Populasi Turun 30%, Bandar Djakarta Hilangkan Menu Hiu

Minggu, 13 Mei 2018 - 21:30 WIB
Populasi Turun 30%, Bandar Djakarta Hilangkan Menu Hiu
Populasi Turun 30%, Bandar Djakarta Hilangkan Menu Hiu
A A A
TANGERANG - Restoran seafood Bandar Djakarta, Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, dan seluruh cabangnya menghentikan penjualan hiu sebagai menu utamanya.

Bussines Development Manager Shandra S Januar mengatakan, sejak pertama dibuka, pada 2001 lalu, Bandar Djakarta memiliki menu spesial daging hiu goreng dan bakar. Namun menu itu disetop, pada 2014.

"Dari 2001 awal buka sampai 2014 kita masih jual hiu. Dari sisi penjual yang beli ada saja. Tapi angkanya tidak signifikan," kata Shandra, kepada Sindonews di Bandar Djakarta Alam Sutera, Minggu (13/5/2018).

Pengolahan hiu, diakuinya membutuhkan penanganan khusus. Sebab, daging hiu memiliki tingkat keamisan yang tinggi. Hal ini, membuat hiu spesial. Untuk itu, sebelum digoreng, daging harus dibumbui.

"Daging hiu butuh pengolahan khusus, karena sangat amis. Makanya kita goreng dan bakar. Sebelum digorang, daging hiu kita bumbuin dulu. Kita hanya menjual daging hiu, tidak siripnya," kata dia.

Setelag beberapa tahun menjual hidangan hiu, masuk World Wide Fund for Nature (WWF) dengan kampanyenya Save Our Sharks (SOSharks), bahwa populasi hiu di Indonesia dan dunia terancam kepunahan.

"Kota ini industri seafood, seperti kepiting, yang betina tidak bisa dijual. Secara bisnis, kita melihat itu benar. Dengan tidak adaya hiu di laut, akan berdampak pada ekosistem lain. Ini awalnya," sambungnya.

Akhirnya, pada 2015, Bandar Djakarta mulai menyetop pasokan hiu dari tempat pelelangan ikan dan menghilangkannya dalam sajian menu. Namun, baru 2017, pihaknya mendeklarasikannya secara umum.

"Akhirnya kita deklarasi menyetop olahan hiu pada 2017 dan langsung aksi langsung, bersama WWF dengan tagline, hiu di laut bukan di mangkuk, sebagai bagian dari kampanye," kata dia.

Koordinator Bycatch and Shark WWF Indonesia Dwi Ariyoga Gautama menyatakan, kampanye setop makan hiu di Indonesia, merupakan bagian dari kampanye menyelamatkan populasi hiu.

"Kenapa hiu penting? Sebagai lembaga lingkungan, populasi hiu terus mengalami penurunan hingga 35% di dunia, dan di Indonesia sendiri, sebanyak 29 spesies hiu yang ada terancam punah," ujar dia.

Salah satu penyebab kepunahan itu adalah penangkapan nelayan untuk dijadikan olahan makanan, dan dijual dalam jumlah besar ke luar negeri. Hal ini, terjadi karena tidak adanya hukum yang melindungi hiu.

"Di Asia, hiu banyak dikonsumsi siripnya. Kalau daging, lebih ke Afrika dan Amerika latin. Sedang di Indonesia, campur. Tapi paling banyak daging. Untuk sirip, hanya ada di kota-kota besar saja," sambungnya.

Dia menjelaskan, konsumsi sirip hiu terbesar di Indonesia, berada di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Dalam tahun 2017, kebutuhan kedua kota besar itu, terhadap ikan hiu, mencapai angka lebih 12 ton.

"Selain di Jakarta, konsumsi sirup ikan hiu terbesar juga ada di Surabaya, Medan, dan Makassar. Kalau daging hiu, semua bisa ditemukan disetiap kota Indonesia, karena harga perkilonya Rp4.000—9.000," papar dia.

Sedang sirip hiu, harganya dipasaran bisa mencapai Rp2,4 juta perkilo. Bagian tubuh hiu lainnya yang banyak dicari masyarakat adalah minyaknya yang sangat berlimpah, dan dijual Rp300.000 perbotolnya.

"Hqmpir 80% produk hiu dari Indonesia, dibawa ke Hongkong. Produknya dibawa dengan menggunakan kapal. Produk hiu turunannya banyak. Mulai ikan asing, daging asap, hingga kerupuk," kata dia.
(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7381 seconds (0.1#10.140)