Sindroma Koroner Akut Berisiko Fatal

Senin, 25 Februari 2019 - 08:15 WIB
Sindroma Koroner Akut...
Sindroma Koroner Akut Berisiko Fatal
A A A
JAKARTA - Penyakit jantung merupakan salah satu penyakit tidak menular yang paling banyak menyebabkan mortalitas, morbiditas, serta beban pembiayaan di Tanah Air.

Sindroma Koroner Akut (SKA) atau umumnya dikenal dengan serangan jantung merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Ini merujuk dari data yang dirilis Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) tahun 2018.

Dr. Ade Median Hambari, SpJP selaku perwakilan dari PERKI mengatakan, SKA dikenal orang awam dengan sebutan angin duduk. Risikonya serangan jantung dengan nyeri di dada dari ringan, berat, hingga menimbulkan kematian. “SKA adalah kematian otot jantung. Kalau otot jantung makin banyak yang mati maka risikonya akan semakin fatal,” terang dr. Ade dalam acara yang diadakan AstraZeneca.

SKA merupakan kondisi di mana aliran darah menuju ke jantung berkurang secara tiba-tiba. Nyeri dada seperti tertindih benda berat merupakan bentuk gejala paling umum dari kondisi ini. Arteri koroner (pembuluh darah jantung) memasok darah yang kaya akan oksigen ke otot jantung. Jika arteri ini menyempit atau tersumbat akan mengganggu fungsi jantung yang bisa menyebabkan angina atau serangan jantung.

Sayangnya, hanya 1,5% saja prevalensi penyakit jantung di Indonesia yang terdiagnosa oleh dokter. Serangan jantung ditandai dengan beberapa gejala. Antara lain rasa sakit, nyeri di tengah dada yang menjalar ke lengan kiri, bahu, punggung, leher rasa tercekik, atau rahang bawah. Penjalarannya ke lengan kanan atau kedua lengan. Gejala lainnya adalah sesak napas, mual, muntah, atau keringat dingin, serta pusing dan pingsan. Masalahnya, rendahnya pemahaman pasien terhadap tanda dan gejala penyakit jantung menyebabkan pasien terlambat mendapatkan terapi.

Hal ini tercermin dari data Laporan program ISTEMI (Indonesia ST Elevated Myorcardial Infarction) yang dilakukan PERKI di wilayah Jakarta Barat dan sekitarnya, sehingga pasien SKA memerlukan waktu lebih dari 4,5 jam untuk mencapai fasilitas kesehatan yang memiliki kemampuan reperfusi. “Semakin lama keterlambatan pasien untuk mendapatkan reperfusi, angka moralitas pun semakin tinggi,” beber dr. Dafsah A Juzar, SpJP (K).

Berdasarkan data Health Sector Review 2014, menunjukkan penyakit jantung menjadi salah satu penyakit yang menjadi beban di Indonesia sehingga mendorong Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kegawatdaruratan.

Dalam penyakit ini dikenal istilah Time Is Muscle. Yang memiliki makna bahwa semakin cepat pembuluh darah direperfusi, semakin banyak otot jantung yang dapat terselamatkan. Reperfusi sendiri adalah proses membuka aliran darah yang tersumbat. Penundaan waktu reperfusi akan meningkatkan risiko kematian dalam 30 hari. “Golden standardnya adalah dengan melakukan pemasangan ring,” imbuh dr. Ade.

Guna mengevaluasi kondisi riil penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) pada tahap pre-hospital di Indonesia, PT AstraZeneca Indonesia (AZI) sebagai mitra Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Center of Health Economics and Policy Science (CHEPS) Universitas Indonesia, mencanangkan program HEBAT (HEartBeATs) Indonesia.

Program ini menyatukan para pemangku kepentingan terkait yang mencakup tenaga kesehatan, asosiasi kesehatan dan para pembuat kebijakan. HEBAT (HEartBeATs) merupakan program yang memilih pendekatan triple helix, yaitu pendekatan yang menyatukan akademisi, industri dan pemerintah untuk melakukan upaya sinergis dan berkolaborasi dengan asosiasi kesehatan guna mengoptimalkan penanganan pre-hospital pada pasien SKA di Indonesia.

Dr. Ade menjelaskan, rekomendasi waktu sejak diagnosis hingga memperoleh pertolongan terapi reperfusi bagi pasien yang datang ke RS yang mampu memberikan pelayanan Intervensi Koroner Primer (IKP) adalah 90 menit.

Sedangkan bagi pasien yang datang ke RS yang tidak mampu memberikan layanan IKP, yang kemudian ditransfer RS lainnya yang mampu memberikan layanan IKP guna memperoleh terapi reperfusi, direkomendasikan dalam rentang waktu 120 menit.

Namun, dari sudut pandang tata laksana penanganan SKA, terdapat fenomena keterlambatan diagnosa pasien di mana kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala awal dan berkonsultasi kepada tenaga medis diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan proses penyembuhan. (Sri Noviarni)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0830 seconds (0.1#10.140)