Berlayar Adalah Takdir
A
A
A
JAKARTA - Nenek moyangku seorang pelaut, maka berlayar merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari tradisi dan kebudayaan khususnya orang Sulawesi Selatan.
Kegiatan maritim ini bukan hanya terabadikan dalam lagu anak “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, tetapi bahkan sudah dituliskan sejak abad 14 dalam Sureq Galigo.
Diceritakan bagaimana tokoh utamanya, Sawerigading, berlayar bukan hanya di sekeliling Nusantara bahkan sampai ke negeri Tiongkok untuk mempersunting seorang puteri, bernama We Cudaiq. Hal ini menjadi indikasi bahwa orang Sulawesi Selatan sudah berlayar untuk merantau sejak zaman dahulu?
I La Galigo yang pada 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 akan dipentaskan di Ciputra Artpreneur merupakan sebuah karya yang sudah berlayar jauh, sejak world premiere-nya di Esplanade, Theatres on The Bay, Singapura pada tahun 2004.
Lakon yang disutradarai Robert Wilson ini sudah berlayar mengarungi setidaknya sembilan negara dan 12 kota besar di dunia dengan pementasan terakhir di Nusa Dua Bali selama konferensi IMF.
Sambutan internasional pada pementasan I La Galigo amat baik bahkan termasuk salah satu iconic works Robert Wilson dari berbagai karyanya selama puluhan tahun malang-melintang di panggung dunia.
Pementasan I La Galigo di Jakarta ini merupakan pementasan kali kedua setelah sebelumnya pada 2005 selama tiga hari melakukan pertunjukan di Teater Tanah Air, TMII.
Dengan jarak kurun waktu yang sedemikian jauh, amat penting agar I La Galigo kembali diperkenalkan pada generasi baru Indonesia terutama yang berdomisili di Jakarta. Apalagi sekarang mulai marak berbagai pementasan luar negeri naik panggung di Jakarta.
Sekadar mengingatkan bahwa ada pementasan Indonesia berkelas dunia dengan konsep cerita berdasarkan sebuah kitab kuno dari Bugis abad 14. Sureq Galigo bukan hanya sekadar kitab kuno, melainkan sebuah ‘cerita’ yang telah diakui sebagai Memory of the World oleh UNESCO.
Secara langsung maupun tidak langsung, pertunjukan ini merupakan bentuk usaha pelestarian budaya Indonesia yang dapat membuka wawasan masyarakat modern sehingga akan tahu,sadar,ingat budaya yang akan menjadi salah satu rujukan untuk menghargai persamaan sekaligus mampu bertoleransi terhadap perbedaan.
Selain itu tidak menutup kemungkinan akan mendorong keingintahuan masyarakat untuk lebih dalam menggali dan mempelajari naskah kuno yang belum sepenuhnya terungkap ini.
Sureq Galigo merupakan kisah asli Indonesia yang unik, tanpa ada pengaruh India. Secara sosial dan spiritual, statusnya sejajar dengan Mahabharata atau Ramayana.
Secara sebuah karya susastra, lebih panjang dari karya-karya India yang sudah lebih dulu terkenal di kalangan masyarakat modern Indonesia. Fragmen-fragmen ceritanya pun banyak yang kemudian dipilih dan disusun kembali menjadi satu kisah yang amat menarik di atas panggung.
Diawali dengan cerita penciptaan dunia dan diakhiri dengan ditutupnya batas dunia atas dan dunia bawah sehingga manusia yang hidup di dunia tengah dapat hidup normal selayaknya manusia. Di tengah-tengahnya ada cerita-cerita, mulai dari kisah cinta yang tabu, peperangan dengan Kerajaan dari Tiongkok, sampai tipu daya yang diberkati dewata untuk menaklukan seorang perempuan.
Penataan cahaya menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari pementasan I La Galigo ini, sehingga tontonan ini menjadi amat memukau mata. Ditambah lagi Rahayu Supanggah sebagai salah satu komposer terbaik Indonesia mewarnai soundscape pementasan ini, menghidupkan penampilan rombongan musisi di atas panggung. Tidak berlebihan jika pementasan I La Galigo ini disebut sebagai sebuah maha karya.
Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini, tiketnya sudah dapat dibeli melalui www.ciputraartpreneur.com, Loket, atau Go-Tix,dengan harga mulai dari Rp475.000. Dapatkan informasi promo menarik lainnya di Instagram @artpreneur, Facebook Ciputra Artpreneur, atau website www.ciputraartpreneur.com.
Kegiatan maritim ini bukan hanya terabadikan dalam lagu anak “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, tetapi bahkan sudah dituliskan sejak abad 14 dalam Sureq Galigo.
Diceritakan bagaimana tokoh utamanya, Sawerigading, berlayar bukan hanya di sekeliling Nusantara bahkan sampai ke negeri Tiongkok untuk mempersunting seorang puteri, bernama We Cudaiq. Hal ini menjadi indikasi bahwa orang Sulawesi Selatan sudah berlayar untuk merantau sejak zaman dahulu?
I La Galigo yang pada 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 akan dipentaskan di Ciputra Artpreneur merupakan sebuah karya yang sudah berlayar jauh, sejak world premiere-nya di Esplanade, Theatres on The Bay, Singapura pada tahun 2004.
Lakon yang disutradarai Robert Wilson ini sudah berlayar mengarungi setidaknya sembilan negara dan 12 kota besar di dunia dengan pementasan terakhir di Nusa Dua Bali selama konferensi IMF.
Sambutan internasional pada pementasan I La Galigo amat baik bahkan termasuk salah satu iconic works Robert Wilson dari berbagai karyanya selama puluhan tahun malang-melintang di panggung dunia.
Pementasan I La Galigo di Jakarta ini merupakan pementasan kali kedua setelah sebelumnya pada 2005 selama tiga hari melakukan pertunjukan di Teater Tanah Air, TMII.
Dengan jarak kurun waktu yang sedemikian jauh, amat penting agar I La Galigo kembali diperkenalkan pada generasi baru Indonesia terutama yang berdomisili di Jakarta. Apalagi sekarang mulai marak berbagai pementasan luar negeri naik panggung di Jakarta.
Sekadar mengingatkan bahwa ada pementasan Indonesia berkelas dunia dengan konsep cerita berdasarkan sebuah kitab kuno dari Bugis abad 14. Sureq Galigo bukan hanya sekadar kitab kuno, melainkan sebuah ‘cerita’ yang telah diakui sebagai Memory of the World oleh UNESCO.
Secara langsung maupun tidak langsung, pertunjukan ini merupakan bentuk usaha pelestarian budaya Indonesia yang dapat membuka wawasan masyarakat modern sehingga akan tahu,sadar,ingat budaya yang akan menjadi salah satu rujukan untuk menghargai persamaan sekaligus mampu bertoleransi terhadap perbedaan.
Selain itu tidak menutup kemungkinan akan mendorong keingintahuan masyarakat untuk lebih dalam menggali dan mempelajari naskah kuno yang belum sepenuhnya terungkap ini.
Sureq Galigo merupakan kisah asli Indonesia yang unik, tanpa ada pengaruh India. Secara sosial dan spiritual, statusnya sejajar dengan Mahabharata atau Ramayana.
Secara sebuah karya susastra, lebih panjang dari karya-karya India yang sudah lebih dulu terkenal di kalangan masyarakat modern Indonesia. Fragmen-fragmen ceritanya pun banyak yang kemudian dipilih dan disusun kembali menjadi satu kisah yang amat menarik di atas panggung.
Diawali dengan cerita penciptaan dunia dan diakhiri dengan ditutupnya batas dunia atas dan dunia bawah sehingga manusia yang hidup di dunia tengah dapat hidup normal selayaknya manusia. Di tengah-tengahnya ada cerita-cerita, mulai dari kisah cinta yang tabu, peperangan dengan Kerajaan dari Tiongkok, sampai tipu daya yang diberkati dewata untuk menaklukan seorang perempuan.
Penataan cahaya menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari pementasan I La Galigo ini, sehingga tontonan ini menjadi amat memukau mata. Ditambah lagi Rahayu Supanggah sebagai salah satu komposer terbaik Indonesia mewarnai soundscape pementasan ini, menghidupkan penampilan rombongan musisi di atas panggung. Tidak berlebihan jika pementasan I La Galigo ini disebut sebagai sebuah maha karya.
Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini, tiketnya sudah dapat dibeli melalui www.ciputraartpreneur.com, Loket, atau Go-Tix,dengan harga mulai dari Rp475.000. Dapatkan informasi promo menarik lainnya di Instagram @artpreneur, Facebook Ciputra Artpreneur, atau website www.ciputraartpreneur.com.
(akn)