Bagaimana Membangun Kemampuan Resiliensi pada Anak
A
A
A
RESILIENSI sering diartikan sebagai ketahanan untuk mengatasi kesulitan atau berkembang, meskipun menghadapi tantangan. Semangat resiliensi dijadikan nilai keluarga yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya, bangunan sebuah keluarga harus kuat agar mampu menghasilkan generasi tangguh yang menjadi landasan untuk membangun negara yang tangguh.
Hal ini disampaikan Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia Andrew F Saputro. Sementara itu, dikutip dari laman Wikipedia, resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satu pun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.
Kemampuan ini terdiri atas regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Resiliensi tidak tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak, tetapi harus dibangun orang tua. Nah, dalam membangun resiliensi, orang tua perlu menanamkan perilaku positif dalam diri anak-anak. Karakteristik perilaku yang positif meliputi tradisi kebersamaan, bertukar informasi yang komunikatif dan kooperatif, hingga membiasakan anak hidup aktif dan sehat.
Mengutip salah satu publikasi American Psychological Association tentang resiliensi pada anak, psikolog keluarga Retno Dewanti Purba mengatakan, mengembangkan keterampilan resiliensi adalah sebuah perjalanan personal, di mana orang tua hendaknya menggunakan pemahaman tentang anaknya untuk menuntun mereka melalui perjalanan mencapai ketangguhan. Perjalanan ini bisa jadi bersifat unik, tidak sama antarindividu. Saat anak mengalami masa sulit dan dia memiliki orang dewasa yang bisa membantunya, tentu akan memperkuat ketahanan dan ketangguhannya dalam menghadapi masalah.
“Orang tua harus memastikan adanya hubungan yang suportif antara anak dan orang dewasa (significant others ). Bagi anak-anak, tentu tidak selalu mudah untuk berani menghadapi masalah, mencari jalan keluar, dan bangkit kembali,” ucap Retno.
Orang dewasa di sekitar anak mempunyai potensi besar untuk memastikan keberadaannya memiliki efek dukungan positif pada anak. Hal ini sangat membantu anak untuk merasa yakin bahwa dia bisa menghadapi masa sulit dan ada orang yang dipercaya untuk mendampinginya. “Dengan adanya dukungan positif dari orang dewasa, termasuk orang tua, anak belajar memupuk rasa percaya diri serta mengasah kemampuan memecahkan masalah dan kontrol diri,” ujar Retno.
Di samping itu, orang tua juga diharapkan dapat membangun generasi resilien yang sehat dan aktif lewat penerapan nilai dan kebiasaan baik yang ditanamkan secara konsisten. Aktivitas minum susu dan olahraga yang dilakukan secara bersama dapat menjadi solusi praktis dalam menanamkan budaya dan kebiasaan baik, sekaligus mempererat ikatan kekeluargaan yang lebih kuat.
“Mental yang kuat tentu harus didukung tubuh yang kuat. Gaya hidup sehat dan aktif pada anak-anak merupakan bagian dari edukasi publik melalui kampanye Drink. Move. Be Strong yang digelar sejak 2013,” ujar Yeni Novianti, Sr Nutritionist & Activation Manager Frisian Flag Indonesia. Kampanye tersebut bertujuan menyebarkan pesan tentang pentingnya kebiasaan minum susu dan rutin berolahraga bagi pertumbuhan yang optimal.
Dengan gaya hidup yang aktif dan sehat, anak mempunyai tubuh dan mental yang kuat dan sehat untuk menghadapi berbagai tantangan. “Dengan hal ini, anak diharapkan bisa menginspirasi sekitarnya untuk mempunyai gaya hidup aktif dan sehat,” tutur Yeni.
Sebagai lingkungan pertama yang dikenal anak, orang tua memiliki peran penting dalam menanam kebiasaan baik, termasuk pola hidup sehat. Perkembangan fisik dan psikologis anak juga memiliki pengaruh besar dalam proses pembentukan pola perilaku baik tersebut. Karena itu, dibutuhkan keluarga yang kuat untuk bisa mengembangkan kebiasaan baik yang diterapkan dalam keseharian anak.
Hal ini disampaikan Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia Andrew F Saputro. Sementara itu, dikutip dari laman Wikipedia, resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satu pun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.
Kemampuan ini terdiri atas regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif. Resiliensi tidak tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak, tetapi harus dibangun orang tua. Nah, dalam membangun resiliensi, orang tua perlu menanamkan perilaku positif dalam diri anak-anak. Karakteristik perilaku yang positif meliputi tradisi kebersamaan, bertukar informasi yang komunikatif dan kooperatif, hingga membiasakan anak hidup aktif dan sehat.
Mengutip salah satu publikasi American Psychological Association tentang resiliensi pada anak, psikolog keluarga Retno Dewanti Purba mengatakan, mengembangkan keterampilan resiliensi adalah sebuah perjalanan personal, di mana orang tua hendaknya menggunakan pemahaman tentang anaknya untuk menuntun mereka melalui perjalanan mencapai ketangguhan. Perjalanan ini bisa jadi bersifat unik, tidak sama antarindividu. Saat anak mengalami masa sulit dan dia memiliki orang dewasa yang bisa membantunya, tentu akan memperkuat ketahanan dan ketangguhannya dalam menghadapi masalah.
“Orang tua harus memastikan adanya hubungan yang suportif antara anak dan orang dewasa (significant others ). Bagi anak-anak, tentu tidak selalu mudah untuk berani menghadapi masalah, mencari jalan keluar, dan bangkit kembali,” ucap Retno.
Orang dewasa di sekitar anak mempunyai potensi besar untuk memastikan keberadaannya memiliki efek dukungan positif pada anak. Hal ini sangat membantu anak untuk merasa yakin bahwa dia bisa menghadapi masa sulit dan ada orang yang dipercaya untuk mendampinginya. “Dengan adanya dukungan positif dari orang dewasa, termasuk orang tua, anak belajar memupuk rasa percaya diri serta mengasah kemampuan memecahkan masalah dan kontrol diri,” ujar Retno.
Di samping itu, orang tua juga diharapkan dapat membangun generasi resilien yang sehat dan aktif lewat penerapan nilai dan kebiasaan baik yang ditanamkan secara konsisten. Aktivitas minum susu dan olahraga yang dilakukan secara bersama dapat menjadi solusi praktis dalam menanamkan budaya dan kebiasaan baik, sekaligus mempererat ikatan kekeluargaan yang lebih kuat.
“Mental yang kuat tentu harus didukung tubuh yang kuat. Gaya hidup sehat dan aktif pada anak-anak merupakan bagian dari edukasi publik melalui kampanye Drink. Move. Be Strong yang digelar sejak 2013,” ujar Yeni Novianti, Sr Nutritionist & Activation Manager Frisian Flag Indonesia. Kampanye tersebut bertujuan menyebarkan pesan tentang pentingnya kebiasaan minum susu dan rutin berolahraga bagi pertumbuhan yang optimal.
Dengan gaya hidup yang aktif dan sehat, anak mempunyai tubuh dan mental yang kuat dan sehat untuk menghadapi berbagai tantangan. “Dengan hal ini, anak diharapkan bisa menginspirasi sekitarnya untuk mempunyai gaya hidup aktif dan sehat,” tutur Yeni.
Sebagai lingkungan pertama yang dikenal anak, orang tua memiliki peran penting dalam menanam kebiasaan baik, termasuk pola hidup sehat. Perkembangan fisik dan psikologis anak juga memiliki pengaruh besar dalam proses pembentukan pola perilaku baik tersebut. Karena itu, dibutuhkan keluarga yang kuat untuk bisa mengembangkan kebiasaan baik yang diterapkan dalam keseharian anak.
(don)