Trendsetter Marlon James, Penulis Game of Thrones versi Afrika
A
A
A
Marlon James mengejutkan dunia ketika menulis karya terbarunya, ‘Black Leopard, Red Wolf’. Karya ini mengejutkan karena digadang-gadang menjadi kisah ‘Game of Thrones’ versi Afrika. Seperti apa ceritanya? James yang lahir dan besar di Kingston, Jamaika menarik perhatian banyak mata karena tidak banyak penulis kulit hitam, terutama asal Jamaika yang menjadi pemberitaan di banyak media ternama internasional.
Terlebih ketika namanya masuk dalam daftar daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi TIME kategori Pioneers tahun ini (100 Most Influential People 2019). Dengan tinggi sekitar 182 sentimeter, tubuh cukup berotot, bekas luka di antara alis dan jenggot berantakan sulit percaya dia seorang penulis. Apalagi dengan rambut gimbal selebar bahu yang sering diikat dengan ekor kuda rendah banyak orang mengira dia penyanyi ketimbang penulis.
Dikutip TIME, sekitar tiga tahun yang lalu, James sempat membat lelucon jika dirinya akan membuat ‘African Game of Thrones’. Dan ternyata lelucon ini menjadi kenyataan. James malah mengaku jika penulis Game of Thrones, George R.R. Martin pernah mengirimkan pesan di emailnya sambil berharap bisa membaca karyanya suatu saat nanti.
Novel ‘Black Leopard, Red Wolf’ setebal 620 halaman adalah usaha yang ambisius, bahkan bagi pembaca yang terbiasa dengan prosa padat Martin dan cerita berkelok-kelok. James sendiri mengakui jika buku-bukunya bisa menantang.
Dia pun serius menggarap novel ini. Termasuk menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meneliti sejarah Afrika serta mitologinya. Termasuk membangun fondasi untuk visi fantastik benua yang akan membalikkan ‘Afrika’ monolitik yang ditemukan oleh Barat. Dia menggunakan epos lisan, seperti Epik Sundiata, yang diyakini sebagian orang sebagai dasar untuk ‘The Lion King’.
Dikutip The Verge, semuanya dimulai dengan karakter yang muncul di kepala James dan mulai berbicara. Dia bahkan harus mengalami empat atau lima kali salah saat menulis di awal, sebelum buku itu ditulis sempurna. Novel ini memiliki lebih dari 80 karakter dan sering membuat pembaca berfikir keras apakah akan meneruskan membaca atau malah menyudahinya. “Saya mengambil banyak risiko. Ketika saya melemparkan pembaca ke ujung yang dalam, saya hanya memiliki keyakinan ini jika mereka akan menemukan jalan kembali,” terangnya.
Adapun novel James sebelumnya, ‘A Brief History of Seven Killings’ hanya memiliki lebih dari 70 karakter, dan banyak yang berbicara dalam bahasa Jamaika. Dan ternyata epik baru James ‘Black Leopard, Red Wolf’ menjadi hits dan mirip dengan seri yang dibuat Martin, dalam beberapa cara utama. Yakni masing-masing menampilkan bangsawan yang berperang, binatang buas yang mematikan dan banyak adegan seks grafis dan pertempuran berdarah. James mengatakan bahkan dia mempelajari bagaimana Martin membuat rangkaian kekerasan dengan makhluk mitos.
Bedanya, novel James ini dibuat di Afrika yang jauh dari masa lalu dan dipenuhi dengan karakter warna aneh yang terinspirasi sejarah dan mitologi benua. Dikutip The New Yorker, seperti ‘Black Panther’, ‘Black Leopard, Red Wolf’ bertujuan untuk melawan kesan dominan genre. Alih-alih raja dengan pedang dan putri berambut kuning muda, novel ini berisi penyihir berkulit gelap, vampir yang mengubah darah Anda menjadi ‘petir biru’, dan setan yang datang melengking di atas atap rumah dalam gelap.
Melalui karyanya ini, penulis yang akan berusia 49 tahun pada 24 November ini juga bergabung dengan jajaran penulis-penulis seperti Tomi Adeyemi dan N.K. Jemisin, yang karya-karyanya menentang stereotip tentang tipe-tipe figur yang ‘seharusnya’ muncul dalam fiksi fantasi. Novel ini menentang gagasan jika ada ‘garis’ yang harus ditarik antara sastra dan fiksi genre.
Beberapa penerbit Inggris menolak bukunya karena dianggap terlalu fiksi ilmiah untuk orang-orang sastra dan terlalu sastra untuk kerumunan fiksi ilmiah. Namun James bukanlah penulis yang berputus asa. Dia tetap menyalurkan keduanya dalam satu karya dan meruntuhkan batas-batas itu yang akhirnya membantu James semakin berkembang. Menurut rencana, dua buku berikutnya dalam trilogi ‘Dark Star’ akan menceritakan kisah yang sama dari perspektif lain.
Trilogi kedua disebut-sebit akan mengikuti seorang penyihir dari buku pertama. Tapi semua maish tetap rahasia. Dia menekankan jika dirinya terus-menerus terkejut dengan arah plotnya dan keputusan yang diambil oleh karakternya. “God Bless Breaking Bad, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana segalanya akan berakhir. Bagi saya, hari penulisan yang baik adalah ketika, pada akhirnya, saya dapat mengatakan Saya tidak melihat itu akan terjadi,” ujarnya sembari tertawa, dilansir EW.
James memang dikenal sebagai sosok penulis yang vokal dan lantang tentang berbagai isu yang dianggap menganggunya. Dia menekankan hanya menulis genre fantasi dengan caranya sendiri. Dia juga menentang mereka yang akan mengatakan seorang penulis dengan latar belakangnya ‘harus’ menulis tentang topik-topik tertentu.
“Saya pikir atau setidaknya berharap bahwa ungkapan seperti penulis naskah hitam atau penulis Karibia datang dengan serangkaian harapan yang tidak ada 20 tahun yang lalu,” katanya. Mengingat sejarah pribadi James yang dramatis, dan bakatnya untuk menceritakan, keputusannya untuk menghindari autobiografi dalam fiksinya sangat mencolok.
Dulu James beranggapan novel karyanya tidak akan ada yang pernah membaca. Namun saat ini, James sudah dikenal dimana-mana. Beberapa minggu lalu, dia menjadi pembicara di panel tentang keragaman dalam sci-fi dan fantasi, di New York Comic Con, konvensi yang setiap tahun mengubah Javits Center menjadi pusaran geekery dan cosplay. Dia juga menerima banyak penghargaan.
Dikutip Penguin Random House, dia menjadi finalis untuk National Circle Critics Circle Award dan memenangkan OCM Bocas Prize for Caribbean Literature untuk fiksi, Anisfield-Wolf Book Award untuk fiksi, dan Minnesota Book Award. Karyanya juga tercatat sebagai New York Times Notable Book.
Melalui novelnya, ‘The Book of Night Women’, dia memenangkan Hadiah Perdamaian Sastra Dayton 2010 dan Penghargaan Buku Minnesota, dan merupakan finalis National Book Critics Circle Award 2010 dalam fiksi dan NAACP Image Award.
Dimulai dari membaca sejak kecil
Keahliannya di bidang menulis dimulai dari kebiasaan membaca sejak kecil. James kecil memang sudah didorong untuk suka membaca. Hal ini tidak terlepas dari sosok kedua oranguanya yang juga suka membaca. Kedua orangtuanya adalah anggota kepolisian. Ibunya inspektur polisi dan ayahnya seorang petugas polisi yang beralih menjadi pengacara. Kedua orang tuanya mendorongnya untuk membaca.
Dikutip The New Yorker, sang ayah suka membaca karya William Shakespeare, sedangkan sang ibu menyukai O Henry. Ketika James berusia lima tahun, anak-anak lain mulai memanggilnya dengan sebutan banci, sejak itu dia ‘menenggelamkan’ diri dengan membaca komik dan buku. Dia menyukai mitologi Yunani karena semua orang di dalamnya tampak ‘telanjang’.
Setelah membaca “Little House in the Big Woods’, dia memutuskan ingin menulis. Dia pun langsung menulis kisah drama — salah satunya adalah revisi Jamaika dari ‘Cinderella’. Dia pun mencoba menggambar komik, yakni manusia monyet yang berubah bentuk dan pahlawan telepati. Setelah membaca ‘Tom Jones’ pada usia 12 atau 13 tahun, dia mengisi buku catatan milik ayahnya dengan entri buku harian dengan gaya Henry Fielding.
Dia juga sempat menulis ulang ujung-ujung episode ‘The Incredible Hulk’ sehingga Bruce Banner akhirnya bisa beristirahat. Dia juga mencoba menulis jurnal tentang kehidupannya sendiri mulai usia 16 tahun. Saat duduk di bangku SMA Wolmer’s Trust High School for Boys, teman-teman sekelas memanggilnya Mary. Dia mengaku menjaga jarak dari kakak lelakinya yang lebih popular agar dirinya tidak merasa malu.
Setelah itu, dia kuliah University of the West Indies mengambil jurusan Bahasa dan Sastra. Dikutip Good Reads James lulus dari University of the West Indies pada tahun 1991. Kemudian menerima gelar master dalam penulisan kreatif dari Wilkes University (2006). James pun sempat bekerja sebagai desainer grafis dan copywriter untuk agensi iklan Kingston.
Kemudian dia mencoba menjadi penulis secara profesional. Seperti orang lain pada umumnya, segala hal yang pertama tidaklah selalu mudah. Dia menghadapi banyak tantangan, termasuk penolakan. Novel pertamanya ‘John Crow’s Devil’ ditolak sebanyak 78 kali sebelum akhirnya diterima untuk dipublikasikan. Novel ini menjadi finalis Los Angeles Times Book Prize untuk fiksi pertama dan Commonwealth Writers’ Prize, dan menjadi New York Times Editors’ Choice.
Dari sini, James mulai mengumpulkan kepercayan diri dan keberanian lebih besar untuk menulis novel kedua dan seterusnya. Selain menulis, saat ini James diketahui mengajar menulis kreatif di Macalester College, di St. Paul, Minnesota. James masih memiliki satu keinginan yakni ingin menulis novel fantasi ‘hitam’ seperti ‘Jonathan Strange & Mr. Norrell’ karya Susanna Clarke pada tahun 2004 yang memenangkan Hugo dan mendapatkan daftar panjang untuk Booker.
Terlebih ketika namanya masuk dalam daftar daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi TIME kategori Pioneers tahun ini (100 Most Influential People 2019). Dengan tinggi sekitar 182 sentimeter, tubuh cukup berotot, bekas luka di antara alis dan jenggot berantakan sulit percaya dia seorang penulis. Apalagi dengan rambut gimbal selebar bahu yang sering diikat dengan ekor kuda rendah banyak orang mengira dia penyanyi ketimbang penulis.
Dikutip TIME, sekitar tiga tahun yang lalu, James sempat membat lelucon jika dirinya akan membuat ‘African Game of Thrones’. Dan ternyata lelucon ini menjadi kenyataan. James malah mengaku jika penulis Game of Thrones, George R.R. Martin pernah mengirimkan pesan di emailnya sambil berharap bisa membaca karyanya suatu saat nanti.
Novel ‘Black Leopard, Red Wolf’ setebal 620 halaman adalah usaha yang ambisius, bahkan bagi pembaca yang terbiasa dengan prosa padat Martin dan cerita berkelok-kelok. James sendiri mengakui jika buku-bukunya bisa menantang.
Dia pun serius menggarap novel ini. Termasuk menghabiskan waktu selama dua tahun untuk meneliti sejarah Afrika serta mitologinya. Termasuk membangun fondasi untuk visi fantastik benua yang akan membalikkan ‘Afrika’ monolitik yang ditemukan oleh Barat. Dia menggunakan epos lisan, seperti Epik Sundiata, yang diyakini sebagian orang sebagai dasar untuk ‘The Lion King’.
Dikutip The Verge, semuanya dimulai dengan karakter yang muncul di kepala James dan mulai berbicara. Dia bahkan harus mengalami empat atau lima kali salah saat menulis di awal, sebelum buku itu ditulis sempurna. Novel ini memiliki lebih dari 80 karakter dan sering membuat pembaca berfikir keras apakah akan meneruskan membaca atau malah menyudahinya. “Saya mengambil banyak risiko. Ketika saya melemparkan pembaca ke ujung yang dalam, saya hanya memiliki keyakinan ini jika mereka akan menemukan jalan kembali,” terangnya.
Adapun novel James sebelumnya, ‘A Brief History of Seven Killings’ hanya memiliki lebih dari 70 karakter, dan banyak yang berbicara dalam bahasa Jamaika. Dan ternyata epik baru James ‘Black Leopard, Red Wolf’ menjadi hits dan mirip dengan seri yang dibuat Martin, dalam beberapa cara utama. Yakni masing-masing menampilkan bangsawan yang berperang, binatang buas yang mematikan dan banyak adegan seks grafis dan pertempuran berdarah. James mengatakan bahkan dia mempelajari bagaimana Martin membuat rangkaian kekerasan dengan makhluk mitos.
Bedanya, novel James ini dibuat di Afrika yang jauh dari masa lalu dan dipenuhi dengan karakter warna aneh yang terinspirasi sejarah dan mitologi benua. Dikutip The New Yorker, seperti ‘Black Panther’, ‘Black Leopard, Red Wolf’ bertujuan untuk melawan kesan dominan genre. Alih-alih raja dengan pedang dan putri berambut kuning muda, novel ini berisi penyihir berkulit gelap, vampir yang mengubah darah Anda menjadi ‘petir biru’, dan setan yang datang melengking di atas atap rumah dalam gelap.
Melalui karyanya ini, penulis yang akan berusia 49 tahun pada 24 November ini juga bergabung dengan jajaran penulis-penulis seperti Tomi Adeyemi dan N.K. Jemisin, yang karya-karyanya menentang stereotip tentang tipe-tipe figur yang ‘seharusnya’ muncul dalam fiksi fantasi. Novel ini menentang gagasan jika ada ‘garis’ yang harus ditarik antara sastra dan fiksi genre.
Beberapa penerbit Inggris menolak bukunya karena dianggap terlalu fiksi ilmiah untuk orang-orang sastra dan terlalu sastra untuk kerumunan fiksi ilmiah. Namun James bukanlah penulis yang berputus asa. Dia tetap menyalurkan keduanya dalam satu karya dan meruntuhkan batas-batas itu yang akhirnya membantu James semakin berkembang. Menurut rencana, dua buku berikutnya dalam trilogi ‘Dark Star’ akan menceritakan kisah yang sama dari perspektif lain.
Trilogi kedua disebut-sebit akan mengikuti seorang penyihir dari buku pertama. Tapi semua maish tetap rahasia. Dia menekankan jika dirinya terus-menerus terkejut dengan arah plotnya dan keputusan yang diambil oleh karakternya. “God Bless Breaking Bad, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana segalanya akan berakhir. Bagi saya, hari penulisan yang baik adalah ketika, pada akhirnya, saya dapat mengatakan Saya tidak melihat itu akan terjadi,” ujarnya sembari tertawa, dilansir EW.
James memang dikenal sebagai sosok penulis yang vokal dan lantang tentang berbagai isu yang dianggap menganggunya. Dia menekankan hanya menulis genre fantasi dengan caranya sendiri. Dia juga menentang mereka yang akan mengatakan seorang penulis dengan latar belakangnya ‘harus’ menulis tentang topik-topik tertentu.
“Saya pikir atau setidaknya berharap bahwa ungkapan seperti penulis naskah hitam atau penulis Karibia datang dengan serangkaian harapan yang tidak ada 20 tahun yang lalu,” katanya. Mengingat sejarah pribadi James yang dramatis, dan bakatnya untuk menceritakan, keputusannya untuk menghindari autobiografi dalam fiksinya sangat mencolok.
Dulu James beranggapan novel karyanya tidak akan ada yang pernah membaca. Namun saat ini, James sudah dikenal dimana-mana. Beberapa minggu lalu, dia menjadi pembicara di panel tentang keragaman dalam sci-fi dan fantasi, di New York Comic Con, konvensi yang setiap tahun mengubah Javits Center menjadi pusaran geekery dan cosplay. Dia juga menerima banyak penghargaan.
Dikutip Penguin Random House, dia menjadi finalis untuk National Circle Critics Circle Award dan memenangkan OCM Bocas Prize for Caribbean Literature untuk fiksi, Anisfield-Wolf Book Award untuk fiksi, dan Minnesota Book Award. Karyanya juga tercatat sebagai New York Times Notable Book.
Melalui novelnya, ‘The Book of Night Women’, dia memenangkan Hadiah Perdamaian Sastra Dayton 2010 dan Penghargaan Buku Minnesota, dan merupakan finalis National Book Critics Circle Award 2010 dalam fiksi dan NAACP Image Award.
Dimulai dari membaca sejak kecil
Keahliannya di bidang menulis dimulai dari kebiasaan membaca sejak kecil. James kecil memang sudah didorong untuk suka membaca. Hal ini tidak terlepas dari sosok kedua oranguanya yang juga suka membaca. Kedua orangtuanya adalah anggota kepolisian. Ibunya inspektur polisi dan ayahnya seorang petugas polisi yang beralih menjadi pengacara. Kedua orang tuanya mendorongnya untuk membaca.
Dikutip The New Yorker, sang ayah suka membaca karya William Shakespeare, sedangkan sang ibu menyukai O Henry. Ketika James berusia lima tahun, anak-anak lain mulai memanggilnya dengan sebutan banci, sejak itu dia ‘menenggelamkan’ diri dengan membaca komik dan buku. Dia menyukai mitologi Yunani karena semua orang di dalamnya tampak ‘telanjang’.
Setelah membaca “Little House in the Big Woods’, dia memutuskan ingin menulis. Dia pun langsung menulis kisah drama — salah satunya adalah revisi Jamaika dari ‘Cinderella’. Dia pun mencoba menggambar komik, yakni manusia monyet yang berubah bentuk dan pahlawan telepati. Setelah membaca ‘Tom Jones’ pada usia 12 atau 13 tahun, dia mengisi buku catatan milik ayahnya dengan entri buku harian dengan gaya Henry Fielding.
Dia juga sempat menulis ulang ujung-ujung episode ‘The Incredible Hulk’ sehingga Bruce Banner akhirnya bisa beristirahat. Dia juga mencoba menulis jurnal tentang kehidupannya sendiri mulai usia 16 tahun. Saat duduk di bangku SMA Wolmer’s Trust High School for Boys, teman-teman sekelas memanggilnya Mary. Dia mengaku menjaga jarak dari kakak lelakinya yang lebih popular agar dirinya tidak merasa malu.
Setelah itu, dia kuliah University of the West Indies mengambil jurusan Bahasa dan Sastra. Dikutip Good Reads James lulus dari University of the West Indies pada tahun 1991. Kemudian menerima gelar master dalam penulisan kreatif dari Wilkes University (2006). James pun sempat bekerja sebagai desainer grafis dan copywriter untuk agensi iklan Kingston.
Kemudian dia mencoba menjadi penulis secara profesional. Seperti orang lain pada umumnya, segala hal yang pertama tidaklah selalu mudah. Dia menghadapi banyak tantangan, termasuk penolakan. Novel pertamanya ‘John Crow’s Devil’ ditolak sebanyak 78 kali sebelum akhirnya diterima untuk dipublikasikan. Novel ini menjadi finalis Los Angeles Times Book Prize untuk fiksi pertama dan Commonwealth Writers’ Prize, dan menjadi New York Times Editors’ Choice.
Dari sini, James mulai mengumpulkan kepercayan diri dan keberanian lebih besar untuk menulis novel kedua dan seterusnya. Selain menulis, saat ini James diketahui mengajar menulis kreatif di Macalester College, di St. Paul, Minnesota. James masih memiliki satu keinginan yakni ingin menulis novel fantasi ‘hitam’ seperti ‘Jonathan Strange & Mr. Norrell’ karya Susanna Clarke pada tahun 2004 yang memenangkan Hugo dan mendapatkan daftar panjang untuk Booker.
(don)