Kenali dan Deteksi Dini Fibrilasi Atrium dengan Menari

Senin, 08 Juli 2019 - 15:52 WIB
Kenali dan Deteksi Dini...
Kenali dan Deteksi Dini Fibrilasi Atrium dengan Menari
A A A
FIBRILASI atrium (FA) adalah kelainan irama jantung yang ditandai dengan denyut jantung tidak teratur, baik cepat maupun lambat. FA juga merupakan penyakit distrik jantung yang sering ditemui, bahkan merupakan salah satu penyakit jantung yang paling sering didapatkan di klinik.

Beberapa keadaan dapat menjadi faktor risiko terjadinya FA, yaitu bertambahnya usia, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan faktor genetik. Di Indonesia diduga ada sekitar 2,2 juta orang yang menderita FA. Dilaporkan, hingga 40% kejadian stroke berhubungan dengan adanya FA.

Hal ini dapat terjadi karena pada FA terdapat kemudahan untuk terbentuk gumpalan darah di serambi jantung. Bila gumpalan darah tersebut lepas, maka umumnya akan tersangkut di pembuluh otak sehingga menimbulkan sumbatan dan menyebabkan stroke iskemik. Di samping itu FA juga dapat menyebabkan gagal jantung.

Mengingat besarnya prevalensi FA di Indonesia dan tingginya risiko stroke yang akan berdampak luas secara ekonomi dan sosial, maka sangat penting untuk mendeteksi secara dini kejadian FA di masyarakat. Upaya deteksi FA tersebut tidak akan memberikan hasil yang optimal jika tidak melibatkan peran serta masyarakat. Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan kalangan nonmedis lain tentang pentingnya dan risiko FA.

Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Indonesia Heart Rhythm Society (InaHRS) dengan menggelar kampanye FA yang mengambil tema “Waspada Bahaya Fibrilasi Atrium, Stroke dan Sudden Death”. Dalam kampanye ini kembali ditekankan “Menari” (Meraba Nadi Sendiri) yang merupakan salah satu cara mudah untuk mengenali fibrillasi atrium (FA) serta gangguan irama lainnya yang diharapkan dapat mencegah kelumpuhan akibat FA.

Ketua Pelaksana Kampanye FA 2019 dr Reynold Agustinus Hasudungan Manullang SpJP(K) mengatakan pemberdayaan masyarakat yang mengandung makna perubahan kecil, seperti konsumsi makanan sehat, tidak minum alkohol, lebih banyak berolahraga, dan stop merokok dapat memberikan perbedaan yang bermakna terhadap kesehatan dan dapat menjadi inspirasi global.

“Terlambatnya deteksi dini Fibrilasi atrium mengakibatkan terjadinya komplikasi yang fatal, serta memerlukan biaya pelayanan kesehatan yang cukup tinggi. Selain itu, fibrilasi atrium dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian jantung mendadak pada penderita sakit jantung,” papar dr Reynold, dalam Konferensi Pers Kampanye FA 2019 di RS Harapan Kita, Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Ia menjelaskan, selain penyakit jantung koroner dan hipertensi sebagai penyebab utama mortalitas dan morbiditas di seluruh dunia, diketahui pula bahwa ternyata fibrillasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai pada populasi umum.

Guru Besar Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI Prof Dr dr Yoga Yuniadi SpJP(K) FIHA FasCC FEHRA menuturkan, FA merupakan kelainan irama jantung berupa detak jantung yang tidak reguler, sering dijumpai pada populasi di dunia dan di Indonesia. Ia menekankan bahwa penderita FA memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan orang tanpa FA.

Kelumpuhan merupakan bentuk kecacatan yang sering dijumpai pada kasus stroke dengan FA. Di Indonesia, banyak insiden kelumpuhan akibat FA terjadi pada usia produktif, yaitu di bawah usia 60 tahun. Kelumpuhan yang diderita pasien FA memiliki ciri khusus, seperti memiliki tingkat keparahan yang tinggi, bersifat lama, dan sering berulang (relapse ).

“Rata-rata, sekitar 50% pasien yang terkena stroke ini akan mengalami stroke kembali dalam jangka waktu 1 tahun,” kata Prof Yoga. Menurutnya, terdapat 3 teknik yang dapat dilakukan, yaitu teknik ablasi kateter, melakukan pemasangan alat LAA Closure, serta pemakaian obat antikoagulan oral baru (OKB).

“Terapi OKB belum masuk ke dalam layanan BPJS Kesehatan. Padahal, terapi OKB merupakan lompatan besar dalam terapi FA. Selain lebih efektif, OKB dapat mengatasi permasalahan risiko perdarahan, reaksi silang antarobat,” kata Prof Yoga.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1147 seconds (0.1#10.140)