Menangani Kanker Usus Besar
A
A
A
JAKARTA - Kanker usus besar atau kanker kolorektal adalah jenis kanker yang sering dijumpai hampir di semua kalangan usia, terutama pada usia lanjut.
Tetapi dalam satu dekade terakhir, terjadi peningkatan sebesar 30%-35% penderita kanker usus besar di usia muda (kurang dari 50 tahun). Gejala kanker usus besar biasanya dimulai dari gangguan pola buang air besar (BAB), berupa diare kronis atau sulit BAB.
Gejala lain bisa berupa BAB darah, sakit perut, kembung, penurunan berat badan, bahkan benjolan dalam perut. “Pada tahap awal, tidak terlalu tampak gejalanya. Hal ini membuat banyak penderita kanker usus besar datang ke rumah sakit ketika penyakit sudah kronis dan upaya pengobatan pun menjadi sulit.
Padahal, kunci utama keberhasilan penanganan kanker usus besar adalah ditemukannya kanker dalam stadium awal agar terapi dan tindakan dapat dilaksanakan secara kuratif,” sebut dokter spesialis bedah digestif Siloam Hospitals Kebon Jeruk, dr Wifanto Sadityo Jeo So B-KBD.
Ia menuturkan bahwa penderita kanker usus besar saat ini cenderung makin muda. Itu karena gaya hidup, mengonsumsi makanan cepat saji, kegemukan, merokok, konsumsi alkohol, dan penyakit lain yang berhubungan.
“Deteksi dini kanker usus besar bisa dilakukan dengan beberapa pemeriksaan, dengan CT scan di bagian perut untuk membantu menilai bagian luar usus dan organ dalam perut yang berkaitan dengan benjolan,” kata dr Wifanto.
Ia menjelaskan ada beberapa pilihan prosedur tindakan untuk penanganan kanker usus besar. Bisa melalui prosedur laparotomi kolektomi yang merupakan pendekatan untuk mengangkat bagian tertentu di usus besar.
Dalam metode ini dokter bedah perlu membuat irisan panjang di perut untuk mendapatkan akses ke usus besar. Selain itu, pilihan prosedur tindakan yang lainnya adalah dengan pendekatan laporoskopi minimal invasif.
Dokter hanya perlu membuat sayatan kecil untuk memasukkan instrumen bedah khusus melalui pembedahan modern yang dikenal dengan minimal invasive surgery center (MISC).
“Salah satu instrumen yang dimaksud adalah cannula atau port , yaitu sebuah tabung kecil yang bisa masuk ke dalam sayatan, ukurannya hanya 1-1,5cm. Kemudian dihubungkan dengan alat pompa berisi gas karbondioksida. Melalui cannula, rongga perut dikembangkan untuk menciptakan ruang agar dapat mengangkat tumor/kanker melalui sayatan yang minimal,” imbuh dr Wifanto.
Dokter bedah juga bisa memasukkan kamera laparoskopi, berupa tabung tipis dengan kamera video kecil yang terpasang di salah satu ujungnya.
Sementara dokter bedah mengendalikannya dengan bantuan monitor sebagai panduan. Dr Wifanto memaparkan keuntungan paling signifikan dari prosedur laparoskopi MISC adalah sayatan yang dibuat lebih kecil, maka rasa sakit yang dialami pun semakin minimal, kebutuhan untuk obat nyeri setelah operasi tidak dalam dosis yang besar sehingga mengurangi efek samping yang umum. (Iman Firmansyah)
Tetapi dalam satu dekade terakhir, terjadi peningkatan sebesar 30%-35% penderita kanker usus besar di usia muda (kurang dari 50 tahun). Gejala kanker usus besar biasanya dimulai dari gangguan pola buang air besar (BAB), berupa diare kronis atau sulit BAB.
Gejala lain bisa berupa BAB darah, sakit perut, kembung, penurunan berat badan, bahkan benjolan dalam perut. “Pada tahap awal, tidak terlalu tampak gejalanya. Hal ini membuat banyak penderita kanker usus besar datang ke rumah sakit ketika penyakit sudah kronis dan upaya pengobatan pun menjadi sulit.
Padahal, kunci utama keberhasilan penanganan kanker usus besar adalah ditemukannya kanker dalam stadium awal agar terapi dan tindakan dapat dilaksanakan secara kuratif,” sebut dokter spesialis bedah digestif Siloam Hospitals Kebon Jeruk, dr Wifanto Sadityo Jeo So B-KBD.
Ia menuturkan bahwa penderita kanker usus besar saat ini cenderung makin muda. Itu karena gaya hidup, mengonsumsi makanan cepat saji, kegemukan, merokok, konsumsi alkohol, dan penyakit lain yang berhubungan.
“Deteksi dini kanker usus besar bisa dilakukan dengan beberapa pemeriksaan, dengan CT scan di bagian perut untuk membantu menilai bagian luar usus dan organ dalam perut yang berkaitan dengan benjolan,” kata dr Wifanto.
Ia menjelaskan ada beberapa pilihan prosedur tindakan untuk penanganan kanker usus besar. Bisa melalui prosedur laparotomi kolektomi yang merupakan pendekatan untuk mengangkat bagian tertentu di usus besar.
Dalam metode ini dokter bedah perlu membuat irisan panjang di perut untuk mendapatkan akses ke usus besar. Selain itu, pilihan prosedur tindakan yang lainnya adalah dengan pendekatan laporoskopi minimal invasif.
Dokter hanya perlu membuat sayatan kecil untuk memasukkan instrumen bedah khusus melalui pembedahan modern yang dikenal dengan minimal invasive surgery center (MISC).
“Salah satu instrumen yang dimaksud adalah cannula atau port , yaitu sebuah tabung kecil yang bisa masuk ke dalam sayatan, ukurannya hanya 1-1,5cm. Kemudian dihubungkan dengan alat pompa berisi gas karbondioksida. Melalui cannula, rongga perut dikembangkan untuk menciptakan ruang agar dapat mengangkat tumor/kanker melalui sayatan yang minimal,” imbuh dr Wifanto.
Dokter bedah juga bisa memasukkan kamera laparoskopi, berupa tabung tipis dengan kamera video kecil yang terpasang di salah satu ujungnya.
Sementara dokter bedah mengendalikannya dengan bantuan monitor sebagai panduan. Dr Wifanto memaparkan keuntungan paling signifikan dari prosedur laparoskopi MISC adalah sayatan yang dibuat lebih kecil, maka rasa sakit yang dialami pun semakin minimal, kebutuhan untuk obat nyeri setelah operasi tidak dalam dosis yang besar sehingga mengurangi efek samping yang umum. (Iman Firmansyah)
(nfl)