Review Film Submergence: Cinta dalam Gelap

Jum'at, 11 Mei 2018 - 22:00 WIB
Review Film Submergence:...
Review Film Submergence: Cinta dalam Gelap
A A A
SUBMERGENCE menggabungkan hal-hal yang tak biasa dalam sebuah film; mulai dari drama romantis, atmosfer thriller, hingga sains dan seni intelektual.

Bersiaplah untuk dimanja kisah cinta, sambil berpikir tentang dunia. Ini adalah film Eropa, hasil kolaborasi Prancis dan Spanyol. Materinya diambil dari novel berjudul sama karya JM Ledgard. Duduk sebagai pengarah film, ada Wim Wenders (Buena Vista Social Club, Pina, The Salt of the Earth), sutradara Jerman yang diakui sebagai salah satu figur utama dalam New German Cinema.

Dengan catatan ini, penonton memang harus bersiap untuk sebuah kisah khas Eropa, yang dikenal punya gaya bercerita yang lambat, sering tidak linier, dan memancing penonton untuk banyak berpikir. Nah yang disebut terakhir ini menjadi adegan pembuka Submergence, yang langsung membombardir penonton dengan fakta-fakta dan analisis seputar dunia bawah laut.

Namun, Wenders juga tak mau berlama-lama membuat kening penonton berkerut di awal film. Sebagai gantinya, lebih dari separuh bagian pertama film dipakai untuk menggambarkan pertemuan romantis antara Dani (Alicia Vikander) dan James (James McAvoy). Dani adalah seorang profesor biomatematika, yang sebentar lagi akan menjalani misi penyelaman ke dasar laut Samudera Atlantik. Tujuannya mencari jawaban atas eksistensi manusia di bumi, yang kemungkinan bisa dipakai untuk kehidupan manusia di luar planet ini.

Sementara James adalah seorang agen rahasia Inggris. Sama seperti Dani, dia juga tengah menunggu waktu untuk sebuah misi besar; ditugaskan ke Somalia untuk memata-matai kelompok ekstremis. Dalam bingkai sebuah resor tersembunyi di Normandia (wilayah Prancis bagian utara), yang keindahan alamnya bak di dunia antah berantah (syuting dilakukan di Faroe Island), keduanya untuk pertama kali bertemu. Hanya bermodal sapaan "hai" dari James saat Dani tengah berjalan santai di pantai yang sepi, keduanya dengan cepat menemukan ketertarikan.

Hari itu juga, mereka berjanji kencan makan siang. Dalam kencan tersebut, Dani yang lebih banyak bercerita tentang misi dan obsesinya. Begitu lekatnya Dani dengan dunia intelektual yang digelutinya, sampai-sampai James menyinggungnya, "Kamu enggak pernah jadi orang miskin ya?" Saat James mengungkit tentang perang dan pergolakan di dunia seberang, Dani pun berargumen bahwa konfliknya terlalu rumit untuk dipahami. "Tapi kita tetap bisa berbuat sesuatu," kata James yang tak sepenuhnya jujur tentang pekerjaannya.

Dia bahkan berbohong kepada Dani dengan mengatakan dirinya akan pergi ke Kenya, bukan Somalia. Meski berbeda dunia, pertemuan singkat keduanya (mungkin cuma 2-3 hari) begitu membekas. Perpisahan ditutup dengan kesedihan dan optimisme bahwa mereka akan segera bertemu lagi selepas misi masing-masing.

Namun nyatanya, James ditahan pihak ekstremis, dan Dani yang harusnya berkonsentrasi untuk masuk dalam kapal selam jadi galau setengah mati karena kekasihnya itu sama sekali tak bisa dihubungi. Sampai di sini, atmosfer cinta romantis dalam Submergence langsung berubah. Berganti menjadi thriller saat James ternyata disekap dalam sebuah rumah gelap yang seperti bekas reruntuhan. Tak ada jendela sama sekali, kecuali lubang sebesar lengan manusia dan celah pintu tempat sinar matahari mengintip masuk.

Sambil melihat James bolik-balik dimasukkan ke ruangan gelap dan diinterogasi, dalam dunia James yang sama sekali tak diketahui dan dipahami Dani, sutradara Wenders menyajikan kepada penonton tentang kontradiksi para ekstremis muslim. Mereka berbuat baik kepada James atas nama agama, tapi juga berbuat jahat kepada James dan para penduduk (termasuk memaksa James untuk menjadi muslim) juga atas dasar agama.

Kemiskinan dan kebodohan juga melingkupi rakyat Somalia, membuat dokter yang merawat James, dr Shadid (Alexander Siddig), menjadi frustrasi tapi juga merasa tak mampu berbuat apa-apa. Meski penuh konflik dan kontradiksi, juga tak terlalu stereotipe dalam memotret muslim, bagian "dunia James" yang ingin disampaikan film ini tampak blur atau tak jelas benar. Ini bisa dilihat pada keputusan James jelang akhir film, yang jadi seperti mementahkan wacana-wacana yang sebelumnya dilontarkan.

Singkat kata, lagi-lagi penduduk "negara ketiga" hanya masuk ke dalam film untuk dijadikan korban. Ini berbeda dengan "dunia Dani" yang digambarkan dengan cukup apik. Kegelisahannya, antara tak mampu berkomunikasi dengan James dan takut mati di dasar laut, terpotret dengan jelas. Meski begitu, secara keseluruhan, Wenders memang tak terlalu lancar bercerita saat kedua protagonis ini terentang jarak. Saat keduanya bersama di resor terpencil, keromantisan sangat terpancar, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa visual, membuat emosi penonton ikut hanyut.

Namun, saat keduanya terpisah, dan atmosfer film terbelah antara thriller dan drama, Submergence jadi terasa pincang dan linglung. Ditambah keputusan Wenders untuk mengakhiri kisah ini dengan interpretasi terserah penonton, bersiap saja untuk berpikir keras meresapi pesan-pesan yang disampaikan.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2182 seconds (0.1#10.140)