Fenomena Kue Artis

Sabtu, 13 Januari 2018 - 08:08 WIB
Fenomena Kue Artis
Fenomena Kue Artis
A A A
JAKARTA - Kala sedang santai di rumah atau sedang hectic bekerja di kantor, tidak lengkap rasanya bila tidak ada kudapan untuk disantap. Santapannya pun bervariasi, mulai dari kue, gorengan, manisan, atau yang lainnya. Saat ini masyarakat sedang dihebohkan dengan kehadiran kue artis. Seperti apa kue artis yang sedang populer ini?

Bisnis kue artis ini bermula dari store yang dimiliki Teuku Wisnu. Berbasis oleh-oleh khas daerah, suami dari Shireen Sungkar tersebut membuka dan meresmikan store pertamanya di Malang pada 20 Desember 2014. Dengan merogoh kocek seharga Rp45.000, pembeli sudah bisa membawa pulang Strudel Malang isi buah-buahan. Buah yang diolah adalah varian dari berry, nanas, hingga campuran. Dalam perjalanannya, buah yang digunakan dimodifikasi menjadi rasa ciri khas store,yakni rasa buah apel yang merupakan buah yang berasal dari Malang sendiri. Store Teuku Wisnu ini mendapat respons yang baik dan hits di masyarakat.

Setelah itu, store kue artis yang lainnya mulai bermunculan, seperti Jogja Scrummy milik Dude Herlino dan Medan Napoleon milik Irwansyah. Jogja Scrummy menjual puff pastry dengan komposisi rasa yang bervariasi, mulai dari keju, cokelat, talas, hingga srikaya. Tak jauh berbeda, Medan Napoleon juga menjual puff pastry dan kue napoleon. Store milik Irwansyah ini sering disebut sebagai inspirasi para artis dalam membuka usaha kuliner manis berbasis kue. Suami dari Zaskia Sungkar ini lebih menggunakan rasa yang internasional, seperti red velvet, great chocolate, green tea, dan caramel.

Pada tahun 2017 bisnis kue artis ini semakin berkembang pesat. Muncul nama-nama seperti Surabaya Snowcakemilik Zaskia Sungkar, Bogor Raincake milik Shireen Sungkar, Bandung Makutamilik Laudya Cynthia Bella, Bosang Makassarmilik Ricky Harun, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bisnis kue yang semakin banyak digeluti para artis ini menunjukkan bahwa sebagian besar artis menyadari akan eksistensi mereka di dunia hiburan yang mungkin tidak akan bertahan lama.

Meski berbeda rasa, bentuk, dan harga, tampaknya sejumlah store kue artis ini menggunakan strategi penjualan yang sama. Masing-masing artis hanya fokus menjual kue di satu kota dengan satu ciri khas per store. Tak ketinggalan, mereka juga marak mempromosikan dagangan mereka di media sosial yang ada, seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lainnya. “Mama aku pernah beli. Aku rasa mama beli karena artisnya. Soalnya mama sering banget cerita soal kue artis yang dipromosikan di Instagram. Rasanya enak juga, jadi lumayan sering beli,” kata Dimas Dear, Mahasiswa Psikologi Universitas Pembangunan Jaya.

Meski menggunakan jargon “oleh-oleh khas daerah”, nyatanya kue artis ini bukanlah kue tradisional Indonesia. Kue artis ini merupakan perpaduan kue lokal dan internasional dengan varian rasa yang bisa dibilang mainstream. Bentuk dan model kue yang diciptakan pun bernuansa internasional dan modern.

Kemasyhuran sebagai publik figur membantu menyedot banyak perhatian publik terhadap store milik para artis ini. Nama store yang kekinian, tampilan kue yang menggugah, membuat masyarakat semakin penasaran dengan kehadiran kue artis ini. “Aku beli karena store-nya persis di depan rumah kos. Teman-teman di kampus juga selalu membicarakan itu. Booming banget pokoknya. Untuk rasanya bolehlah,” ucap Rachel Savania, mahasiswi vokasi Institut Pertanian Bogor.

Fenomena kue artis ini tak luput dari pro dan kontra. Ada yang khawatir bahwa kuliner baru ini dapat menggeser kuliner khas daerah yang sesungguhnya. Namun, ada juga yang mewajarkan dan menganggap hal ini merupakan hak sang artis untuk membangun usaha kulinernya. Well, apa pun yang terjadi, semoga kuliner Indonesia semakin maju! (Andre Oliver - GEN SINDO Universitas Indonesia)

Fenomena Kue Artis


Jaga Kepercayaan Konsumen
Fenomena kue artis membuat pangsa pasar kue dan bakery semakin banyak. Hal ini terlihat dari banyaknya artis yang memilih untuk serentak membuka bisnis kue di kota-kota besar, seperti Bandung, Medan, Depok, Bogor, Malang, dan kota-kota lainnya. Bahkan, masyarakat sampai rela antre untuk mencicipi kue artis-artis ini, khususnya pada akhir pekan dan libur nasional. Fenomena ini pun membuat kue artis disebut-sebut sebagai oleh-oleh kekinian khas daerah kota-kota tersebut. Lalu, bagaimana tanggapan bisnis kue daerah mengenai hal ini?

Meski beberapa waktu terakhir banyak bermunculan bisnis kue artis, Lapis Bogor Sangkuriang yang berdiri sejak tahun 2011 tetap mampu mempertahankan eksistensinya sebagai oleh-oleh khas Bogor. Lapis Bogor Sangkuriang tetap digemari oleh pengunjung dari luar kota maupun warga Bogor sendiri. Dengan tetap menjaga kualitas rasa dan pelayanan bagi konsumen, Lapis Bogor Sangkuriang merasa tidak takut dengan adanya fenomena kue artis ini. Hal tersebut juga tidak memengaruhi pendapatan bisnis kue dengan produk andalan lapis talasnya ini.

Selain menjaga kualitas rasa dan pelayanan, Lapis Bogor Sangkuriang juga merasa perlu adanya inovasi untuk tetap menjaga eksistensi bisnis mereka agar konsumen tidak bosan. Hal ini terlihat dari semakin beragamnya varian rasa, jenis kue, dan supplier jajanan yang masuk ke toko. Tak hanya itu, Lapis Bogor Sangkuriang kini juga mengeluarkan produk-produk baru, seperti Crispy Talas dan jajanan ringan khas Bogornya lainnya. “Semakin hari justru semakin ramai. Costumer yang ke sini pun bilang lebih enak Sangkuriang,” kata Rimas Supriyawanti, leader Lapis Bogor Sangkuriang cabang Jalan Sholeh Iskandar, Bogor.

Sama halnya dengan Lapis Bogor Sangkuriang, bisnis kue Amanda juga tetap eksis dan terus menjaga kepercayaan konsumennya. Amanda, bisnis kue asal Bandung dengan produk andalan brownies-nya ini, merasa bahwa fenomena kue artis tidak memengaruhi pendapatan maupun eksistensi dari Amanda sendiri. Untuk tetap menjaga eksistensinya, Amanda terus berinovasi dengan memunculkan produk dan rasa baru secara berkala, yakni setahun sekali. Contohnya saat ini, Amanda mengeluarkan rasa baru, yakni Brownies dengan rasa green tea dan strawberry.

Kedua bisnis kue khas daerah tersebut juga sependapat untuk menganggap bahwa kue artis tidak menjadi saingan mereka dalam berbisnis kue. “Kami tidak menganggapnya sebagai saingan. Sebelum marak fenomena ini, yang jual kue juga sudah banyak,” tutur Anisa Septiana selaku Pramuniaga Amanda cabang Jalan Sudirman, Bogor.

Bisnis kue khas daerah maupun kue artis mempunyai ciri khasnya masing-masing, baik dalam penjualan, promosi, maupun produknya sendiri. Lapis Bogor Sangkuriang dan Amanda lebih memusatkan perhatian pada user experience, yakni bagaimana kedua bisnis kue daerah tersebut tetap menjaga kepercayaan konsumen dengan menjaga kualitas rasa dan pelayanan. Tidak hanya pengalaman konsumen, kedua bisnis kue daerah tersebut juga kini menggunakan media sosial sebagai media promosi, seperti website, Instagram, serta bermitra dengan ojek online.

Adanya fenomena kue artis sekarang ini ternyata tidak memengaruhi eksistensi, penjualan, dan pendapatan dari bisnis kue khas daerah. Bisnis kue, baik kue daerah maupun kue artis memiliki kelebihan, kekurangan, dan ciri khasnya masing-masing. Namun, keduanya juga harus pintar dalam melakukan inovasi, baik dalam hal penjualan, promosi, produk, maupun dari segi pelayanannya. Hal ini tentunya untuk menjaga eksistensi dan kepercayaan dari konsumen. (Nabilla Rizky Ramadhani - GEN SINDO Institut Pertanian Bogor)

Fenomena Kue Artis


Kembali ke Selera Asal
Maraknya kalangan artis yang saat ini membuka usaha kuliner perlu diketahui dari latar belakang artisnya. Rata-rata artis ini membuka usaha kue tersebut bukan dari inisiatif artisnya sendiri, tetapi dari satu korporasi. Fenomena ini cukup menimbulkan pro dan kontra. Akankah kue artis ini menggeser posisi para pedagang kue skala rumah tangga dan kue tradisional?

“Fenomena kue artis ini cukup menarik. Para selebriti akhirnya sadar bahwa kuliner merupakan jenis usaha yang menjanjikan. Namun, satu hal yang tidak mereka sadari adalah, kuliner merupakan bidang yang dinamis dan memerlukan tingkat fokus yang tinggi. Terutama menyangkut dengan quality control standard makanan,” kata Kevindra Soemantri, food & restaurant writer.

Tak ada yang salah dengan para artis yang membuat usaha baru. Hal itu menandakan kesadaran mereka bahwa karier di dunia keartisan tak akan bertahan selamanya. Namun, bicara soal rasa, kue-kue bikinan para artis ini tidak jauh berbeda. Rasanya pun bukan rasa khas kue daerah, melainkan rasa kekinian.

“Walaupun berbisnis kue dan oleh-oleh ini hak siapa saja, tetapi setiap orang mempunyai tanggung jawab untuk menyajikan yang terbaik bagi masyarakat, baik dari segi cita rasanya maupun dari keautentikannya,” ujar Arie Parikesit, CEO & Founder Kelana Rasa Culinary. Menurut Arie, berbisnis oleh-oleh juga harus mempunyai political correctness. Penjual harus tahu di mana dia menempatkan kuenya dan memasarkan kuenya dengan cara dan marketing yang baik dan tidak merusak tatanan budaya yang ada.

Di samping pergeseran orientasi masyarakat dari kebutuhan hidup menjadi gaya hidup, ada hal yang lebih besar di balik semua itu, yakni adanya praktik bisnis monopoli oleh pengusaha besar atau pemilik modal. Pemodal ini berdiri di belakang para artis yang sekadar menjadi satu bagian saja dari mesin produksi bisnis rasa ini. Pemilik modal memanfaatkan maraknya konsumerisme dalam keseharian masyarakat, popularitas sang artis, dan berupaya membentuk satu bangunan perilaku sosial yang diproduksi terus-menerus melalui jaringan dunia maya atau media sosial.

Ditambah lagi kebanyakan artis yang menjual kue ini menggunakan nama daerah sebagai nama brand mereka. Fenomena ini pun menjadi pro dan kontra yang berkembang di kalangan masyarakat. Sebut saja Malang Strudel, Medan Napoleon, Surabaya Snowcake, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal tersebut mungkin saja dilakukan sebagai bagian dari strategi pemasaran. Contohnya Malang Strudel. Strudel adalah kue khas Austria, namun Teuku Wisnu selaku pemilik Malang Strudel menggunakan embel-embel “Malang” sebagai nama brand dari bisnis miliknya itu.

“Bisnis kue artis ini memang dipaksakan menjadi oleh-oleh khas daerah. Saya melihat pada akhirnya nanti bisnis kue artis ini akan sepi, dan masyarakat akan kembali ke selera asal. Kue-kue dan makanan khas daerah akan tetap memiliki penggemarnya sendiri,” tutur Arie.

Penulis buku Jakarta Street Food, Kevindra, menilai kue tradisional akan selalu menjadi juara. “Hal itu mungkin tidak terlihat. Tetapi kalau dihitung, jumlah orang yang membeli kue di pasar tradisional, pasar modern, atau toko kue, akan berkali-kali lipat dari penjualan kue artis,” kata jebolan Masterchef Indonesia Season 1 ini.

Menurut Arie, penjual kue tradisional bebas berinovasi, tetapi dengan tetap menjaga keaslian rasanya. “Silakan berinovasi dari bahan-bahan, kemasan, cara promosi, dan lain sebagainya. Oleh-olehnya mungkin tradisional, tetapi promosinya harus modern. Penjual kue tradisional harus bisa menarik perhatian banyak orang, termasuk anak-anak muda,” papar pemilik akun Instagram @arieparikesit ini.

Hal senada juga disampaikan Kevindra. Dia menyarankan penjual kue tradisional untuk fokus dengan yang dijual dan jangan menurunkan kualitasnya. Selain itu, penjual harus bisa memperluas jangkauan usahanya. Menurut pemilik akun Instagram @kevindrasoemantri ini, ramainya kue artis hanya sementara, karena mereka tidak menaruh hati dan passion mereka di sana. “Tidak apa-apa sekarang kurang populer. Yang penting bukan populer, tetapi bertahan lama,” tuturnya. (Aris Nurjani - GEN SINDO Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.6233 seconds (0.1#10.140)