Review Film Yowis Ben: Menguji Kekuatan Jawa
A
A
A
INI adalah kisah klasik kegalauan remaja. Bedanya, penonton diajak menyimaknya lewat kisah anak-anak di Malang yang berdialog dengan bahasa khas Jawa Timuran. Setelah bioskop nasional didatangi film-film rasa lokal dari Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, sekarang giliran Jawa Timur yang menerobos ke depan.
Adalah YouTuber muda Bayu Skak yang biasa mengunggah videonya dalam bahasa Jawa mencoba peruntungan menembus perfilman nasional. Proyek percobaannya ini diberi judul Yowis Ben, yang artinya biar saja. Seperti film atmosfer lokal lainnya yang masuk bioskop nasional, Yowis Ben 95% menggunakan bahasa Jawa dalam dialognya. Bayu memerankan karakter bernama sama, seorang anak SMA sederhana berwajah ndeso.
Dia populer di sekolah, tetapi bukan karena prestasi, apalagi tampang kece, melainkan karena julukan "Pecel Boy" yang disandangnya. Nama itu didapat karena dia ikut membantu ibunya berjualan pecel bungkus yang dibawa ke sekolah. Dengan hidup dan wajah pas-pasan, sayangnya selera dan ambisi Bayu sangat tinggi. Dia naksir cewek cakep di sekolah dan tentu saja langsung ditolak mentah-mentah di depan kelas.
Tidak kapok, dia malah naksir cewek yang lebih cantik lagi, namanya Susan (Cut Meyriska). Lagi-lagi, Susan cuma memandangnya sebelah mata. Satu-satunya sikap manis yang ditunjukkan Susan adalah waktu dia berharap diskon pecel dari Bayu.
Sebal tidak pernah dianggap serius, Bayu lalu bertekad melakukan pembuktian. Dia mengajak sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), untuk membuat band supaya bisa populer. Mereka lalu menggandeng Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim) yang paling ganteng demi melancarkan misi.
Tema soal butuh pengakuan, pencarian jati diri, dan mengejar cinta adalah tema yang paling sering muncul dalam film remaja. Jadi, penonton yang rajin menonton film remaja bertema serupa pasti sudah bisa menebak kisah Yowis Ben dari awal hingga akhir. Kisah ini pun dengan sangat rapi dan baik diceritakan lewat skenario buatan Bagus Bramanti (Dear Nathan, Talak 3, Kartini), Gea Rexy (Dear Nathan), dan Bayu Skak. Ceritanya masih juga dibumbui pesan-pesan moral, mulai jangan bolos sekolah, rajin ibadah, hingga toleransi antarumat beragama dan antarkelas sosial.
Meski disampaikan dengan rapi dan baik, karena temanya sudah terlalu klise dan disampaikan dalam batas hiburan (hingga ceritanya tidak perlu dalam-dalam amat), cerita tentu bukan andalan utama film ini. Senjata utamanya adalah unsur-unsur dan gimmick lokal yang menghiasi sepanjang film. Ada warung pecel dengan para pelanggan kakek-kakek yang genit (diperankan pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo dan Cak Sapari).
Ada siaran radio dengan berita harga sayur-mayur di pasar-pasar tradisional. Ada suasana kampung pinggiran sungai, dan tentu saja yang tidak mungkin terlewatkan adalah kata-kata makian khas Jawa Timur. Atmosfer lokal inilah yang menjadi jualan utama film ini. Menyaksikan Bayu Skak, Joshua Suherman, dan pendatang baru Tutus Thomson berakting cukup apik dengan dialog dan logat Jawa medok adalah sebuah hiburan tersendiri.
Meski guyonan mereka kadang terasa "garing" atau terlalu slapstick nan klise, juga kurang liar, cukup bisa termaafkan. Senjata andalan ini tentu akan ampuh berfungsi bagi penonton dari etnis Jawa. Namun, tantangan sesungguhnya adalah apakah lelucon mereka bisa berhasil menghibur golongan di luar kategori tersebut, utamanya penonton di Jakarta yang beragam.
Kalau berhasil, sudah pasti Bayu akan meluncurkan film keduanya yang lagi-lagi berbahasa Jawa. Jika gagal, produser Starvision pasti akan berpikir ulang lagi untuk membawa film berbahasa daerah ke jaringan bioskop nasional.
Sekadar catatan, meski Uang Panai (2016) dan Silariang (2017) sukses meraih jumlah penonton di atas 100.000, film-film dari Sulawesi atau Makassar lainnya tidak sanggup mendekati angka tersebut. Sebagai film komersial berbahasa Jawa penuh, Yowis Ben tentu juga akan mengalami ujian ketangguhan yang sama di rimba perfilman nasional.
Adalah YouTuber muda Bayu Skak yang biasa mengunggah videonya dalam bahasa Jawa mencoba peruntungan menembus perfilman nasional. Proyek percobaannya ini diberi judul Yowis Ben, yang artinya biar saja. Seperti film atmosfer lokal lainnya yang masuk bioskop nasional, Yowis Ben 95% menggunakan bahasa Jawa dalam dialognya. Bayu memerankan karakter bernama sama, seorang anak SMA sederhana berwajah ndeso.
Dia populer di sekolah, tetapi bukan karena prestasi, apalagi tampang kece, melainkan karena julukan "Pecel Boy" yang disandangnya. Nama itu didapat karena dia ikut membantu ibunya berjualan pecel bungkus yang dibawa ke sekolah. Dengan hidup dan wajah pas-pasan, sayangnya selera dan ambisi Bayu sangat tinggi. Dia naksir cewek cakep di sekolah dan tentu saja langsung ditolak mentah-mentah di depan kelas.
Tidak kapok, dia malah naksir cewek yang lebih cantik lagi, namanya Susan (Cut Meyriska). Lagi-lagi, Susan cuma memandangnya sebelah mata. Satu-satunya sikap manis yang ditunjukkan Susan adalah waktu dia berharap diskon pecel dari Bayu.
Sebal tidak pernah dianggap serius, Bayu lalu bertekad melakukan pembuktian. Dia mengajak sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), untuk membuat band supaya bisa populer. Mereka lalu menggandeng Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim) yang paling ganteng demi melancarkan misi.
Tema soal butuh pengakuan, pencarian jati diri, dan mengejar cinta adalah tema yang paling sering muncul dalam film remaja. Jadi, penonton yang rajin menonton film remaja bertema serupa pasti sudah bisa menebak kisah Yowis Ben dari awal hingga akhir. Kisah ini pun dengan sangat rapi dan baik diceritakan lewat skenario buatan Bagus Bramanti (Dear Nathan, Talak 3, Kartini), Gea Rexy (Dear Nathan), dan Bayu Skak. Ceritanya masih juga dibumbui pesan-pesan moral, mulai jangan bolos sekolah, rajin ibadah, hingga toleransi antarumat beragama dan antarkelas sosial.
Meski disampaikan dengan rapi dan baik, karena temanya sudah terlalu klise dan disampaikan dalam batas hiburan (hingga ceritanya tidak perlu dalam-dalam amat), cerita tentu bukan andalan utama film ini. Senjata utamanya adalah unsur-unsur dan gimmick lokal yang menghiasi sepanjang film. Ada warung pecel dengan para pelanggan kakek-kakek yang genit (diperankan pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo dan Cak Sapari).
Ada siaran radio dengan berita harga sayur-mayur di pasar-pasar tradisional. Ada suasana kampung pinggiran sungai, dan tentu saja yang tidak mungkin terlewatkan adalah kata-kata makian khas Jawa Timur. Atmosfer lokal inilah yang menjadi jualan utama film ini. Menyaksikan Bayu Skak, Joshua Suherman, dan pendatang baru Tutus Thomson berakting cukup apik dengan dialog dan logat Jawa medok adalah sebuah hiburan tersendiri.
Meski guyonan mereka kadang terasa "garing" atau terlalu slapstick nan klise, juga kurang liar, cukup bisa termaafkan. Senjata andalan ini tentu akan ampuh berfungsi bagi penonton dari etnis Jawa. Namun, tantangan sesungguhnya adalah apakah lelucon mereka bisa berhasil menghibur golongan di luar kategori tersebut, utamanya penonton di Jakarta yang beragam.
Kalau berhasil, sudah pasti Bayu akan meluncurkan film keduanya yang lagi-lagi berbahasa Jawa. Jika gagal, produser Starvision pasti akan berpikir ulang lagi untuk membawa film berbahasa daerah ke jaringan bioskop nasional.
Sekadar catatan, meski Uang Panai (2016) dan Silariang (2017) sukses meraih jumlah penonton di atas 100.000, film-film dari Sulawesi atau Makassar lainnya tidak sanggup mendekati angka tersebut. Sebagai film komersial berbahasa Jawa penuh, Yowis Ben tentu juga akan mengalami ujian ketangguhan yang sama di rimba perfilman nasional.
(amm)