Review Film Si Juki The Movie
A
A
A
SI JUKI aslinya lahir sebagai komik strip pada 2011. Respons yang bagus membuat komik kreasi Faza Ibnu Ubaidillah atau Faza Meonk ini dibuat dalam format cetak dan akhirnya layar lebar.
Dalam film, Juki yang antimainstream kini sudah jadi mainstream. Dia menang penghargaan di televisi, program acaranya juga makin banyak disusupi pesan sponsor dan tamu pesanan. Oleh komunitas antimainstream, Juki tak lagi dianggap mewakili komunitas. Sementara itu, ilmuwan Badan Antariksa Seluruh Indonesia bernama Erin (disuarakan Bunga Citra Lestari) menemukan bahwa akan ada asteroid yang jatuh di Indonesia. Kisah Juki dan Erin pada satu titik akan bertemu, membuat hidup Juki jadi kacau.
Faza menyebut, komedi dalam film ini bisa dinikmati seluruh anggota keluarga. Apa yang dikatakannya memang ada benarnya. Anak-anak bisa tertawa melihat karakter Pocong (Babe Chabita) terbungkus kain bermotif bunga-bunga berwarna pink, cerewet, tapi takut dengan si kecoa terbang Coro. Mereka juga bisa tertawa melihat komedi slapstick-nya. Atau terhibur dengan adegan roket terbang dan pesawat ulang-alik. Adapun yang remaja juga bisa terhibur dengan komedi absurd yang terselip di cukup banyak adegan.
Karakter Babeh (Jaja Mihardja) dan Enyak (Maya Wulan) juga lumayan menghibur. Namun, menilik jenis komedi yang banyak muncul dalam Si Juki, film animasi ini sebenarnya dipersembahkan untuk penonton dewasa. Beragam komedi satir dan sarkas menyentil ke sana ke mari. Mengusik karakter pebisnis yang narsis dan bernafsu terjun ke politik, menyindir acara televisi yang penuh pesanan demi rating dan kepuasan pendonor, menyenggol anggota dewan yang terhormat, hingga menyorot lembaga ilmiah yang minim penghargaan.
Kritik sosial menyebar ke mana-mana, sambil tetap menekankan antikemapanan dengan menjadikan kecoa yang binatang hama itu sebagai sahabat sekaligus pahlawan nasional. Namun sayangnya, kecerdasan dalam mengolah humor ini tak diimbangi dengan cara penyampaian cerita yang mulus. Faza bercerita seolah semua penonton sudah mengenal Juki kehidupannya. Satu saja contoh, yaitu tak jelas benar program televisi yang diasuh oleh Juki.
Karakter sahabat Juki, si Pocong dan Coro, juga tak dikenalkan ke penonton dengan cara yang memadai. Hasilnya, karakter utama (plus karakter-karakter lainnya yang sangat banyak) hanya muncul seadanya tanpa penonton dewasa merasa dekat dan peduli dengan karakter tersebut. Selain itu, cerita berjalan terlalu cepat, lompat ke sana ke mari dengan penjelasan yang lagi-lagi tidak memadai. Faza seolah asyik dengan dunianya sendiri hingga lupa ada penonton yang butuh diceritakan dengan runtun.
Seandainya saja nanti ada sekuel Si Juki, Faza tampaknya harus banyak berbenah agar bisa mencipta skenario yang lebih mulus dan enak ditonton.
Dalam film, Juki yang antimainstream kini sudah jadi mainstream. Dia menang penghargaan di televisi, program acaranya juga makin banyak disusupi pesan sponsor dan tamu pesanan. Oleh komunitas antimainstream, Juki tak lagi dianggap mewakili komunitas. Sementara itu, ilmuwan Badan Antariksa Seluruh Indonesia bernama Erin (disuarakan Bunga Citra Lestari) menemukan bahwa akan ada asteroid yang jatuh di Indonesia. Kisah Juki dan Erin pada satu titik akan bertemu, membuat hidup Juki jadi kacau.
Faza menyebut, komedi dalam film ini bisa dinikmati seluruh anggota keluarga. Apa yang dikatakannya memang ada benarnya. Anak-anak bisa tertawa melihat karakter Pocong (Babe Chabita) terbungkus kain bermotif bunga-bunga berwarna pink, cerewet, tapi takut dengan si kecoa terbang Coro. Mereka juga bisa tertawa melihat komedi slapstick-nya. Atau terhibur dengan adegan roket terbang dan pesawat ulang-alik. Adapun yang remaja juga bisa terhibur dengan komedi absurd yang terselip di cukup banyak adegan.
Karakter Babeh (Jaja Mihardja) dan Enyak (Maya Wulan) juga lumayan menghibur. Namun, menilik jenis komedi yang banyak muncul dalam Si Juki, film animasi ini sebenarnya dipersembahkan untuk penonton dewasa. Beragam komedi satir dan sarkas menyentil ke sana ke mari. Mengusik karakter pebisnis yang narsis dan bernafsu terjun ke politik, menyindir acara televisi yang penuh pesanan demi rating dan kepuasan pendonor, menyenggol anggota dewan yang terhormat, hingga menyorot lembaga ilmiah yang minim penghargaan.
Kritik sosial menyebar ke mana-mana, sambil tetap menekankan antikemapanan dengan menjadikan kecoa yang binatang hama itu sebagai sahabat sekaligus pahlawan nasional. Namun sayangnya, kecerdasan dalam mengolah humor ini tak diimbangi dengan cara penyampaian cerita yang mulus. Faza bercerita seolah semua penonton sudah mengenal Juki kehidupannya. Satu saja contoh, yaitu tak jelas benar program televisi yang diasuh oleh Juki.
Karakter sahabat Juki, si Pocong dan Coro, juga tak dikenalkan ke penonton dengan cara yang memadai. Hasilnya, karakter utama (plus karakter-karakter lainnya yang sangat banyak) hanya muncul seadanya tanpa penonton dewasa merasa dekat dan peduli dengan karakter tersebut. Selain itu, cerita berjalan terlalu cepat, lompat ke sana ke mari dengan penjelasan yang lagi-lagi tidak memadai. Faza seolah asyik dengan dunianya sendiri hingga lupa ada penonton yang butuh diceritakan dengan runtun.
Seandainya saja nanti ada sekuel Si Juki, Faza tampaknya harus banyak berbenah agar bisa mencipta skenario yang lebih mulus dan enak ditonton.
(amm)