Adaptasi yang Sangat Sulit pada Awal Pernikahan
A
A
A
JAKARTA - Septi Peni Wulandani tidak pernah berpikir kalau konsep dan didikan yang diterapkan sang suami terhadapnya bakal melahirkan sebuah komunitas besar, seperti Institut Ibu Profesional.
Kalau harus mengenang awal “kerja kerasnya” untuk menjadi ibu seutuhnya, wanita kelahiran Salatiga ini malah suka tertawa getir. “Tidak pernah terlintas akan seperti ini. Dulu yang ada menangis terus. Saya berpikir, dulu kuliah nggak gini-gini banget deh. Tapi setelah jadi ibu, kenapa berat sekali?” kenangnya, seraya tertawa.
Septi mengaku, dulu sempat mengalami kekagetan yang luar biasa. Adaptasi selama delapan tahun pada awal pernikahannya dengan Dodik tidaklah mudah. Namun, pada akhirnya dia bisa menerima kondisi ini dan menjalaninya dengan tulus. “Bagi saya, bahagia itu bukan semua berjalan sesuai dengan yang kita ingin kan, tapi bagaimana kita merespons kehidupan dengan baik,” ungkapnya.
Tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Septi kini justru merasakan manfaat dari pola didikan sang suami, setelah anak-anaknya mulai mandiri. Apalagi dia juga bisa memberi manfaat bagi orang lain dengan membuat Komunitas Ibu Profesional. Septi memandang diri sendiri sebagai perempuan biasa.
Ibu biasa selayaknya ibu dan perempuan lain. Hanya, dia beruntung memiliki suami luar biasa serta anak-anak yang tidak kalah hebat. Septi dulu adalah seorang ahli gizi, tapi sejak kuliah sudah tertarik dengan pendidikan anak-anak. Pada masa mudanya, wanita 43 tahun ini bahkan pernah menjadi penyiar radio.
“Ternyata yang terpakai setelah jadi ibu adalah materi nonkuliah saya,” ujarnya. Setelah komunitas yang dibangunnya besar dan harus mengalami regenerasi, Septi berharap di setiap daerah kelak ada tiga Women University. “Kalau ini bisa terjadi, mimpi saya tuntas di Ibu Profesional,” kata sarjana jurusan Kesehatan Masyarakat ini.
Selain itu, rupanya masih ada komunitas lain yang ingin dibangun Septi. Seiring umurnya yang kian ber tambah, ia ingin mendirikan Jelita (Jelang Lima Puluh Tahun) dan Alita (Atas Lima Puluh Tahun).
Tujuannya agar tidak ada gap antara mertua dan menantu, juga nenek dengan cucu. “Impian saya bisa terus bermanfaat sampai batas usia saya. Karena bagi kami, mendidik satu ibu sama dengan mendidik satu generasi,” pungkas Septi. (Ananda Nararya)
Kalau harus mengenang awal “kerja kerasnya” untuk menjadi ibu seutuhnya, wanita kelahiran Salatiga ini malah suka tertawa getir. “Tidak pernah terlintas akan seperti ini. Dulu yang ada menangis terus. Saya berpikir, dulu kuliah nggak gini-gini banget deh. Tapi setelah jadi ibu, kenapa berat sekali?” kenangnya, seraya tertawa.
Septi mengaku, dulu sempat mengalami kekagetan yang luar biasa. Adaptasi selama delapan tahun pada awal pernikahannya dengan Dodik tidaklah mudah. Namun, pada akhirnya dia bisa menerima kondisi ini dan menjalaninya dengan tulus. “Bagi saya, bahagia itu bukan semua berjalan sesuai dengan yang kita ingin kan, tapi bagaimana kita merespons kehidupan dengan baik,” ungkapnya.
Tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Septi kini justru merasakan manfaat dari pola didikan sang suami, setelah anak-anaknya mulai mandiri. Apalagi dia juga bisa memberi manfaat bagi orang lain dengan membuat Komunitas Ibu Profesional. Septi memandang diri sendiri sebagai perempuan biasa.
Ibu biasa selayaknya ibu dan perempuan lain. Hanya, dia beruntung memiliki suami luar biasa serta anak-anak yang tidak kalah hebat. Septi dulu adalah seorang ahli gizi, tapi sejak kuliah sudah tertarik dengan pendidikan anak-anak. Pada masa mudanya, wanita 43 tahun ini bahkan pernah menjadi penyiar radio.
“Ternyata yang terpakai setelah jadi ibu adalah materi nonkuliah saya,” ujarnya. Setelah komunitas yang dibangunnya besar dan harus mengalami regenerasi, Septi berharap di setiap daerah kelak ada tiga Women University. “Kalau ini bisa terjadi, mimpi saya tuntas di Ibu Profesional,” kata sarjana jurusan Kesehatan Masyarakat ini.
Selain itu, rupanya masih ada komunitas lain yang ingin dibangun Septi. Seiring umurnya yang kian ber tambah, ia ingin mendirikan Jelita (Jelang Lima Puluh Tahun) dan Alita (Atas Lima Puluh Tahun).
Tujuannya agar tidak ada gap antara mertua dan menantu, juga nenek dengan cucu. “Impian saya bisa terus bermanfaat sampai batas usia saya. Karena bagi kami, mendidik satu ibu sama dengan mendidik satu generasi,” pungkas Septi. (Ananda Nararya)
(nfl)