Merentang Sejarah Tangerang Tempo Dulu
A
A
A
TANGERANG - Riwayat Tangerang sebagai sebuah kota ternyata cukup panjang. Merentang jauh sejak berabad-abad silam.
Tangerang bukan hanya daerah lintasan. Namun, kota yang sangat diperhitungkan. Pada abad ke-5, kota yang terbelah oleh Sungai Cisadane ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dan menjadi pusat dari perkembangan teknologi, kebudayaan, dan agamanya.
Memasuki abad ke-8, saat Kerajaan Tarumanegara runtuh, telah berdiri satu kekuasaan kerajaan baru Tatar Sunda yang berpusat di Galuh. Tangerang menjadi bagian dari kekuasaan baru itu.
Menurut catatan seorang inspektur pajak di Malaka, Tome Pires dalam kitabnya Summa Oriental menyebutkan, sejak 1513 pelabuhan di Tangerang sudah dikenal karena perdagangan rempahrempahnya. Saat Tatar Sunda jatuh pada 1579, kota yang kini dikenal karena penjara, pabrik, dan Bandara Soekarno Hatta itu, menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Maulana Yusuf.
Saat itu, Tangerang yang juga dikenal Tamgaram oleh Tome Pires telah menjadi kota niaga besar dengan komoditi perdagangan seperti yang ada di sejumlah pelabuhan-pelabuhan besar lainnya.
Meski telah dikenal lama, tugu Tangerang atau Tengger baru didirikan pada 1654 di Jalan Otista. Namun, saat kekuasaan kolonialisme Belanda, keberadaan tugu itu dihancurkan. Riwayat ini terungkap dalam perhelatan Koffee Morning bertajuk Tangerang Tempo Doeloe di Novotel, Kota Tangerang, Kamis (15/2). Bayu, sejarawan Tangerang mengatakan, keberadaan tugu tersebut sangat penting. Selain bermakna historis berdirinya Tangerang, juga mengingat jasa leluhur.
“Tugu itu dibangun Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa dan ditandatangani Beliau. Tetapi dihancurkan Belanda karena menghalangi pengerjaan Jalan Anyer- Panurukan,” ungkap Bayu.
Bayu menjelaskan, kisah tentang tugu yang hilang tersebut hingga kini banyak yang tidak mengetahui. Apalagi tidak ada upaya dari pemerintah daerah membangun kembali apa yang dirintis pendirinya. “Masih banyak segudang kisah sejarah Tangerang yang tidak diketahui, bahkan oleh warga Tangerang sendiri. Sehingga wajar jika banyak warga Tangerang kehilangan identitasnya,” katanya.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, ada juga tokoh Tangerang yang dilupakan. Namanya Raden Aria Wangsakara atau dikenal dengan Nyi Mas Melati karena namanya yang harum. Selain Nyi Mas, ada juga tokoh Tangerang lainnya yang tidak dikenal. Dia adalah pendiri pencak atau jurus silat tertua yang ada di Tangerang bernama Raden Sera. Kemudian ada Soleh Ali dan lainnya.
“Saya bangga di Tangerang ada Nyi Mas Melati. Itu bukan nama sebenarnya. Kemudian Soleh Ali yang keturunannya masih ada di Kali Pasir, Pasar Anyar, dan di Jalan Perintis,” kata Bayu.
Masih di era kolonial saat meletusnya pemberontakan rakyat pertama yang digawangi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926/1927, warga Tangerang juga menyumbang tenaga besar.
Miing, budayawan Tangerang, melihat peristiwa itu sebagai corak asli warga Tangerang bersatu dalam menghadapi penjajah. Tanpa melihat ideologi dan agama yang harus dijaga. “Kalau saya melihatnya dari sisi budaya. Di mana merah dan hijau masih bersatu, dan sangat mencerminkan masyarakat Tangerang yang dinamis dan harmonis dalam satu tatanan masyarakat,” katanya.
Felix, Kabag Humas Pemkot Tangerang yang juga menjadi pembicara dalam perhelatan itu mengatakan, sebagai generasi 60-an, dirinya masih merekam dengan baik jalannya peristiwa tersebut. (Hasan Kurniawan)
Tangerang bukan hanya daerah lintasan. Namun, kota yang sangat diperhitungkan. Pada abad ke-5, kota yang terbelah oleh Sungai Cisadane ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara dan menjadi pusat dari perkembangan teknologi, kebudayaan, dan agamanya.
Memasuki abad ke-8, saat Kerajaan Tarumanegara runtuh, telah berdiri satu kekuasaan kerajaan baru Tatar Sunda yang berpusat di Galuh. Tangerang menjadi bagian dari kekuasaan baru itu.
Menurut catatan seorang inspektur pajak di Malaka, Tome Pires dalam kitabnya Summa Oriental menyebutkan, sejak 1513 pelabuhan di Tangerang sudah dikenal karena perdagangan rempahrempahnya. Saat Tatar Sunda jatuh pada 1579, kota yang kini dikenal karena penjara, pabrik, dan Bandara Soekarno Hatta itu, menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Banten di bawah kepemimpinan Maulana Yusuf.
Saat itu, Tangerang yang juga dikenal Tamgaram oleh Tome Pires telah menjadi kota niaga besar dengan komoditi perdagangan seperti yang ada di sejumlah pelabuhan-pelabuhan besar lainnya.
Meski telah dikenal lama, tugu Tangerang atau Tengger baru didirikan pada 1654 di Jalan Otista. Namun, saat kekuasaan kolonialisme Belanda, keberadaan tugu itu dihancurkan. Riwayat ini terungkap dalam perhelatan Koffee Morning bertajuk Tangerang Tempo Doeloe di Novotel, Kota Tangerang, Kamis (15/2). Bayu, sejarawan Tangerang mengatakan, keberadaan tugu tersebut sangat penting. Selain bermakna historis berdirinya Tangerang, juga mengingat jasa leluhur.
“Tugu itu dibangun Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa dan ditandatangani Beliau. Tetapi dihancurkan Belanda karena menghalangi pengerjaan Jalan Anyer- Panurukan,” ungkap Bayu.
Bayu menjelaskan, kisah tentang tugu yang hilang tersebut hingga kini banyak yang tidak mengetahui. Apalagi tidak ada upaya dari pemerintah daerah membangun kembali apa yang dirintis pendirinya. “Masih banyak segudang kisah sejarah Tangerang yang tidak diketahui, bahkan oleh warga Tangerang sendiri. Sehingga wajar jika banyak warga Tangerang kehilangan identitasnya,” katanya.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, ada juga tokoh Tangerang yang dilupakan. Namanya Raden Aria Wangsakara atau dikenal dengan Nyi Mas Melati karena namanya yang harum. Selain Nyi Mas, ada juga tokoh Tangerang lainnya yang tidak dikenal. Dia adalah pendiri pencak atau jurus silat tertua yang ada di Tangerang bernama Raden Sera. Kemudian ada Soleh Ali dan lainnya.
“Saya bangga di Tangerang ada Nyi Mas Melati. Itu bukan nama sebenarnya. Kemudian Soleh Ali yang keturunannya masih ada di Kali Pasir, Pasar Anyar, dan di Jalan Perintis,” kata Bayu.
Masih di era kolonial saat meletusnya pemberontakan rakyat pertama yang digawangi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1926/1927, warga Tangerang juga menyumbang tenaga besar.
Miing, budayawan Tangerang, melihat peristiwa itu sebagai corak asli warga Tangerang bersatu dalam menghadapi penjajah. Tanpa melihat ideologi dan agama yang harus dijaga. “Kalau saya melihatnya dari sisi budaya. Di mana merah dan hijau masih bersatu, dan sangat mencerminkan masyarakat Tangerang yang dinamis dan harmonis dalam satu tatanan masyarakat,” katanya.
Felix, Kabag Humas Pemkot Tangerang yang juga menjadi pembicara dalam perhelatan itu mengatakan, sebagai generasi 60-an, dirinya masih merekam dengan baik jalannya peristiwa tersebut. (Hasan Kurniawan)
(nfl)