda.
Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Den Haag, Ibnu Wahyutomo, membuka acara dengan sambutan singkat.
“Wastra adalah sebuah kata Indonesia, yang berasal dari Bahasa Sanskerta, dan berarti kain atau tekstil. Wastra Indonesia dapat diartikan sebagai kain tradisional, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kekayaan budaya Indonesia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, melahirkan berbagai macam wastra yang khas dan unik di tiap-tiap daerah. Batik, songket dan endek yang akan ditampilkan dalam acara ini juga merupakan bagian dari wastra Indonesia,” kata KUAI dalam siaran pers yang diterima Sindonews.
Ditambahkan bahwa sebelumnya wastra hanya digunakan untuk upacara adat, tapi sekarang sudah dipakai secara luas. Wastra Indonesia kini tak hanya menjadi bagian dalam lingkup tradisional, namun sudah meluas dalam lingkup modern dan mecakup lebih dari sekedar aspek budaya saja.
Usai sambutan, acara dimeriahkan dengan penampilan tari Legong Putih dari Bali, yang mengawali peragaan busana songket dan endek Gianyar. Para hadirin tampak antusias dan mengapresiasi koleksi 4 (empat) designer Bali, yaituTude Togog, Bintang Mira, Ai Syarif dan Tjok Abi—yang diperagakan oleh peragawan dan peragawati profesional, serta anggota Dharma Wanita Persatuan KBRI Den Haag.
Sebelum memasuki sesi peragaan busana batik indigo alam dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta, para hadirin dihibur dengan penampilan tari dan lagu oleh kelompok Suara Indonesia dari Sydney, Australia. Selanjutnya, dua penari dari Yogyakarta muncul dengan menampilkan tarian berjudul Batik Dance, disusul kemudian dengan peragaan busana batik indigo.
Seperti pada peragaan busana songket dan endek Gianyar, anggota Dharma Wanita Persatuan juga turut memperagakan hasil rancangan para designer dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta, disamping peragawan dan peragawati dari Yogyakarta dan Belanda. Koleksi yang ditampilkan Galeri Batik Jawa malam itu meliputi busana-busana untuk empat musim, yaitu semi, panas, gugur dan musim dingin.
Fashion Show Wastra Indonesia mendapat sambutan baik dari para hadirin. “Excellent!” Demikian komentar Duta Besar Austria untuk Kerajaan Belanda, Heidemaria Gürer, yang malam itu hadir bersama putrinya. Gürer mengaku sangat terkesan dengan pergelaran malam itu, yakni peragaan busana yang dipadu dengan penampilan tari-tarian dan musik dari Indonesia. “Sangat bagus. Congratulation!,” ia menambahkan.
Komentar serupa juga disampaikan Lara Peeters dari Rotterdam. “Mooi!”, katanya dalam Bahasa Belanda, yang artinya bagus. “Acaranya, koleksi yang ditampilkan, semuanya bagus,” Lara menambahkan.
Menurut Lara, yang memiliki toko fashion online, sebagian besar busana dari para perancang Bali dan Yogyakarta yang ditampilkan malam itu cukup bagus untuk dipakai di Belanda. “Style-nya modern,” katanya lagi.
Lara juga memuji penyelenggaraan seminar yang dilaksanakan Senin, 24 Juli 2017, di Aula Nusantara KBRI Den Haag.
Seminar, yang juga dihadiri Duta Besar Vietnam untuk Kerajaan Belanda, Ngo Thi Hoa, ini menampilkan dua pembicara, yakni Laretna T. Adishakti dari Galeri Batik Jawa Yogyakarta, dengan presentasinya berjudul “Jogja, the World Batik City” dan Prof. I. Wayan Dibia, dengan presentasi berjudul “Traces of Gianyar Arts and Woven Fabric.” Bertindak sebagai moderator adalah Sandra Niessen, seorang antropolog dan penulis buku Legacy in cloth: Batak Textiles of Indonesia.
“Seminar ini merupakan suatu pendidikan yang baik untuk kita semua,” kata Lara. “Sebab, lewat seminar ini kita bisa menyaksikan the real story dibalik karya-karya yang diperlihatkan di sini. Menurut saya, acara ini harus dibuat lebih besar, sehingga promosi untuk tekstil Indonesia pun akan makin luas.”
Peserta lain, Inge Dumpel, juga mengaku sangat terkesan dengan penyelenggaraan seminar ini. “I’m impressed! Acara ini sungguh luar biasa. Kontennya bagus, demikian juga para pembicaranya. Mereka menyampaikan presentasi dengan sangat jelas,” kata Inge Dumpel, redaktur pada IndischHistorisch.nl, sebuah laman khusus sejarah berbahasa Belanda. “Dari seminar ini, saya mendapat tambahan pengetahuan yang cukup banyak.”
(nfl)