Dewi Lestari Rilis Novel Terbaru Aroma Karsa, Kulminasi
A
A
A
JAKARTA - Penyanyi yang juga penulis novel terlaris Tanah Air, Dewi Dee Lestari, kembali menelurkan karya novel berjudul Aroma Karsa.
Lewat lahirnya karya novel terbarunya yang bercerita mengenai aroma dan penciuman ini merupakan titik kulminasi dari perjalanan panjang Dewi Dee Lestari sebagai penulis novel laris. Seperti apa? Buku novel Aroma Karsa merupakankaryake- 12pe rem puan bernama asli Dewi Lestari Simangunsong ini.
Sebelumnya buku-buku laris lain yang merupakan karya emas dari Dewi Dee antara lain serial Supernova (enam novel), Perahu Kertas (2004), Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008), Madre (2011), dan Kepingan Supernova (2017). Sebagai penulis, Dee menyatakan bahwa Aroma Karsa adalah buah pelajaran yang ia petik dari 11 karya buku yang pernah ia tulis sebelumnya.
“Aroma Karsa bisa dibilang adalah kulminasi dari semua yang sudah saya kerjakan sebelum nya. Setiap buku yang sudah terbit membawa pelajaran atau ilmu-ilmu baru yang coba saya terapkan di buku ke-12 ini,” ujar Dewi Dee Lestari kepada KORAN SINDO seusai jumpa pers launching buku novel Aroma Karsa di Resto Le Seminyak, Cipete, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Menurut penulis kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 ini, Aroma Karsa berbeda dengan novel-novel yang ia tulis sebelumnya karena deskripsi cerita yang didasarkan kekuatan aroma. Ia sendiri baru mulai menyadari kekuatan indera penciuman ketika menulis Madre pada 2009.
Itulah mengapa dalam buku ini akan banyak di temui istilah-istilah molekuler dunia perwangian, yang tidak awam didengar. “Saya gunakan istilah molekuler bukan karena inspirasi, tapi karena kebutuhan cerita. Dalam dunia perwangian, senyawa kimia memang menjadi sebuah standar karena hampir semua orang di laboratorium yang saya temui adalah sarjana kimia,” paparnya.
Dari segi judul yakni ada kata “Aroma” dan “Karsa”, novel se tebal 700 halaman ini memang menyorot soal indera penciuman manusia. Namun, Dee meraciknya dengan banyak unsur, yakni petualangan, legenda kuno dari zaman Majapahit, keluarga, hingga tentu saja per cintaan.
“Ide tentang aroma ini sudah lama memanggil-manggil saya hingga Januari 2017 saya mulai menuliskan secara simul tan dengan proses riset. Buat saya, penciuman sangat luas dan bisa dimulai dari mana saja. Saya memilih tentang aroma yang bisa mengendalikan kehendak. Kehendak itu karsa makanya saya pakai untuk judul.
Dari situ saya berpikir ada aroma yang mengendalikan kehendak manusia, lalu muncul berbagai la pisan drama hingga berkembang,” kata Dee, menjelaskan ide penulisan novel terbarunya ini. Dalam proses menulis novel Aroma Karsa, Dee sampai mendatangi banyak tempat serta melaku kan hal tidak terduga.
Selama sembilan bulan semua aneka bau pun dirisetnya, hing ga menuntutnya les parfum di Singapura. Di Negeri Singa ini, Dee bahkan nekat membaui muntahan paus atau yang di kenal dengan ambergris . Ibu dua anak ini awalnya tidak percaya bahwa bau amis itu bisa digunakan sebagai bahan pembuatan parfum.
“Waktu di Singapura saya baca buku tentang teori wewangian. Sampai di sana, itu yang saya cari, bahan-bahan yang menarik. Sampai di sana (Singapura) itu yang saya cari bahan-bahan yang menarik. Contohnya, ambergris yang ber asal dari muntahan paus, ma halnya minta ampun. Itu muntahan ikan paus, mengering selama berapa puluh tahun di laut, kemudian terbawa ke pinggir pantai. Itu bisa dilelang, laku Rp500 juta. Itu (ambergris) dibeli oleh rumah-rumah parfum besar,” tutur Dee.
Ibu kandung dari Keenan Avalokita Kirana dan Atisha Prajna Tiara ini pun meng ungkapkan meracik parfum seperti menciptakan komposisi musik, yakni ada not yang tidak boleh salah. Demikian juga dalam meracik parfum, yaitu sudah ada kelompok wewangian yang memang karakternya tidak boleh salah.
“Saat mencium muntahan paus, sayaenggak ngertiya, siapa yang pertama kali kepikiran untuk mencampurkan sebagai bahan parfum karena baunya amis banget. Tapi, ketika dicampur dengan sebuah formula, mun tahan paus ini bisa meng ikat sebuah bau yang sangat wangi,” sambung Dee.
Seusai berurusan dengan muntahan paus, istri Reza Gunawan ini mendatangi Tem pat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang . Banyak pengalaman luar biasa didapat mantan personel trio grup vokal Rida Sita Dewi (RSD) ini saat berada di antara sampah-sampah yang membukit.
“Jadi waktu ke Bantar gebang, saya melihat kehidupan di sana seperti apa di namikanya, yang ternyata kompleks. Salah satunya ada warung nasi jaraknya 3 meter dari zona pembuangan akhir yang paling bau. Ada ibu jual tahu goreng, tapi tidak ditutup plastik. Yang saya surprise, tidak ada lalat. Ini aneh bin ajaib karena ternyata lalatnya sudah lari ke sampah-sampah di zona pembuangan,” kenang Dee.
Selama menulis Aroma Karsa, ibu dua anak ini benarbenar menantang dirinya dalam memperkaya perbendaharaan kata untuk mendeskripsikan bau. “Kosakata untuk membaui ini saya harus mencarinya sebanyak mungkin karena kalau dipakai berulang-ulang, akan membosankan. Jadi saya menggali bahasa Indonesia, perumpamaan, metafora, yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya,” ujarnya.
Tema besar aroma dan penciuman, diakui Dee, sangat me nantang dirinya dalam menulis, bahkan begitu sulit ketim bang hanya memberi narasi visual. “Sensasi yang dibangkitkan dari penciuman ini menyeluruh ya, jadi saat menuliskan harus bermain-main dengan kata, imajinasi, ketimbang visual yang bisa dilihat dengan mata. Dari situ, saya menyadari fiksi-fiksi yang selama ini saya baca jarang mengungkapkan sesuatu lewat penciuman. Inilah yang membuat saya tertantang bagaimana mem buat fiksi tema penciuman,” tuntas dia.
Novel berjudul Aroma Karsa yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka itu bisa didapatkan mulai 16 Maret di seluruh toko buku di Indonesia.
Novel ini berkisah tentang tokoh utama pria bernama Jati Wesi dan seorang perempuan bernama Tanaya Suma. Mereka merupakan tokoh sentral yang memiliki hiperosmia atau kemampuan membaui yang berlebih. Dalam novel ini, keduanya akan berkolaborasi menggunakan kemampuannya itu untuk mencari Puspa Karsa, bunga sakti yang mampu mengatur kehendak, meski keberadaannya menjadi rahasia. (Thomasmanggalla)
Lewat lahirnya karya novel terbarunya yang bercerita mengenai aroma dan penciuman ini merupakan titik kulminasi dari perjalanan panjang Dewi Dee Lestari sebagai penulis novel laris. Seperti apa? Buku novel Aroma Karsa merupakankaryake- 12pe rem puan bernama asli Dewi Lestari Simangunsong ini.
Sebelumnya buku-buku laris lain yang merupakan karya emas dari Dewi Dee antara lain serial Supernova (enam novel), Perahu Kertas (2004), Filosofi Kopi (2006), Rectoverso (2008), Madre (2011), dan Kepingan Supernova (2017). Sebagai penulis, Dee menyatakan bahwa Aroma Karsa adalah buah pelajaran yang ia petik dari 11 karya buku yang pernah ia tulis sebelumnya.
“Aroma Karsa bisa dibilang adalah kulminasi dari semua yang sudah saya kerjakan sebelum nya. Setiap buku yang sudah terbit membawa pelajaran atau ilmu-ilmu baru yang coba saya terapkan di buku ke-12 ini,” ujar Dewi Dee Lestari kepada KORAN SINDO seusai jumpa pers launching buku novel Aroma Karsa di Resto Le Seminyak, Cipete, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Menurut penulis kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 ini, Aroma Karsa berbeda dengan novel-novel yang ia tulis sebelumnya karena deskripsi cerita yang didasarkan kekuatan aroma. Ia sendiri baru mulai menyadari kekuatan indera penciuman ketika menulis Madre pada 2009.
Itulah mengapa dalam buku ini akan banyak di temui istilah-istilah molekuler dunia perwangian, yang tidak awam didengar. “Saya gunakan istilah molekuler bukan karena inspirasi, tapi karena kebutuhan cerita. Dalam dunia perwangian, senyawa kimia memang menjadi sebuah standar karena hampir semua orang di laboratorium yang saya temui adalah sarjana kimia,” paparnya.
Dari segi judul yakni ada kata “Aroma” dan “Karsa”, novel se tebal 700 halaman ini memang menyorot soal indera penciuman manusia. Namun, Dee meraciknya dengan banyak unsur, yakni petualangan, legenda kuno dari zaman Majapahit, keluarga, hingga tentu saja per cintaan.
“Ide tentang aroma ini sudah lama memanggil-manggil saya hingga Januari 2017 saya mulai menuliskan secara simul tan dengan proses riset. Buat saya, penciuman sangat luas dan bisa dimulai dari mana saja. Saya memilih tentang aroma yang bisa mengendalikan kehendak. Kehendak itu karsa makanya saya pakai untuk judul.
Dari situ saya berpikir ada aroma yang mengendalikan kehendak manusia, lalu muncul berbagai la pisan drama hingga berkembang,” kata Dee, menjelaskan ide penulisan novel terbarunya ini. Dalam proses menulis novel Aroma Karsa, Dee sampai mendatangi banyak tempat serta melaku kan hal tidak terduga.
Selama sembilan bulan semua aneka bau pun dirisetnya, hing ga menuntutnya les parfum di Singapura. Di Negeri Singa ini, Dee bahkan nekat membaui muntahan paus atau yang di kenal dengan ambergris . Ibu dua anak ini awalnya tidak percaya bahwa bau amis itu bisa digunakan sebagai bahan pembuatan parfum.
“Waktu di Singapura saya baca buku tentang teori wewangian. Sampai di sana, itu yang saya cari, bahan-bahan yang menarik. Sampai di sana (Singapura) itu yang saya cari bahan-bahan yang menarik. Contohnya, ambergris yang ber asal dari muntahan paus, ma halnya minta ampun. Itu muntahan ikan paus, mengering selama berapa puluh tahun di laut, kemudian terbawa ke pinggir pantai. Itu bisa dilelang, laku Rp500 juta. Itu (ambergris) dibeli oleh rumah-rumah parfum besar,” tutur Dee.
Ibu kandung dari Keenan Avalokita Kirana dan Atisha Prajna Tiara ini pun meng ungkapkan meracik parfum seperti menciptakan komposisi musik, yakni ada not yang tidak boleh salah. Demikian juga dalam meracik parfum, yaitu sudah ada kelompok wewangian yang memang karakternya tidak boleh salah.
“Saat mencium muntahan paus, sayaenggak ngertiya, siapa yang pertama kali kepikiran untuk mencampurkan sebagai bahan parfum karena baunya amis banget. Tapi, ketika dicampur dengan sebuah formula, mun tahan paus ini bisa meng ikat sebuah bau yang sangat wangi,” sambung Dee.
Seusai berurusan dengan muntahan paus, istri Reza Gunawan ini mendatangi Tem pat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang . Banyak pengalaman luar biasa didapat mantan personel trio grup vokal Rida Sita Dewi (RSD) ini saat berada di antara sampah-sampah yang membukit.
“Jadi waktu ke Bantar gebang, saya melihat kehidupan di sana seperti apa di namikanya, yang ternyata kompleks. Salah satunya ada warung nasi jaraknya 3 meter dari zona pembuangan akhir yang paling bau. Ada ibu jual tahu goreng, tapi tidak ditutup plastik. Yang saya surprise, tidak ada lalat. Ini aneh bin ajaib karena ternyata lalatnya sudah lari ke sampah-sampah di zona pembuangan,” kenang Dee.
Selama menulis Aroma Karsa, ibu dua anak ini benarbenar menantang dirinya dalam memperkaya perbendaharaan kata untuk mendeskripsikan bau. “Kosakata untuk membaui ini saya harus mencarinya sebanyak mungkin karena kalau dipakai berulang-ulang, akan membosankan. Jadi saya menggali bahasa Indonesia, perumpamaan, metafora, yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya,” ujarnya.
Tema besar aroma dan penciuman, diakui Dee, sangat me nantang dirinya dalam menulis, bahkan begitu sulit ketim bang hanya memberi narasi visual. “Sensasi yang dibangkitkan dari penciuman ini menyeluruh ya, jadi saat menuliskan harus bermain-main dengan kata, imajinasi, ketimbang visual yang bisa dilihat dengan mata. Dari situ, saya menyadari fiksi-fiksi yang selama ini saya baca jarang mengungkapkan sesuatu lewat penciuman. Inilah yang membuat saya tertantang bagaimana mem buat fiksi tema penciuman,” tuntas dia.
Novel berjudul Aroma Karsa yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka itu bisa didapatkan mulai 16 Maret di seluruh toko buku di Indonesia.
Novel ini berkisah tentang tokoh utama pria bernama Jati Wesi dan seorang perempuan bernama Tanaya Suma. Mereka merupakan tokoh sentral yang memiliki hiperosmia atau kemampuan membaui yang berlebih. Dalam novel ini, keduanya akan berkolaborasi menggunakan kemampuannya itu untuk mencari Puspa Karsa, bunga sakti yang mampu mengatur kehendak, meski keberadaannya menjadi rahasia. (Thomasmanggalla)
(nfl)