Dampak Media Sosial Terhadap Dunia Sastra dan Literasi

Minggu, 13 Januari 2019 - 13:51 WIB
Dampak Media Sosial...
Dampak Media Sosial Terhadap Dunia Sastra dan Literasi
A A A
Gawai pintar dan media sosial (medsos) telah banyak menatahkan pengaruh dalam keseharian, bahkan sedikit-banyak menggeser gaya hidup kita.

Tak terkecuali dalam dunia sastra dan literasi. Baik di dalam ataupun luar negeri, telah banyak lahir penulis baru yang dibesarkan riuh-rendah dunia medsos.Terlepas dari baik-buruk kualitas karya yang dihasilkan, nyatanya karya-karya yang berangkat dari medsos menuai banyak perhatian pembaca, terutama generasi milenial.

Sekadar menyebut nama; Lang Leav, Rupi Kaur, dan Atticus adalah nama-nama penyair muda dengan penjualan best sellersecara internasional yang dibesarkan oleh medsos, terutama Instagram. Tiga nama di atas pertama kali membagikan potongan-potongan puisi di akun pribadi.

Kemudian disukai banyak warganet lantaran larik yang manis dengan hiasan gambar, foto, ataupun ilustrasi yang mewakili. Ketika mereka membukukan puisi-puisi tersebut, sontak menjadi buku laris, banyak disukai, dan menduduki rak-rak best seller berbagai toko di berbagai belahan dunia.

Tak aneh, lantaran jumlah pengguna Instagram per Juni 2018 sudah lebih dari angka 1 miliar. Aplikasi berbagi foto ini paling digemari oleh remaja dan generasi milenial dengan rentang usia 18-29 tahun.

Medsos telah membuat ekosistem yang padat dan riuh setiap harinya, dan berhasil menumbuhkan beragam profesi baru di kelompok mereka. Selebgram, endorser, atau influencermelalui Instagram. Dan, salah satu di antaranya Instapoet-penyair yang dibesarkan oleh Instagram.

Lang Leav menjadi salah satu dari beberapa nama yang melambung dari kelompok instapoet. Hampir semua karyanya laris manis. Lang Leav menerbitkan puisi pertama kali pada 2012, Love & Misadventure. Kompilasi puisi ini kemudian merajai tangga buku laris dan sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2016, dengan Aan Mansyur sebagai pengalih bahasanya.

Setelah itu, buku-buku Lang Leav terus diminati. Buku puisi Lang Leav dengan judul Lullabiesbahkan meraih Goodreads Choice Awardspada 2014 untuk kategori buku puisi. Dan, yang paling anyar adalah Sad Girls, sebuah karya coba-coba Lang Leav untuk kategori novel.

Sejak pertama kali terbit pada 2017, buku ini tak membutuhkan waktu lama untuk hadir dalam versi bahasa Indonesia. Tak beda jauh dengan puisi-puisinya, novel debut Lang Leav ini juga masih berkutat dengan perkara anak muda, dengan pokok persoalan asmara, kesepian, dan depresi.

Hal tersebut kemudian dijalin dengan nuansa gelap dan muram kematian yang terjadi di tengah kelompok pertemanan. Dikisahkan Audrey, Ana, Lucy, dan Candela sebagai kelompok gadis yang berteman cukup akrab. Meski kadar kedekatan masing-masing berbeda, tapi interaksi mereka cukup erat.

Semuanya berubah ketika Ana ditemukan kaku di bak mandi dengan pergelangan tangan tersayat silet. Ana bunuh diri. Tiga kawan lainnya terguncang. Terlebih Audrey. Audrey harus terus berkonsultasi dengan psikolog lantaran mengalami gangguan kecemasan berlebih.

Candella mendadak memutuskan keluar dari rumah, menyewa kamar, putus sekolah, dan yang paling ekstrem berdekatan dengan obatobatan terlarang dan menjalin hubungan dengan lelaki yang 30 tahun lebih tua, Dirkh. Berawal dari candaan setengah dusta, Ana memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Audrey melempar berita hoaksbahwa Audrey sekali pernah menyaksikan Ana berhubungan badan dengan ayahnya. Dusta ini ternyata menyebar ke seluruh kota dan membuat Ana tertekan.

Dusta menyelinap keluar dari jangkauanku dan menjalar di seluruh Three Oaks, bagaikan kebakaran hutan. Dan membuat Ana bunuh diri. Kekacauan semakin membiak ketika Audrey dan Rad, mantan kekasih Ana, menjalin hubungan spesial dan saling suka.

Dasarnya adalah kesedihan kematian Ana dan rasa saling membutuhkan. Hingga keduanya memilih untuk tidak lagi bertemu dan saling menghapus kontak di ponsel masingmasing. Kematian Ana yang bersumber dari dusta yang dimaksudkan sebagai sekadar gurauan itu telah mengubah semua kehidupan remaja SMA tersebut.

Lang Leav memang sedang main-main dengan urusan remaja dan kematian. Batas antara hidup dan mati begitu tipis dan bebas ditembus dalam kerangka berpikir Audrey dan kawan-kawannya.

Perempuan dalam novel ini, digambarkan bebas, berani mengambil keputusan sepihak, meski itu harus membahayakan dan mendekati kematian. Candela, tokoh dengan pilihan hidup ekstrem dan bebas adalah wakil kuat untuk suara Lang Leav. Dunia anak muda bebas dan hipster.

Harus dibenarkan apa yang disampaikan Lang Leav dalam buku ini, Novel pertama seorang pengarang selalu - setidaknya sebagian, adalah autobiografi. Penulis menyerap segala hal yang sangat personal, ihwal yang diucapkan kepada mereka dengan percaya diri, seringkali pada momenmomen yang sangat intim, dan mengubahnya menjadi kata-kata.

Dan, Lang Leav lewat novel ini kembali mengudarakan apa yang dia yakini dalam kehidupan. Prinsip hidup cuma sekali yang diimani, kentara betul tampil dalam novel. Bila membandingkan dengan puisi-puisi Lang Leav, Sad Girls masih sangat encer. Bahkan terkesan remeh, tidak kuat.

Lang Leav berkutat dengan dialog-dialog panjang yang tidak dalam. Seolah Lang Leav tergesa-gesa untuk gegas membangun plot utuh dan menyibak siapa di balik kematian Ana. Kesan demikian juga tampak ketika Audrey mengungsi ke Colorado dan kemudian Rad pindah ke salah satu daerah pertanian.

Bagian ini adalah bagian paling tidak mengenakkan. Karena Lang Leav seolah memaksakan akhir cerita yang dijejalkan ke pembaca agar utuh dan bulat. Sayangnya, justru menjadi lubang tidak mengenakkan. Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah kesukaan Lang Leav menggunakan permisalan.

Bahkan di bab pertama, Lang Leav seolah menumpahkan semua kemampuan mengambil metafora dan permisalan. Kesan penuh dan sesak ini menambah suasana tidak enak ketika awal membuka buku ini.

Terlepas dari nilai sastrawi dari puisi dan novel Lang Leav, kiprah kepenulisannya tidak boleh dianggap remeh. Berangkat dari medsos, buku laris dan hilir mudik di lini masa penggemar adalah salah satu dari penunjang moncernya Lang Leav.

Bila sastra adalah potret zaman, maka mempergunakan medsos untuk memublikasikan karya sastra bukan pilihan keliru. Sastra di tangan anak-anak milenial bukan lagi kaku dan sakral dengan segelintir saja penikmatnya.

Sastra harus tampil modern dengan media dan gaya tutur yang menyesuaikan zaman. Medsos nyatanya tak melulu menyebarkan berita bohong dan pemantik kekisruhan semata. Medsos berhasil menjembatani sastra dan dunia modern meski jumlahnya masih segelintir ditengah rimba yang begitu maha.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8038 seconds (0.1#10.140)