Ada Risiko Fisik dan Mental bagi Anak yang Alami Obesitas

Kamis, 25 Juli 2019 - 07:15 WIB
Ada Risiko Fisik dan...
Ada Risiko Fisik dan Mental bagi Anak yang Alami Obesitas
A A A
Prevalensi obesitas anak secara global maupun nasional, meningkat. Jika tidak ditangani anak obesitas akan menghadapi ancaman kesehatan yang fatal. Belum lagi risiko bullying yang menghantui. Prevalensi gizi lebih atau overweight dan obesitas pada anak di dunia meningkat dari 4,2% (1990) menjadi 6,7% (2010).

Sementara berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi obesitas pada balita adalah 11,9 persen. “Jadi bayangkan kalau 10 persen saja, berarti 1 di antara 10 anak itu menderita obesitas," terang dr. Yovita Ananta, SpA, MHSM, IBCLC dari RS Pondok Indah-Pondok Indah dalam acara yang diadakan RS Pondok Indah Group.

Masalahnya, hingga kini kebanyakan masyarakat masih melihat anak yang bertubuh gemuk adalah anak yang sehat dan lucu tanpa tahu ada ancaman kesehatan yang mengintai di baliknya. Ya, obesitas memiliki bahaya jangka panjang. Sebut saja gangguan pada jantung, paru-paru, hingga dapat berujung pada kematian.

"Pada paru-paru misalnya, orang obesitas bisa berisiko asma ataupun henti napas saat tidur (sleep apnea). Adapun pada pencernaan bisa menyebabkan masalah pencernaan seperti asam lambung meningkat, masalah liver bisa jadi kanker, batu empedu, dan kanker kolon yang lebih sering pada orang obesitas," beber spesialis anak dan konselor laktasi ini.

Untuk mengetahui apakah seorang anak obesitas, dapat dilihat dari indeks massa tubuhnya (IMT). Tentunya IMT ini disesuaikan dengan periode tumbuh kembang. Berdasarkan grafik indeks massa tubuh WHO pada 2006, untuk anak yang berusia di bawah 2 tahun, dikatakan overweight bila grafik IMT-nya Z-score di atas +2SD (standar deviasi).

Sedangkan anak disebut obesitas bila Z-scorenya lebih dari +3SD. Untuk anak berusia 2-18 tahun, berdasarkan grafik IMT CDC 2000, anak disebut overweight bila grafknya berada di atas P85-P95 (persentil). Sedangkan bila si kecil grafiknya mencapai lebih dari P95, maka ia dikatakan menderita obesitas.

Penyebab obesitas pada anak bisa dibilang beragam. Mulai dari pola makan yang tidak seimbang hingga kurangnya aktivitas fisik. Terlebih varian makanan dan jajanan dewasa ini semakin banyak yang pada umumnya mengandung gula, garam, dan kalori yang tinggi.

Kondisi ini masih diperparah dengan penggunaan gawai yang membuat anak hanya berkutat pada mainannya tersebut tanpa melakukan aktivitas fisik di luar ruangan. Masalah obesitas bukan hanya berhenti pada gangguan fisik semata yang mungkin timbul. Anak obesitas juga rentan dibully oleh teman di sekolah ataupun lingkungan tempat ia tinggi.

Dikatakan Jane Cindy Linardi, M.Psi, memberi julukan gendut pada anak obesitas saja sudah termasuk pada kategori bullying verbal. “Mungkin ada julukan-julukan tertentu yang menggambarkan kondisi fisik si anak obesitas tersebut,” imbuh psikolog ini.

Anak juga bisa menerima bullying cyber di era digital ini, dimana korban terus mendapat pesan negatif baik berupa sms atau pesan di chat maupun media sosial. Jangan anggap enteng masalah bullying ini. Mengapa? Sebab bisa berdampak jangka pendek maupun panjang.

"Jangka pendek ya seperti syok, cidera fisik (jika terkena bullying fisik), takut dan merasa tidak aman datang ke tempat terjadinya bullying, atau cemas saat harus berpapasan atau berinteraksi dengan pelaku," papar Jane.

Kalau dampak jangka panjang yang bisa terjadi antara lain konsep diri korban menjadi negatif, penurunan nilai akademis, berkurangnya motivasi belajar, takut dengan suasana baru, depresi, hingga bunuh diri. "Ada kemungkinan korban bahkan menjadi pelaku bullying juga walau tidak semua," ungkap Jane.

Orangtua harus tanggap untuk mengatasi bullying ini. Diantaranya dengan membangun kedekatan emosional lewat aktivitas yang dilakukan bersama (komunikatif dan interaktif), membangun relasi yang baik dengan pihak sekolah, menjadi pendengar yang baik dengan hadir 100%, jangan memotong atau menganggap cerita anak tidak penting.

Disamping itu, orangtua juga harus menjalin komunikasi terbuka, meluangkan waktu rutin untuk melakukan sharing session. "Orangtua perlu jeli dalam mengobservasi perubahan perilaku, minat, dan penurunan motivasi pada anak. Bisa saja anak menjadi korban bullying," pungkas Jane.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0954 seconds (0.1#10.140)