Perupa Chryshnanda Melukis Ibu Pertiwi Tak Sampai Satu Menit
A
A
A
Goresan kuas secepat kilat menyapu dan meliuk seperti ular, mengepung hampir separuh bidang warna putih dengan lelehan warna cokelat dengan sedikit sentuhan warna merah terang, ditambah titik, garis dan pola yang tampak seperti tak beraturan.
Tak sampai satu menit sebuah lukisan abstrak tersaji begitu apik. Menurut pelukisnya, Chryshnanda Dwilaksana, lukisan itu ekspresi atas kondisi Ibu Pertiwi yang mesti dimaknai sebagai semangat membangun bangsa. Bahasa rupa abstrak sengaja dipilih Chryshnanda sebagai medium ekspresi, dengan menampilkan esensi rupa sebagai unsur utama.
Bahasa abstrak memberi brigadir jenderal (brigjen) polisi ini keleluasaan untuk menampilkan berbagai hal yang tengah dia rasakan secara lebih netral, yang diterjemahkan dalam goresan dan garis, warna, serta diorganisasikan dalam komposisi tertentu. Bahasa abstrak membuatnya leluasa menampilkan berbagai hal dalam visualitas yang mengandung metafora.
”Kegelisahan Ibu Pertiwi akibat keserakahan sejumlah orang yang tak henti berbuat kerusakan di negeri ini. Orang-orang kemaruk yang selalu membuat Ibu Pertiwi menangis. Saatnya kita membuat Ibu Pertiwi tersenyum dan kita harus terus bersemangat membangun bangsa,” ujar Chryshnanda saat live perform art pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Cemara 6, Jakarta Pusat, tadi malam.
Cara Chryshnanda melukis yang sangat cepat sontak mengundang decak kagum penikmat seni yang hadir malam itu. Lukisan abstrak yang dihasilkan dari aksi memukaunya diberi judul Passion. ”Luar biasa. Jenderal polisi ada juga yang pandai melukis. Bagus pula lukisannya, sarat pesan moral,” celetuk salah satu pengunjung.
Dalam pameran yang bertajuk ”Sopo Ngiro” ini Chryshnanda menghadirkan puluhan lukisan berukuran besar—yang hampir kesemuanya beraliran abstrak. Tampak sekali pada karya-karya Chrysnanda, ruang menjadi elemen yang sangat penting. Melalui ruang dia mendialogkan pengalaman personal yang sedang dirasakannya. Pengalaman-pengalaman perihal berbagai aspek dalam kehidupan sosial masyarakat.
Selanjutnya ruang dialog itu pun bergerak dari dialog personal menjadi ruang dialog bagi tumbuhnya persepsi-persepsi personal yang lain dari para penikmat karyanya. Ruang dialog yang personal itu sekaligus juga netral dengan berbagai penafsiran subjektif dari siapa pun yang menikmatinya.
Kurator seni Yulianto Liestiono mengatakan, dalam melukis Chryshnanda bagai di dunia lalu lintas yang ditekuninya kini. Chryshnanda seperti berzigzag tapi tidak membahayakan, dan malah mengundang takjub. Kehidupannya sebagai polisi yang berdisiplin dan keliaran dunia kreatif estetik jadi menyatu dalam karyanya. Kontras tapi membentuk keseimbangan yang baru.
”Lihatlah bagaimana Chryshnanda banyak menggunakan warna cerah yang kontras, seperti merah disandingkan dengan hijau. Dia biarkan bagaimana lelehan cat yang tampak liar ternyata terkendali. Dengan ringan dia berbicara tentang renungan yang dalam nan mengalir lancar. Tidak direka-reka karena telah dihayatinya dengan baik. Dia tidak menghalus-haluskan, tidak mengestetik-estetikkan, tidak menggurui. Tapi Sopo Ngirokaryanya mengajak kita kembali merendah hati,” tutur Yulianto.
Cak Kandar, seniman lukis yang juga salah satu Pembina Balai Budaya, mengakui, Chryshnanda bisa dibilang sebagai pelukis yang sangat produktif. Di mata Cak Kandar, Chryshnanda juga seorang polisi sekaligus seniman lukis yang sangat peduli dengan kehidupan seniman lain.
”Kebanyakan orang itu hanya bisa memberikan dukungan moral. Kalau Pak Chryshnanda ini, bukan hanya support moral, tapi juga sering memberikan support material, terutama terhadap seniman-seniman yang hidupnya prihatin atau kesusahan,” tutur Cak Kandar.
Tak sampai satu menit sebuah lukisan abstrak tersaji begitu apik. Menurut pelukisnya, Chryshnanda Dwilaksana, lukisan itu ekspresi atas kondisi Ibu Pertiwi yang mesti dimaknai sebagai semangat membangun bangsa. Bahasa rupa abstrak sengaja dipilih Chryshnanda sebagai medium ekspresi, dengan menampilkan esensi rupa sebagai unsur utama.
Bahasa abstrak memberi brigadir jenderal (brigjen) polisi ini keleluasaan untuk menampilkan berbagai hal yang tengah dia rasakan secara lebih netral, yang diterjemahkan dalam goresan dan garis, warna, serta diorganisasikan dalam komposisi tertentu. Bahasa abstrak membuatnya leluasa menampilkan berbagai hal dalam visualitas yang mengandung metafora.
”Kegelisahan Ibu Pertiwi akibat keserakahan sejumlah orang yang tak henti berbuat kerusakan di negeri ini. Orang-orang kemaruk yang selalu membuat Ibu Pertiwi menangis. Saatnya kita membuat Ibu Pertiwi tersenyum dan kita harus terus bersemangat membangun bangsa,” ujar Chryshnanda saat live perform art pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Cemara 6, Jakarta Pusat, tadi malam.
Cara Chryshnanda melukis yang sangat cepat sontak mengundang decak kagum penikmat seni yang hadir malam itu. Lukisan abstrak yang dihasilkan dari aksi memukaunya diberi judul Passion. ”Luar biasa. Jenderal polisi ada juga yang pandai melukis. Bagus pula lukisannya, sarat pesan moral,” celetuk salah satu pengunjung.
Dalam pameran yang bertajuk ”Sopo Ngiro” ini Chryshnanda menghadirkan puluhan lukisan berukuran besar—yang hampir kesemuanya beraliran abstrak. Tampak sekali pada karya-karya Chrysnanda, ruang menjadi elemen yang sangat penting. Melalui ruang dia mendialogkan pengalaman personal yang sedang dirasakannya. Pengalaman-pengalaman perihal berbagai aspek dalam kehidupan sosial masyarakat.
Selanjutnya ruang dialog itu pun bergerak dari dialog personal menjadi ruang dialog bagi tumbuhnya persepsi-persepsi personal yang lain dari para penikmat karyanya. Ruang dialog yang personal itu sekaligus juga netral dengan berbagai penafsiran subjektif dari siapa pun yang menikmatinya.
Kurator seni Yulianto Liestiono mengatakan, dalam melukis Chryshnanda bagai di dunia lalu lintas yang ditekuninya kini. Chryshnanda seperti berzigzag tapi tidak membahayakan, dan malah mengundang takjub. Kehidupannya sebagai polisi yang berdisiplin dan keliaran dunia kreatif estetik jadi menyatu dalam karyanya. Kontras tapi membentuk keseimbangan yang baru.
”Lihatlah bagaimana Chryshnanda banyak menggunakan warna cerah yang kontras, seperti merah disandingkan dengan hijau. Dia biarkan bagaimana lelehan cat yang tampak liar ternyata terkendali. Dengan ringan dia berbicara tentang renungan yang dalam nan mengalir lancar. Tidak direka-reka karena telah dihayatinya dengan baik. Dia tidak menghalus-haluskan, tidak mengestetik-estetikkan, tidak menggurui. Tapi Sopo Ngirokaryanya mengajak kita kembali merendah hati,” tutur Yulianto.
Cak Kandar, seniman lukis yang juga salah satu Pembina Balai Budaya, mengakui, Chryshnanda bisa dibilang sebagai pelukis yang sangat produktif. Di mata Cak Kandar, Chryshnanda juga seorang polisi sekaligus seniman lukis yang sangat peduli dengan kehidupan seniman lain.
”Kebanyakan orang itu hanya bisa memberikan dukungan moral. Kalau Pak Chryshnanda ini, bukan hanya support moral, tapi juga sering memberikan support material, terutama terhadap seniman-seniman yang hidupnya prihatin atau kesusahan,” tutur Cak Kandar.
(don)