Stigma Halangi Penderita Depresi Jalani Hidup Normal

Minggu, 23 Juni 2019 - 13:38 WIB
Stigma Halangi Penderita...
Stigma Halangi Penderita Depresi Jalani Hidup Normal
A A A
JAKARTA - Pada 2017, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa gangguan depresi kini menduduki peringkat keempat penyakit di dunia. Sekitar 300 juta dari total populasi dunia menderita depresi. Meski demikian, tingginya angka prevalensi gangguan depresi tidak diikuti dengan meningkatnya pemahaman mengenai gangguan ini di dalam masyarakat. Terlebih lagi ada banyak stigma yang beredar mengenai depresi dan menghambat orang dengan depresi mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal.

Depresi adalah suatu kondisi medis yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis gejala. Yang pertama, gejala terkait suasana hati, berupa suasana hati yang buruk, minat yang rendah, kecemasan, motivasi yang rendah, dsb. Kedua, gejala kognitif berupa gangguan konsentrasi, kesulitan dalam membuat rencana, pelupa, lambat dalam menanggapi dan bereaksi, dsb. Terkahir, gejala fisik, seperti nyeri, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dsb.

Pada beberapa pasien, depresi dapat memunculkan pikiran bunuh diri hingga tindakan bunuh diri. WHO memperkirakan bahwa setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri. Deteksi dini dan perawatan yang tepat dapat meningkatkan remisi, menghindari terjadinya kekambuhan, mengurangi beban emosi dan beban keuangan yang timbul oleh gangguan depresi ini.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, SpKJ, menjelaskan bahwa banyaknya stigma yang beredar terhadap depresi menghalangi para penderitanya mendapatkan dukungan yang tepat.

"Stigma tersebut menghambat orang dengan depresi untuk mencari dukungan yang mereka butuhkan untuk bisa menjalani kehidupan kembali secara normal," ucap Eka dalam konfrensi pers simposiun regional Lundbeck di Shangri-La Hotel, Jakarta, Sabtu (22/6/2019).

Menurut dia, depresi lebih sering dilihat sebagai aib daripada penyakit karena berkenaan dengan kesehatan mental, bukan fisik. "Kita harus meningkatkan kesadaran bahwa depresi adalah penyakit sebagaimana penyakit lainnya. Orang dengan gangguan depresi bisa pulih sepenuhnya dan penderitanya juga seharusnya bisa tanpa ragu-ragu mencari dukungan dan pengobatan," kata Eka.

Ketua Divisi Mood Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. dr Margarita Maramis, SpKJ (K), menambahkan bahwa stigma ini menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap para orang dengan depresi, antara lain asumsi bahwa penderita tidak mau bersosialisasi, tidak bisa dipercaya, dan membuat canggung keadaan.

"Akibatnya adalah sebagian dari orang dengan depresi kemudian menjauhkan diri dan menghindari hubungan yang terlalu pribadi dengan orang lain, hingga berhenti bekerja atau berhenti sekolah," ujar Margarita.

Gangguan depresi juga bisa memengaruhi fungsi kognitif selain suasana hati dan gejala fisik lainnya. Hal ini bisa berkontribusi terhadap gangguan fungsi pada orang dengan depresi di lingkungan kerja, masyarakat, maupun kehidupan berkeluarga.

Profesor klinis neuropsikiatri di Fakultas Kedokteran, University of South Carolina, Amerika Serikat, Prof Vladimir Maletic, MD dalam kesempatan yang sama juga mengatakan ada beberapa pihak yang salah paham dengan beranggapan bahwa antidepresan tidak membawa manfaat bagi pasien dan memiliki banyak efek samping.

Dia menjelaskan bahwa antidepresan telah mengalami perubahan evolusi selama bertahun-tahun dan saat ini sudah dikembangkan antidepresan baru seperti Vortioxetine yang tidak hanya memperbaiki gejala-gejala terkait suasana hati tetapi juga mengatasi gejala-gejala kognitif sehingga membantu pasien mencapai pemulihan fungsional.

"Hal yang lebih penting lagi adalah Vortioxetine juga dilaporkan memiliki efek samping yang lebih minimal," kata Vladimir.
(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9875 seconds (0.1#10.140)