Politik Virtual Era Demokrasi Digital

Minggu, 11 Februari 2018 - 10:03 WIB
Politik Virtual Era...
Politik Virtual Era Demokrasi Digital
A A A
BUKU ini berawal dari keyakinan Fayakhun Andriadi alias Kun, penulis buku ini, bahwa teknologi digital akan berpengaruh besar terhadap dinamika praktik demokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Diagnosis ini pada awalnya mendapat respons pesimistis dari banyak akademisi, peneliti, dan bahkan para pelaku politik itu sendiri. Namun pada akhirnya fenomena politik dunia menjawab keyakinan Kun.

Obama melenggang ke Gedung Putih karena peran media sosial. Revolusi Arab (Arab Spring) dan reformasi Umbrella Hong Kong juga terjadi karena peran besar media sosial. Di Indonesia, gerakan sosial, hukum, dan politik seperti Solidaritas Koin Prita, Aksi Dukungan 1 Juta Facebooker untuk Bibit-Chandra, juga kemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada Gubernur Jakarta 2012 menjadi contoh nyata peran penting media sosial.

Dari situ rasanya kita semua harus mengamini diagnosis Kun. Demokrasi digital bukan lagi prediksi, tetapi sudah benar-benar menjadi tamu bagi politik Indonesia, siap tidak siap, mau tidak mau, suka tidak suka. Terlebih penetrasi dan pengguna internet Indonesia menduduki peringkat atas di antara negara-negara pengguna internet di dunia.

Untuk lebih meyakinkan kita, Kun menyampaikan prototi pedemokrasi digital. Pertama, adanya partisipasi politik secara online. Dalam case kemenangan Obama dan keterpilihan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta waktu itu, tidak hanya dukungan politik yang diperoleh melalui masifnya kampanye di media sosial, tapi juga dukungan dana kampanye yang tentunya akan sangat mendukung proses pendaftaran hingga keterpilihan pasangan calon.

Kedua, pemanfaatan media sosial sebagai sarana baru penyampaian pendapat, termasuk protes atas kebijakan rezim penguasa. Ini yang banyak terjadi di Timur Tengah: Arab, Turki, Tunisia, dan Libya. Protes secara online pada kelanjutannya mewujud dalam "aksi offline" yang kemudian secara masif mampu meruntuhkan kekuasaan lama. Luar biasa memang hasil kolaborasi "politik online-offline" ini.

Meminjam bahasa David Winston, teknologi digital adalah cara terbaik untuk mengomunikasikan ide-ide, sementara demokrasi adalah cara terbaik untuk mewujudkan ide-ide tersebut. Jadi sangat layak jika rupa politik virtual harus diperhitungkan dalam era demokrasi di gital yang terus berkembang saat ini.

Partai Digital
Ada fenomena menarik di Selandia Baru, yakni munculnya partai baru bernama Partai Internet yang digagas Kim Dot Com. Kim berharap partainya bisa menjadi wujud sebuah gerakan kebebasan internet dan teknologi untuk kepentingan pribadi dan reformasi politik.

Partai Internet mendukung pengurangan pengawasan, reformasi hak cipta dan internet murah serta investasi besar-besaran di bidang pendidikan, riset, dan teknologi, termasuk pendidikan tinggi dan penanggulangan kemiskinan serta pengangguran. Partai Internet bahkan berjanji akan memperkenalkan mata uang digital Selandia Baru yang aman dan terjamin.

Dan atas semua janji itu, Kim mengklaim bahwa partainya telah mendapatkan dukungan awal sebanyak 15.000 pemilih di negara yang secara geografis kecil itu (hal 33-34). Tapi tentu bukan itu yang kita mau ambil pelajarannya untuk negeri kita. Yang perlu dicatat, digitalisasi era internet telah membuka medium yang sangat luas bagi aktivitas politik dan demokrasi. Bahwa —dalam bahasa hiperbolik— media sosial sudah bisa disebut sebagai "pilar kelima demokrasi" setelah eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers.

Ini yang harus kita garis bawahi. Dalam hal ini kehadiran era digital menjadi tantangan tersen diri bagi partai politik. Salah satunya adalah perubahan cara kampanye yang semula konvensional menjadi digital. Ingat, audiens politik saat ini adalah generasi internet. Generasi muda digital yang metode pendekatannya pun harus disesuaikan oleh partai politik.

Mengenai model kampanye khas media sosial yang tidak ditemukan pada cara kerja media massa mainstream, Kun menyitir apa yang disampaikan Anwar Abugaza (2013). Pertama, adanya efek penguatan atas pesan dalam kampanye. Dalam media mainstream, pesan kampanye ini berpotensi hilang tanpa bekas dalam kognisi pemilih. Namun di sini media sosial bisa berfungsi sebagai recall memory atas pesan yang pernah disampaikan.

Kedua, membentuk koneksitas pribadi. Politik yang berdimensi luas dan nyaris mustahil untuk "disentuh" dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan dengan media sosial. Ruang, waktu, dan jarak tidak menjadi kendala lagi. Ketiga, kecanggihan teknologi. Kecanggihan dan kekayaan fitur teknologi dalam media sosial diyakini akan mempermudah penyampaian pesan politik kepada publik.

Keempat, kemampuan merespons isu politik. Hal ini dimungkinkan karena media sosial menyediakan fitur yang memungkinkan parpol atau kandidat menyampaikan klarifikasi. Kelima, pengumpulan informasi. Tak hanya itu, media sosial bisa digunakan untuk mengukur tingkat respons publik terhadap parpol atau kandidat yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi penetapan strategi kampanye dan sosialisasi.

Keenam, pengumpulan donasi. Hal ini terdukung jaringan media sosial yang luas dan tak terbatas. Dan ketujuh, mampu menyentuh pemilih pemula. Faktanya memang media sosial merupakan alat komunikasi, informasi, dan interaksi yang digandrungi generasi Y dan generasi milenial sebagai pelaku politik muda. Tantangan lain dari kehadiran era digital bagi parpol adalah bahwa dukungan yang dibangun di dunia maya harus riil, tidak fiktif.

Digitalisasi di ranah ini memang rawan rekayasa dan pemfiktifan. Namun parpol harus yakin bahwa dalam jangka menengah dan jangka panjang, ketidakjujuran ini akan merugikan parpol itu sendiri. Maka tata kelola parpol era digital harus benar-benar dilakukan dengan baik, rapi, transparan, dan komunikatif. Jika itu mampu diwujudkan, parpol akan memperoleh banyak keuntungan.

Pertama, akuntabilitas parpol. Administrasi parpol dapat dikelola menjadi lebih sistematis, komprehensif, dan dapat meminimalkan penyimpangan. Kedua, transparansi parpol. Teknologi digital memiliki kemampuan untuk merekam dan melakukan check and re-check yang tinggi. Monitoring terhadap akuntabilitas keuangan dan pemenuhan prosedur dapat dilakukan dengan lebih baik.

Ketiga, integrasi operasionalisasi parpol. Dengan sistem digital, tata kelola parpol tidak lagi dilakukan secara manual dan terpisah sehingga koordinasi dapat dilakukan dengan lebih baik dan real time online. Lapisan-lapisan pada jalur birokrasi parpol bisa di-minimize sehingga operasional parpol menjadi efektif dan efisien.

Ketiga hal di atas tentu akan sangat mendukung demokratisasi parpol. Dan jika parpol pintar mengolahnya menjadi keunggulan komparatif yang bisa diketahui publik, ia akan menuntun sebuah partai digital untuk memperoleh simpati dan dukungan dari para pemilih yang digital pula. Ketika parpol dan konstituen sudah menjadikan digitalisasi teknologi sebagai "roh" dalam perilaku politiknya, maka diagnosis Kun yang disebut di awal tulisan ini menjadi nyata. Selamat datang politik virtual, selamat datang demokrasi digital.

Fajar S Pramono
alumnus UNS Surakarta
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1184 seconds (0.1#10.140)