Menelisik Jejak Peradaban Barus
A
A
A
Di Barus, manusia modern semakin menyadari tak memadainya bahasa sebagai sarana untuk membawa mereka kembali kepada dirinya.
Di keheningan Barus, harmoni dan keselarasan berpadu sempurna, pikiran dan hati, tubuh dan ruh. Berdialog dengan Sang Pencipta, membuka pikiran dan hatiku serta membawaku pada keheningan. Sepenggal kenangan haru itu tercatat di buku fotografi Barus : Kota Emporium dan Peradaban Nusantara. Buku fotografi karya fotografer KORAN SINDO Hasiholan Siahaan XIV ini resmi diluncurkan kemarin di Institut Francais d’Indonesie Jakarta.
Dalam buku setebal 100 halaman ini sang fotografer berhasil mengabadikan dengan detail cerita Barus lewat jepretan kameranya. Buku ini tak hanya memajang foto, tetapi juga kaya cerita dan narasi besar tentang Barus dulu, sekarang, dan akan datang. Selain mendapatkan langsung foto jejak tanaman kamper (bahan baku pembuatan ka pur barus dan kemenyan), sejumlah situs berupa makam tua, benteng Portugis, dan aktivitas masyarakat hingga potensi sumber daya alam dan wisata di Barus, pria yang akrab dengan sapaan Olan ini juga berhasil menjepret sebuah tiang tertimbun dalam pasir pantai yang diyakini masyarakat setempat dan peneliti sebagai bekas tiang pelabuhan kuno di Kota Barus.
“Dalam buku ini banyak sekali foto yang menceritakan ke ja yaan Barus di masa lampau. Lewat foto-foto ini sekaligus saya membawa pesan bahwa potensi dan nilai se jarah Barus tentunya tak cukup hanya di kenang, tapi juga perlu di jaga dan di lestarikan,” kata Olan di sela pameran foto dan peluncuran buku karyanya kemarin.
Menurut Olan, sebagai fotografer ada kebanggaan ketika dirinya mampu mencerita kan keindahan alam dan budaya luhur Nusantara melalui sebuah gambar, dalam hal ini foto. Olan pun berharap, melalui bukunya ini ada kesadaran yang lebih tinggi dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan budaya yang dimiliki.
“Apalagi jauh sebelum Nusantara ini ada, Kota Barus sudah lama dikenal, terutama oleh para pelaut-pelaut yang kala itu mencari rempah-rempah. Karena memang, menurut riwayatnya dulu, Kota Barus ini dikenal sebagai pusat tanaman kamper atau kemenyan untuk bahan baku kapur barus,” kata Olan.
Sebelumnya Olan juga telah meluncurkan buku fotografi berjudul Danau Toba dan Mangongkal Holi serta bersama dua fotografer lainnya membuat buku Eksotika Bromo. “Ini (pameran dan peluncuran buku) sebagai wujud kreatif saya sebagai fotografer profesional yang sudah berkecimpung di media nasional sejak 10 tahun silam,” ujar Olan.
Pameran foto dan peluncuran buku Barus yang didukung Institut Francais d’ Indonesia dan lembaga Komunitas Seni dan Budaya Toba ini di hadiri Duta Besar Prancis untuk Indonesia Jean-Charles Berthonnet, Wakil Ketua DPD Damayanti Lubis, Ketua Umum Kowani Giwo Rubiyanto Wiyogo, dan sejumlah tokoh nasional. Acara ini juga dirangkai dengan pameran foto dan diskusi tentang Barus.
Dalam sesi diskusi yang di moderatori redaktur KORAN SINDO Nuriwan Tri Hendrawan, tampil empat narasumber, yakni arkeolog Universitas Indonesia (UI) Ghilman Asa lini, pemerhati Barus Irawan Santoso, anggota DPR dapil Tapanuli Tengah dan Sibolga yang juga Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang, dan Bupati Tapanuli Tengah (Tap teng) Bakhtiar Sibarani.
“Tak cukup mengandalkan pemerintah daerah untuk mem bangkitkan kembali kejayaan Barus seperti waktu dulu. Butuh bantuan pemerintah pusat. Apalagi Presiden Joko Widodo sudah pernah datang ke Barus dan langsung meresmikan tugu ‘Barus, Titik Nol Peradaban Islam’ pada 2017 lalu,” kata Bupati Tap teng Bakhtiar Sibarani dalam diskusi.
Direktur PT Astragraphia Tbk Mangara Pangaribuan selaku sponsor buku Barus, Kota Emporium dan Peradaban Nusantara menyampaikan apresia si luar biasa atas terbitnya buku fotografi karya Hasiholan Siahaan XIV tersebut. “Saya mewakili segenap tim dari Astragraphia Document Solution juga mengucapkan selamat kepada penulis yang telah mengurai begitu dalam mengenai salah satu situs peradaban yang memiliki kejayaan luar biasa di masa lalu ini,” tuturnya.
Menurut Mangara, Hasiholan adalah sosok yang memiliki passion dan pengamatan luar biasa dalam meneliti hingga berbaur dengan masyarakat di Barus. Karena itu buku ini telah berbicara dengan sendirinya kepada pembaca mengenai kejayaan Barus sebagai peradaban yang bukan hanya memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, tetapi juga menjadi diorama sosial yang heterogen karena pluralitasnya.
Mangara menjelaskan, secara garis besar, plot buku ini meng ambil dua sudut pandang apik yang memadukan Barus sebagai pivot peradaban Nusantara, yang banyak dimanfaatkan tokoh-tokoh terkenal kala itu. Sebut saja Ibnu Sina yang memanfaatkan kekayaan alam Barus untuk ilmu kedokterannya.
Di sisi lain sudut pandang Barus sebagai wilayah dengan peradaban yang plural menjadi keunikan tersendiri untuk merefleksikan kondisi sosial Indonesia hingga kini. Masih kata Mangara, Astragraphia Document Solution merasa terhormat bisa menjadi bagian dari buku ini. Ini juga selaras dengan visi pihaknya sebagai perusahaan yang memiliki budaya per usahaan untuk bermanfaat bagi bangsa dan peri kehidupan (valuable to thenation and life).
Dia berharap buku ini menjadi salah satu pegangan untuk mereka yang menginginkan pembelajaran sejarah, tetapi dengan gaya bahasa yang mengalun ditambah hasil fotografi yang begitu hidup. “Ke depan semoga dengan buku ini pula Barus akan mulai menggaung kembali kejayaannya, yaitu masa lalu sebagai refleksi di era kontemporer,” ujarnya.
Titik Nol Peradaban Islam
Pada abad ketujuh Masehi, agama Islam telah ada di Barus, kota tua yang terletak di pesisir Kabupaten Tapteng, Sumatera Utara. Barus menjadi pintu masuk Islam di Indonesia, jauh lebih tua dari sejarah Wali Songo, penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14. Bahkan pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo langsung meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam di Kota Barus.
Literatur sejarah juga banyak menyebutkan bahwa aga ma Islam di Indonesia pertama kali hadir di Barus. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ketujuh. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat pada tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, me nguatkan adanya komunitas muslim pada masa itu. Barus berjarak 290 km dari Kota Medan, ibu kota Sumatera Utara.
Jika ditempuh melalui jalur darat memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan. Dari Kota Sibolga, butuh waktu perjalanan darat sekitar 2 jam saja. Barus merupakan tempat bersejarah dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata religi di Sumatera Utara. Sayangnya masih banyak masyarakat yang belum mengenal Barus karena minimnya informasi mengenai kota tua tersebut.
Padahal Barus banyak menyimpan benda-benda kuno bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas dan perak, prasasti, dan fragmen arca. Selain itu terdapat makam aulia dan ulama penebar Islam di Indonesia abad ketujuh silam. Di antaranya Makam Papan Tinggi, Makam Mahligai, Makam Syekh Mahdun, Makam Syekh Ibrahim Syah, Makam Tuan Ambar, Makam Tuan Syekh Badan Batu.
Posisi Barus yang terletak di pinggir pantai barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan lautan lepas Samudra Hindia membuatnya dikenal oleh dunia pada abad ketujuh. Berkat hasil hutannya, kamper, kemenyan, dan emas, Barus menjadi kota yang kerap di kun jungi banyak saudagar dari seluruh dunia.
Nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu lewat Hamzah Fansyuri, penyair sufi terkenal. Barus juga dikenal dengan nama Pancur, kemudian diubah ke dalam bahasa Arab menjadi Fansur. Dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu yang ditulis arkeolog Prancis Claude Guillot dibantu beberapa penulis lainnya disebutkan, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak abad keenam Masehi.
Ada juga pandangan lain menyebutkan bahwa Barus adalah pelabuhan tertua di Indonesia. Dalam karya geografis Ptolemaeus tercatat lima pulau yang di namakan “Barousai”, nama yang dikaitkan dengan Barus oleh para ahli sejarah.
Nama Barus sudah lama muncul apabila d iterima pendapat bahwa “Barousai” adalah Barus. Kemudian nama ini tercatat dalam sejarah Di nasti Liang, Raja Tiongkok Selatan yang memerintah pada abad keenam. Setelah itu Barus selalu disebut-sebut sampai sekarang dan kerap dihubungkan dengan kamper. (Hendri Irawan)
Di keheningan Barus, harmoni dan keselarasan berpadu sempurna, pikiran dan hati, tubuh dan ruh. Berdialog dengan Sang Pencipta, membuka pikiran dan hatiku serta membawaku pada keheningan. Sepenggal kenangan haru itu tercatat di buku fotografi Barus : Kota Emporium dan Peradaban Nusantara. Buku fotografi karya fotografer KORAN SINDO Hasiholan Siahaan XIV ini resmi diluncurkan kemarin di Institut Francais d’Indonesie Jakarta.
Dalam buku setebal 100 halaman ini sang fotografer berhasil mengabadikan dengan detail cerita Barus lewat jepretan kameranya. Buku ini tak hanya memajang foto, tetapi juga kaya cerita dan narasi besar tentang Barus dulu, sekarang, dan akan datang. Selain mendapatkan langsung foto jejak tanaman kamper (bahan baku pembuatan ka pur barus dan kemenyan), sejumlah situs berupa makam tua, benteng Portugis, dan aktivitas masyarakat hingga potensi sumber daya alam dan wisata di Barus, pria yang akrab dengan sapaan Olan ini juga berhasil menjepret sebuah tiang tertimbun dalam pasir pantai yang diyakini masyarakat setempat dan peneliti sebagai bekas tiang pelabuhan kuno di Kota Barus.
“Dalam buku ini banyak sekali foto yang menceritakan ke ja yaan Barus di masa lampau. Lewat foto-foto ini sekaligus saya membawa pesan bahwa potensi dan nilai se jarah Barus tentunya tak cukup hanya di kenang, tapi juga perlu di jaga dan di lestarikan,” kata Olan di sela pameran foto dan peluncuran buku karyanya kemarin.
Menurut Olan, sebagai fotografer ada kebanggaan ketika dirinya mampu mencerita kan keindahan alam dan budaya luhur Nusantara melalui sebuah gambar, dalam hal ini foto. Olan pun berharap, melalui bukunya ini ada kesadaran yang lebih tinggi dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan budaya yang dimiliki.
“Apalagi jauh sebelum Nusantara ini ada, Kota Barus sudah lama dikenal, terutama oleh para pelaut-pelaut yang kala itu mencari rempah-rempah. Karena memang, menurut riwayatnya dulu, Kota Barus ini dikenal sebagai pusat tanaman kamper atau kemenyan untuk bahan baku kapur barus,” kata Olan.
Sebelumnya Olan juga telah meluncurkan buku fotografi berjudul Danau Toba dan Mangongkal Holi serta bersama dua fotografer lainnya membuat buku Eksotika Bromo. “Ini (pameran dan peluncuran buku) sebagai wujud kreatif saya sebagai fotografer profesional yang sudah berkecimpung di media nasional sejak 10 tahun silam,” ujar Olan.
Pameran foto dan peluncuran buku Barus yang didukung Institut Francais d’ Indonesia dan lembaga Komunitas Seni dan Budaya Toba ini di hadiri Duta Besar Prancis untuk Indonesia Jean-Charles Berthonnet, Wakil Ketua DPD Damayanti Lubis, Ketua Umum Kowani Giwo Rubiyanto Wiyogo, dan sejumlah tokoh nasional. Acara ini juga dirangkai dengan pameran foto dan diskusi tentang Barus.
Dalam sesi diskusi yang di moderatori redaktur KORAN SINDO Nuriwan Tri Hendrawan, tampil empat narasumber, yakni arkeolog Universitas Indonesia (UI) Ghilman Asa lini, pemerhati Barus Irawan Santoso, anggota DPR dapil Tapanuli Tengah dan Sibolga yang juga Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang, dan Bupati Tapanuli Tengah (Tap teng) Bakhtiar Sibarani.
“Tak cukup mengandalkan pemerintah daerah untuk mem bangkitkan kembali kejayaan Barus seperti waktu dulu. Butuh bantuan pemerintah pusat. Apalagi Presiden Joko Widodo sudah pernah datang ke Barus dan langsung meresmikan tugu ‘Barus, Titik Nol Peradaban Islam’ pada 2017 lalu,” kata Bupati Tap teng Bakhtiar Sibarani dalam diskusi.
Direktur PT Astragraphia Tbk Mangara Pangaribuan selaku sponsor buku Barus, Kota Emporium dan Peradaban Nusantara menyampaikan apresia si luar biasa atas terbitnya buku fotografi karya Hasiholan Siahaan XIV tersebut. “Saya mewakili segenap tim dari Astragraphia Document Solution juga mengucapkan selamat kepada penulis yang telah mengurai begitu dalam mengenai salah satu situs peradaban yang memiliki kejayaan luar biasa di masa lalu ini,” tuturnya.
Menurut Mangara, Hasiholan adalah sosok yang memiliki passion dan pengamatan luar biasa dalam meneliti hingga berbaur dengan masyarakat di Barus. Karena itu buku ini telah berbicara dengan sendirinya kepada pembaca mengenai kejayaan Barus sebagai peradaban yang bukan hanya memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, tetapi juga menjadi diorama sosial yang heterogen karena pluralitasnya.
Mangara menjelaskan, secara garis besar, plot buku ini meng ambil dua sudut pandang apik yang memadukan Barus sebagai pivot peradaban Nusantara, yang banyak dimanfaatkan tokoh-tokoh terkenal kala itu. Sebut saja Ibnu Sina yang memanfaatkan kekayaan alam Barus untuk ilmu kedokterannya.
Di sisi lain sudut pandang Barus sebagai wilayah dengan peradaban yang plural menjadi keunikan tersendiri untuk merefleksikan kondisi sosial Indonesia hingga kini. Masih kata Mangara, Astragraphia Document Solution merasa terhormat bisa menjadi bagian dari buku ini. Ini juga selaras dengan visi pihaknya sebagai perusahaan yang memiliki budaya per usahaan untuk bermanfaat bagi bangsa dan peri kehidupan (valuable to thenation and life).
Dia berharap buku ini menjadi salah satu pegangan untuk mereka yang menginginkan pembelajaran sejarah, tetapi dengan gaya bahasa yang mengalun ditambah hasil fotografi yang begitu hidup. “Ke depan semoga dengan buku ini pula Barus akan mulai menggaung kembali kejayaannya, yaitu masa lalu sebagai refleksi di era kontemporer,” ujarnya.
Titik Nol Peradaban Islam
Pada abad ketujuh Masehi, agama Islam telah ada di Barus, kota tua yang terletak di pesisir Kabupaten Tapteng, Sumatera Utara. Barus menjadi pintu masuk Islam di Indonesia, jauh lebih tua dari sejarah Wali Songo, penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14. Bahkan pada 2017 lalu, Presiden Joko Widodo langsung meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam di Kota Barus.
Literatur sejarah juga banyak menyebutkan bahwa aga ma Islam di Indonesia pertama kali hadir di Barus. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ketujuh. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat pada tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, me nguatkan adanya komunitas muslim pada masa itu. Barus berjarak 290 km dari Kota Medan, ibu kota Sumatera Utara.
Jika ditempuh melalui jalur darat memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan. Dari Kota Sibolga, butuh waktu perjalanan darat sekitar 2 jam saja. Barus merupakan tempat bersejarah dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata religi di Sumatera Utara. Sayangnya masih banyak masyarakat yang belum mengenal Barus karena minimnya informasi mengenai kota tua tersebut.
Padahal Barus banyak menyimpan benda-benda kuno bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas dan perak, prasasti, dan fragmen arca. Selain itu terdapat makam aulia dan ulama penebar Islam di Indonesia abad ketujuh silam. Di antaranya Makam Papan Tinggi, Makam Mahligai, Makam Syekh Mahdun, Makam Syekh Ibrahim Syah, Makam Tuan Ambar, Makam Tuan Syekh Badan Batu.
Posisi Barus yang terletak di pinggir pantai barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan lautan lepas Samudra Hindia membuatnya dikenal oleh dunia pada abad ketujuh. Berkat hasil hutannya, kamper, kemenyan, dan emas, Barus menjadi kota yang kerap di kun jungi banyak saudagar dari seluruh dunia.
Nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu lewat Hamzah Fansyuri, penyair sufi terkenal. Barus juga dikenal dengan nama Pancur, kemudian diubah ke dalam bahasa Arab menjadi Fansur. Dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu yang ditulis arkeolog Prancis Claude Guillot dibantu beberapa penulis lainnya disebutkan, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak abad keenam Masehi.
Ada juga pandangan lain menyebutkan bahwa Barus adalah pelabuhan tertua di Indonesia. Dalam karya geografis Ptolemaeus tercatat lima pulau yang di namakan “Barousai”, nama yang dikaitkan dengan Barus oleh para ahli sejarah.
Nama Barus sudah lama muncul apabila d iterima pendapat bahwa “Barousai” adalah Barus. Kemudian nama ini tercatat dalam sejarah Di nasti Liang, Raja Tiongkok Selatan yang memerintah pada abad keenam. Setelah itu Barus selalu disebut-sebut sampai sekarang dan kerap dihubungkan dengan kamper. (Hendri Irawan)
(nfl)